Rabu, 24 April 2019

Moral & Etika: 2019,04,24, “Aek godang do, aek laut; dos ni roha do, sibahen na saut.” Wacana Hati Nurani Dalam Umpama Budaya Batak Toba



Aek godang do, aek laut; dos ni roha do, sibahen na saut.
Wacana Hati Nurani Dalam Umpama Budaya Batak Toba


Dalam kebudayaan batak Toba, mandok hata (menyampaikan petuah, nasehat, harapan, dan doa) adalah menjadi suatu yang tak dapat dipisahkan dalam setiap acara adat. Dalam acara sukacita dan dukacita, acara kelahiran pernikahan dan kematian terlebih saat memberikan ulos, semua ini selalu berkaitan dengan “mandok hata”. Dalam budaya batak Toba ada kalimat mengatakan “hansit do na halion (so dapotan) jambar juhut, alai hansitan dope na so dapotan jambar hata”, yang artinya sakit jika tidak dapat jambar (bagian yang sudah jadi hak seseorang menurut adat) juhut (daging, yang mana biasanya dalam adat disembelih binatang sebagai sebuah panganan bersama dan bagian-bagian tertentu dari bagian daging tersebut diserahkan sebagai hak kehormatan dalam adat kepada kerabat). Sedangkan jambar hata adalah kalimat-kalimat yang berisikan doa, petuah, nasehat, dan harapan yang disampaikan kepada seseorang atau kelompok sebagai harapan kebaikan atau kalimat bijak sebagai nasehat .
Namun harus disadari ada beberapa ketentuan yang harus diikuti dan menjadi ketentuan dalam “mandok hata”. Haruslah pihak hula-hula (kedudukan yang tinggi dalam tatanan adat batak Toba yakni kelompok marga pemberi mempelai perempuan), tulang (saudara laki-laki ibu, paman), ataupun tunggane (saudara laki-laki istri; putra dari tulang)  sewajarnya yang menyampaikan “hata denggan, hata pasu-pasu” (kata-kata bijak dan baik serta kata-kata doa dan berkat). Kedua hal ini menjadi ketentuan utama dalam “mandok hata”. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan yang lain atau kerabat diluar dari hula-hula, tulang dan tunggane tersebut.

Apakah Umpama Itu?
Dalam budaya batak Toba ada beberapa macam frase yang sering digunakan dalam mandok hata, yakni: umpasa, umpama, pasa-pasa, anian, udoan, umpama ni pangandung dan umpama ni ampangardang. Semuanya ini adalah frase yang berisikan nilai-nilai kebaikan. Perbedaan umpasa dengan umpama adalah, jika umpasa adalah sebuah doa, maka umpama adalah sebuah kata yang menggambarkan tentang kebenaran yang umum dan asas, atau dalam istilah bahasa Indonesia disebutlah ini dengan "falsafah".

Aek godang do, aek laut; dos ni roha do, sibahen na saut, bermakna:
Umpama “aek godang do, aek laut; dos ni roha do, sibahen na saut.” jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia, yakni; air sungai-nya, air laut; kesepakatan dalam kesatuan hati-nya, membuat semua terlaksana. Jika kita selami makna terdalam dari kalimat ini yakni; bagian pertama kalimat berisikan perumpamaan, dan kedua berisikan harapan atau petuah.
Pada kalimat pertama memiliki makna sebagaimana disebut air sungai-nya air laut. Hal ini merupakan perumpamaan yang mengatakan semua air sungai bermuara ke laut menjadi satu tempat dan satu rasa. Tidak ada lagi perbedaan dari air sungai yang satu dengan air sungai yang lain. Yang ada hanyalah air laut yang menjadi kesatuan dari semua air sungai yang bermuara ke laut.  
Pada kalimat kedua makna “dos ni roha” mau mengungkapkan kedalaman arti dan makna dari kata-kata tersebut dalam harapan dan tindakan akan kepada siapa disampaikan kalimat tersebut. “dos” dalam arti Indonesia yakni sama, seimbang, seiring, sejiwa. Maka saat dipadankan dengan kata “roha” yang berarti hati atau perasaan. Namun “roha” dapat juga bermakna berjiwa. Maka dapat kita simpulkan kata “dos ni roha” adalah satu hati, satu perasaan dan satu jiwa.
Ketika kalimat ini menjadi satu kesatuan sebagai umpama yang disampaikan sebagai  hata na martua (kata bijak yang berjiwa harapan dan doa) bahwa segala hal permusyawarahan, pekerjaan, adat dan lain sebagainya ketika dibicarakan dalam kesatuan hati dan dalam tujuan kebaikan bersama (bonum comunae) maka semuanya akan berjalan dengan baik “sibahen na saut”

Apakah Hati Nurani itu?
Dalam hal ini kita mau melihat makna “dos ni roha” yang memiliki kaitan dan padanan makna dengan hati nurani.
Kami mencoba melihat apa yang dimaksud dengan Hati Nurani dari sudut  pandang Moral Fundamental. Apa yang dimaksud dengan hati nurani itu sendiri?. Menurut arti etimologisnya, hati nurani berasal dari kata Latin yakni Cum yang artinya bersama dan scientia, scire yang artinya ilmu pengetahuan. “Di lubuk hati nuraninya manusia menemukan hukum, yang tidak ditemukannya dalam dirinya sendiri, tetapi harus ditaatinya. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan untuk menghindari apa yang jahat. Bilamana perlu, suara itu menggemakan dalam lubuk hatinya: jauhkanlah ini, elakkanlah itu. Sebab dalam hatinya manusia menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya ialah menemukan hukum itu, …Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaan.Naya menggema dalam batinnya” (Gaudium et spes, 16)
Menurut ajaran iman gereja katalik sendiri dikatakan bahwa, hati nurani adalah keputusan akal budi, di mana manusia mengerti apakah suatu perbuatan konkret yang ia rencanakan, sedang laksanakan atau sudah laksanakan, baik atau buruk secara moral. Dalam putusan hatinurani tersebut manusia menerima tanggungjawab atas perbuatannya yang telah ia lakukan.
            Pada hakikatnya setiap manusia mempunyai hati nurani di dalam dirinya. Hati nurani memiliki peran yang sangat penting bagi diri manusia dalam bertindak dan dalam membuat berbagai keputusan-keputusan dalam kehidupan sehari-hari. Hati nurani menjadi sebuah kemampuan kognitif (kesadaran) yang dianugerahkan Allah kepada manusia agar manusia mampu membedakan hal yang baik dan yang buruk dan juga dengan kemampuan itu, manusia memilih yang baik dan menjauhkan yang buruk serta mengharuskan manusia untuk selalu berbuat yang baik.[1]
Hati nurani tidaklah sama dengan yang dimaksudkan dengan hati. Bila yang dimaksud dengan hati yakni, pusat dari seluruh perasaan manusia, karena dalam hatilah terdapat diri sejati kita. akan tetapi perasaan yang ada dalam diri manusia tersebut belum dapat dikatakan sempurna sebab roh kita tersebut masih belum sempurna. Sedangkan yang dimaksud dengan hati nurani adalah bagian yang terdalam atau inti dari hati itu sendiri yang merupakan percikan dari Tuhan (dzat Tuhan), yang tidak pernah terpengaruh oleh faktor-faktor lain, sehingga selalu murni.

Apakah kaitan “dos ni roha” dengan hati nurani?
Dalam falsafah batak Toba ini “dos ni roha”(satu hati, satu perasaan, satu jiwa) yang memiliki makna terdalam akan terjadi kesatuan hati, kesatuan perasaan dan kesatuan jiwa ketika orang menerima pandangan dari luar akan suatu hal dan pandangan itu dirasa baik dan benar untuk dirinya ataupun untuk kebaikan bersama (bonum comunae). Dalam penerimaan putusan dari luar dirinya ada pertimbangan dan pilihan dalam dirinya (hati nuraninya) akan apa itu “kebaikan” dalam mempertimbangkan semua aspek sebelum ia memutuskan. Dan yang paling penting putusan tersebut diambil katena putusan itu benar-benar dirasa baik dan dengan tujuan benar.
Hal inilah yang menunjukan nilai-nilai hati nurani sama dan ada dalam makna “dos ni roha” dari apa yang dimaksut oleh umpama tersebut. Selain itu falsafah ini juga memaksudkan demikian. Sehingga seperti apa yang dikatakan di akhir frase tersebut yakni “sibahen na saut” menyimpulkan bahwa semua putusan dalam kesatuan hati, kesatuan perasaan dan satu tujuan yang baik akan menghasilkan kebaikan dalam kebersamaan.



Kesimpulan
Umpama “aek godang do, aek laut; dos ni roha do, sibahen na saut” adalah salah satu dari umpama batak Toba yang menjunjung tinggi nilai-nilai hati nurani yang didasari pada kebaikan dalam tujuan yang baik dan benar dalam kebersamaan. Demikianlah kebudayaan batak Toba selalu menjunjung tinggi kebersamaan dan musyawarah. Selain itu, umpama ini mendapat nilai dan jiwa dari “hata na martua” itu, yakni bahwa umpama ini diungkapkan dalam tujuan harapan dan doa agar ada kebaikan dan kesatuan dalam kebersamaan dengan mendasarkan pada pilihan hati nurani yang baik dan benar.


[1] . Largus Nadeak, Topik-Topik Teologi Moral Fundamental, (Medan: Bina Media Perintis, 2015), hlm. 85.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar