Rabu, 24 April 2019

RENUNGAN: 2019,04,08, BERCERMIN DARI PANGGILAN MUSA (Menjawab Panggilan Allah Dalam Hidupku)



BERCERMIN DARI PANGGILAN MUSA
(Menjawab Panggilan Allah Dalam Hidupku)

Menjawab panggilan Allah akan suatu cara hidup yang khusus, yang kita anggab adalah cara hidup yang dibaktikan untuk karya Allah menjadi suatu cara menjawab di mana kita yang mengalami panggilan tersebut mencoba menjawab suatu yang tidak kita mengerti dan tahu bagaimana tujuan akhirnya, namun kita tetap mencoba dan terlebih mengerti apa yang menjadi kehendak Allah atas diri kita dan atas tujuan karya Allah tersebut dalam “kemisteriannya”. Demikianlah Musa yang dipanggil Allah untuk memulai karya Allah. Hidup Musa sedari awal dipersiapkan dengan cerita ia diangkat oleh puteri Mesir namun tetap disusui oleh inangnya. Sampai pada ia membunuh tentara Mesir dalam statusnya sebagai orang Mesir demi membela orang Israel yang dianiaya. Ia lari dan menjadi buronan. Ia menikah dan menjadi penjaga ternak. Dan sejak dari inilah ia dimulai dipanggil dalam peristiwa semak duri yang bernyala namun tidak terbakar. Musa dipanggil Allah.
Musa tidak langsung menyetujui panggilan Allah tersebut. Ia ragu, bertanya dan mencoba mengelak akan apa yang Allah rencanakan. Dari ini saya berangkat tentang panggilan yang saya jalani saat ini menjadi seorang rahib. Pengalaman Musa coba saya refleksikan dengan panggilan yang saya coba jawab.
 Bermula sewaktu SD kelas 3, saya dalam kesadaran dan keyakinan bersujud dan memegang altar gereja seraya memandang salib menjanjikan dalam hati akan menjadikan diriku persembahan kepada Allah dan tidak akan menikah seumur hidupku. Inilah awal di mana saya masuk kepada panggilan tersebut. Semuanya dimulai dan terjadi secara mengalir.
Bapak dahulu adalah seorang mantan seminaris. Hal ini menjadi hal pendukung untuk saya. Di rumah, tepatnya di kamar tidur, di sudut tempat belajar ada tempat doa yang dihiasi gambar dan patung rohani. Di sana saya menjalani hidup kerohanian saya. Di sana juga saya mulai belajar berdiam diri. Saat itu saya belum mengerti yang namanya meditasi. Namun saya mencoba duduk tenang berdiam diri dalam waktu yang lama di bangku tempat doa tersebut. Orang tua sudah mengerti jika saya lama keluar dari kamar dan pintu terkunci, mereka tahu saya sedang berdoa. Saat jalan kaki pergi sekolah dan les saya melakukan doa Rosario atau mengulang-ulang doa Bapa Kami dan Salam Maria. Hal itu menjadi hal yang menarik dan terus saya lakukan. Saya juga aktif mengikuti kegiatan Asmika dan Areka. Dan saya juga aktif menjadi Mesdinar di gereja. Saya sunggu merasa ada hal yang menarik dan memperdaya diri saya ketika saya ikut aktif dalam segala kegiatan gereja.
Pengalaman rohani yang telah dimulai berlanjut ketika di Seminari Menengah. Hidup doa diam-diam saya jalani. Setiap hari saya meletakkan sekuntum mawar di kaki patung Maria, doa silih dan kerahiman diruang sayap yang tertutup oleh gorden, juga laku tapa dengan tidur di kerikil dan meditasi saat pagi-pagi buta. Hal yang mirip juga terlaksana saat saya menjadi Postulan dan Novis Kapusin. Hidup doa, meditasi, kontemplasi, silih, dan ulatapa, serta sering tinggal dalam kesendirian dan menyepi menjadi kehidupan yang teraman sangat saya cintai. Banyak pengalaman rohani dan mistik serta supranatural yang pernah saya alami. Semuanya itu menjadi pengalaman-pengalaman yang meneguhkan dan memurnikan terus panggilan dan cara hidup saya.
Tepatnya tanggal 21 Januari 2009 saya memulai cara hidup eremit. Dengan tinggal di sebuah gua di perbukitan Simarbalatuk, tepatnya di desa Buntumalasang kecamatan Parapat Girsang Simpangan Bolon. Saya dianggap “gila”, “aneh”, “stres” dan banyak lagi asumsi-asumsi negatif yang muncul. Hal itu bukan hal yang baru bagi saya, karena sejak dari seminari asumsi-asumsi seperti ini sudah ada. Sampai saya dikatakan kerasukan roh aneh dan seorang dukun yang punya kekuatan magis. Semua itu memang karena apa yang saya pilih dan jalani.
Sering dalam doa saya meragukan apakah ini benar panggilan dan karunia dari Allah. Dan tak jarang dalam doa saya meminta kepada Allah untuk membersihkan, mengambil dan membuat saya menjadi orang biasa saja tanpa ada karunia apapun dan kelebihan-kelebihan di dalam diri. Keraguan dan pertanyaan tentang apakah ini memang karya Allah dan bukan kehendak diri saya. Dalam keraguan dan kegundahan tersebut sering sekali kehampaan dan kekosongan yang sangat panjang hadir dalam perjalanan panggilan ini.
Namun dalam pergulatan batin ini sangat banyak karya Allah yang saya alami baik secara iman, pengalaman batin, pengalaman mistik dan kerja Allah langsung. Saat membeli lahan pertapaan, membangun pondok dan kapel pertapaan yang terakhir ini, tak jarang Allah menunjukan kerja-Nya yang nyata. Dalam keterbatasan dan kekosongan saya Allah menyelenggarakan dan menyelesaikannya. Pembangunan kapel pertapaan bermula dari mohon doa melalui santo Yosef  suami Maria dalam rasa nekad karena situasi saat itu uang ditangan saya tidak lebih dari 3 (tiga) juta rupiah untuk memulai membangun kapel tersebut, namun keesokan harinya ada yang menelepon saya dan mengirimkan bantuan sebesar 10 (sepuluh) juta rupiah. Dan banyak hal-hal lain seperti peristiwa itu. Juga berkaitan pembayaran gaji dan pembelian bahan bangunan. Tak jarang bantuan datang dalam ketakterdugaan.
Walaupun banyak hal karya ALlh yang saya alami, kadang dalam keadaan dana yang menipis saya gundah dan berseru dalam doa, “Tuhan mau bagaimana saya buat”. Dalam keterbatasan inilah saya mulai ragu akan apa yang telah dikerjakan. Namun dalam keterbatasan ini pula Allah sering bertindak tak terduga. Dan karyaNya nyata dan dapat terlihat. Saya sangat yakin Allah berkarya dalam pengadaan pertapaan dan pembanguna ini.
Namun dalam kemanusian saya yang manusiawi ini tetap saja keraguan dan takut itu ada. Dari pihak keuskupan meminta saya untuk membekali diri saya dengan kuliah di STFT. Tak ada pemikiran dan angan-angan untuk kuliah atau menjadi imam sedari saya menjalani panggilan sebagai eremit ini. Namun dalan ketaatan saya harus berjalan. Kembali keraguan dan ketakutan hadir, karena saya harus mengusahakan biaya semuanya secara sendiri. Di awal saya yakin dan penuh semangat melangkah untuk memulai. Namun selanjutnya muncul banyak masalah yang harus saya hadapi. Tetap semuanya berhadapan dengan keterbatasan keuangan, membagi waktu untuk dua tempat tinggal dan ketakutan akan kemana panggilan ini melangkah. Keraguan dan kedongkolan hati saya meragukan dan mempertanyakan apakah semua ini bisa dijalani? Kembali satu-persatu Allah tunjukan caranya berkarya. Banyak orang yang membantu dan mendukung. Saya melihat ini adalah cara Allah berkarya.
Semua pengalaman ini sebenarnya menunjukan karya nyata Allah. Namun kemanusiawian diri saya ternyata sangat kuat. Akhir-akhir ini muncul pertanyaan dan keraguan saya akan apa yang saya jalani. Muncul dalam pikiran saya untuk berhenti dari perkuliahan. Dengan alasan, satu saat saya tetap kembali ke pertapaan apapun  akhirnya.  Panggilan awal untuk tinggal bertapa menjadi alasan utama saya. Namun pemikiran-pemikiran dan pertanyaan yang menghadirkan kegundahan batin saya hadir mengusik. Dan dalam situasi ini dilema harus saya terima. Saya harus jalani kuliah dalam ketaatan, namun batin saya mulai merasa berdosa karena terlalu larut dan disibukkan oleh tugas-tugas dan study. Gema panggilan awal untuk hidup sebagai eremit sangat mengusik batin saya. Saat-saat seperti ini menjadi saat paling kering dan kosong. Muncul keraguan dan kegundahan, “Allah apa yang Kau mau dariku, mau kemana semua ini tertuju.”
Panggilan berhadapan dengan yang Ilahi sungguh sangat misteri. Dalam ketidaktahuan dan kepasrahan dituntut kepercayaan penuh pada Allah. Namun kemanusiawian diri ini mejadi rapuh dan lemah ketika berhadapan dalam kenyataan dan keterdesakan diri akan realitas yang harus dihadapi. Saat-saat itulah keraguan dan pertanyaan yang menyesakkan batin akan “penyelenggaraan Allah dimana?” Kekosongan dan kehampaan meliputi kemanusiawian diri ini. Allah terasa jauh.
Berefleksi dari panggilan Musa oleh Allah, sungguh suatu yang sangat menarik. Ia dipersiapkan untuk rencana Allah. Namun dalam kesadaran kelemahan dirinya dan keraguan akan apa yang terjadi di depan menjadi alasan mencoba untuk menolak dan bahkan menghindari panggilan Allah tersebut. Namun Allah tetap berkarya dan tetap memberkati serta menyelenggarakan karya-Nya dalam cara-Nya yang sungguh sangat misteri.
Demikianlah saya mencoba berefleksi akan kelemahan dan keraguan dari kemanusiaan saya akan pertanyaan, “apakah ini karya Allah?”, “mau kemana panggilan ini tertuju?” Dalam kesesakan batin dan perasaan hampa, hal yang sulit adalah ketika di dalam doa muncul pertanyaan “dimanakah Engkau Allahku?” Pada saat seperti ini rasa ragu menjadi rasa bersalah dan berdosa. Dalam kisah Musa, saya melihat diri saya seperti orang Israel yang terus bersungut-sungut kepada Allah dan sering ragu pada Allah. Saya tersadar akan sikap Musa yang mencoba untuk mencari cara dan alasan untuk mengelak dari panggilan Allah. Demikianlah pengalaman yang bisa saya sampaikan akan belajar dari panggilan Musa dalam panggilan hidup saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar