“Aek godang do, aek laut; dos ni roha do,
sibahen na saut.”
Wacana Hati
Nurani Dalam Umpama Budaya Batak Toba
Dalam kebudayaan batak
Toba, mandok hata (menyampaikan
petuah, nasehat, harapan, dan doa) adalah menjadi suatu yang tak dapat
dipisahkan dalam setiap acara adat. Dalam acara sukacita dan dukacita, acara
kelahiran pernikahan dan kematian terlebih saat memberikan ulos, semua ini
selalu berkaitan dengan “mandok hata”.
Dalam budaya batak Toba ada kalimat mengatakan “hansit do na halion (so dapotan) jambar juhut, alai hansitan dope na so
dapotan jambar hata”, yang artinya sakit jika tidak dapat jambar (bagian yang sudah jadi hak
seseorang menurut adat) juhut
(daging, yang mana biasanya dalam adat disembelih binatang sebagai sebuah
panganan bersama dan bagian-bagian tertentu dari bagian daging tersebut
diserahkan sebagai hak kehormatan dalam adat kepada kerabat). Sedangkan jambar hata adalah kalimat-kalimat yang
berisikan doa, petuah, nasehat, dan harapan yang disampaikan kepada seseorang
atau kelompok sebagai harapan kebaikan atau kalimat bijak sebagai nasehat .
Namun harus disadari
ada beberapa ketentuan yang harus diikuti dan menjadi ketentuan dalam “mandok hata”. Haruslah pihak hula-hula (kedudukan yang tinggi dalam
tatanan adat batak Toba yakni kelompok marga pemberi mempelai perempuan), tulang (saudara laki-laki ibu, paman),
ataupun tunggane (saudara laki-laki
istri; putra dari tulang) sewajarnya
yang menyampaikan “hata denggan, hata pasu-pasu” (kata-kata bijak dan baik
serta kata-kata doa dan berkat). Kedua hal ini menjadi ketentuan utama dalam “mandok hata”. Akan tetapi tidak tertutup
kemungkinan yang lain atau kerabat diluar dari hula-hula, tulang dan tunggane tersebut.
Apakah
Umpama Itu?
Dalam budaya batak Toba
ada beberapa macam frase yang sering digunakan dalam mandok hata, yakni:
umpasa, umpama, pasa-pasa, anian, udoan, umpama ni pangandung dan umpama ni
ampangardang. Semuanya ini adalah frase yang berisikan nilai-nilai kebaikan. Perbedaan
umpasa dengan umpama adalah, jika umpasa adalah sebuah doa, maka umpama adalah
sebuah kata yang menggambarkan tentang kebenaran yang umum dan asas, atau dalam
istilah bahasa Indonesia disebutlah ini dengan "falsafah".
Aek godang do, aek
laut; dos ni roha do, sibahen na saut,
bermakna:
Umpama “aek godang do,
aek laut; dos ni roha do, sibahen na saut.” jika diartikan ke dalam bahasa
Indonesia, yakni; air sungai-nya, air laut; kesepakatan dalam kesatuan
hati-nya, membuat semua terlaksana. Jika kita selami makna terdalam dari
kalimat ini yakni; bagian pertama kalimat berisikan perumpamaan, dan kedua
berisikan harapan atau petuah.
Pada kalimat pertama
memiliki makna sebagaimana disebut air sungai-nya air laut. Hal ini merupakan perumpamaan
yang mengatakan semua air sungai bermuara ke laut menjadi satu tempat dan satu
rasa. Tidak ada lagi perbedaan dari air sungai yang satu dengan air sungai yang
lain. Yang ada hanyalah air laut yang menjadi kesatuan dari semua air sungai
yang bermuara ke laut.
Pada kalimat kedua makna
“dos ni roha” mau mengungkapkan kedalaman arti dan makna dari kata-kata
tersebut dalam harapan dan tindakan akan kepada siapa disampaikan kalimat
tersebut. “dos” dalam arti Indonesia yakni sama, seimbang, seiring, sejiwa.
Maka saat dipadankan dengan kata “roha” yang berarti hati atau perasaan. Namun
“roha” dapat juga bermakna berjiwa. Maka dapat kita simpulkan kata “dos ni
roha” adalah satu hati, satu perasaan dan satu jiwa.
Ketika kalimat ini
menjadi satu kesatuan sebagai umpama yang disampaikan sebagai hata na
martua (kata bijak yang berjiwa harapan dan doa) bahwa segala hal
permusyawarahan, pekerjaan, adat dan lain sebagainya ketika dibicarakan dalam
kesatuan hati dan dalam tujuan kebaikan bersama (bonum comunae) maka semuanya
akan berjalan dengan baik “sibahen na saut”
Apakah
Hati Nurani itu?
Dalam hal ini kita mau
melihat makna “dos ni roha” yang memiliki kaitan dan padanan makna dengan hati
nurani.
Kami mencoba melihat
apa yang dimaksud dengan Hati Nurani dari sudut pandang Moral Fundamental. Apa yang dimaksud dengan hati nurani
itu sendiri?. Menurut arti etimologisnya, hati nurani berasal dari kata Latin
yakni Cum yang artinya bersama dan scientia, scire yang artinya ilmu pengetahuan. “Di lubuk hati nuraninya manusia menemukan hukum, yang tidak
ditemukannya dalam dirinya sendiri, tetapi harus ditaatinya. Suara hati itu
selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan
untuk menghindari apa yang jahat. Bilamana perlu, suara itu menggemakan dalam
lubuk hatinya: jauhkanlah ini, elakkanlah itu. Sebab dalam hatinya manusia
menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya ialah menemukan hukum itu,
…Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ
ia seorang diri bersama Allah, yang sapaan.Naya menggema dalam batinnya”
(Gaudium et spes, 16)
Menurut ajaran iman gereja katalik sendiri dikatakan bahwa,
hati nurani adalah keputusan akal budi, di mana manusia mengerti apakah suatu
perbuatan konkret yang ia rencanakan, sedang laksanakan atau sudah laksanakan,
baik atau buruk secara moral. Dalam putusan hatinurani tersebut manusia
menerima tanggungjawab atas perbuatannya yang telah ia lakukan.
Pada
hakikatnya setiap manusia mempunyai hati nurani di dalam dirinya. Hati nurani memiliki
peran yang sangat penting bagi diri manusia dalam bertindak dan dalam membuat
berbagai keputusan-keputusan dalam kehidupan sehari-hari. Hati nurani menjadi
sebuah kemampuan kognitif (kesadaran) yang dianugerahkan Allah kepada manusia
agar manusia mampu membedakan hal yang baik dan yang buruk dan juga dengan
kemampuan itu, manusia memilih yang baik dan menjauhkan yang buruk serta
mengharuskan manusia untuk selalu berbuat yang baik.[1]
Hati nurani tidaklah sama dengan yang dimaksudkan dengan
hati. Bila yang dimaksud dengan hati yakni, pusat dari seluruh perasaan
manusia, karena dalam hatilah terdapat diri sejati kita. akan tetapi perasaan
yang ada dalam diri manusia tersebut belum dapat dikatakan sempurna sebab roh
kita tersebut masih belum sempurna. Sedangkan yang dimaksud dengan hati nurani
adalah bagian yang terdalam atau inti dari hati itu sendiri yang merupakan
percikan dari Tuhan (dzat Tuhan), yang tidak pernah terpengaruh oleh
faktor-faktor lain, sehingga selalu murni.
Apakah
kaitan “dos ni roha” dengan hati nurani?
Dalam falsafah batak
Toba ini “dos ni roha”(satu hati,
satu perasaan, satu jiwa) yang memiliki makna terdalam akan terjadi kesatuan
hati, kesatuan perasaan dan kesatuan jiwa ketika orang menerima pandangan dari
luar akan suatu hal dan pandangan itu dirasa baik dan benar untuk dirinya
ataupun untuk kebaikan bersama (bonum
comunae). Dalam penerimaan putusan dari luar dirinya ada pertimbangan dan
pilihan dalam dirinya (hati nuraninya) akan apa itu “kebaikan” dalam
mempertimbangkan semua aspek sebelum ia memutuskan. Dan yang paling penting
putusan tersebut diambil katena putusan itu benar-benar dirasa baik dan dengan
tujuan benar.
Hal inilah yang
menunjukan nilai-nilai hati nurani sama dan ada dalam makna “dos ni roha” dari apa yang dimaksut oleh
umpama tersebut. Selain itu falsafah
ini juga memaksudkan demikian. Sehingga seperti apa yang dikatakan di akhir
frase tersebut yakni “sibahen na saut” menyimpulkan bahwa semua putusan dalam
kesatuan hati, kesatuan perasaan dan satu tujuan yang baik akan menghasilkan
kebaikan dalam kebersamaan.
Kesimpulan
Umpama “aek godang do,
aek laut; dos ni roha do, sibahen na saut” adalah salah satu dari umpama batak
Toba yang menjunjung tinggi nilai-nilai hati nurani yang didasari pada kebaikan
dalam tujuan yang baik dan benar dalam kebersamaan. Demikianlah kebudayaan
batak Toba selalu menjunjung tinggi kebersamaan dan musyawarah. Selain itu,
umpama ini mendapat nilai dan jiwa dari “hata na martua” itu, yakni bahwa
umpama ini diungkapkan dalam tujuan harapan dan doa agar ada kebaikan dan
kesatuan dalam kebersamaan dengan mendasarkan pada pilihan hati nurani yang
baik dan benar.
[1]
. Largus Nadeak, Topik-Topik Teologi Moral Fundamental, (Medan: Bina Media
Perintis, 2015), hlm. 85.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar