KEUTAMAAN
ADALAH JALAN TENGAH KEPADA KEBAHAGIAN
“Lihatlah,
makan, minum, pakaian, dan kebutuhan lainnya, yang tersedia bagi pemeliharaan
badan, merupakan beban bagi roh yang menyala semangatnya. Perkenankanlah aku
mempergunakan prasarana hidup sem,acam itu hanya seperluna saja, dan dapat
mengekang keinginanku yang terlalu besar kepadanya. Menanggalkan semua kebutuhan
hidup itu mungkin, sebab kodrat yang harus dipelihara, tetapi ingin
memperolehnya dengan berlebih-lebihan untuk menikmati adalah bertentangan
dengan hukum suci Tuhan; karena dengan demikian, daging akan berontak lagi
melawan roh.”
“Aku
mohon kepada-Mu, semoga tangan-Mu dapat membimbing dan menuntun aku dan agar
Engkau berkenan mengajar aku berjalan di antara dua sisi yang berbahaya.”(Thomas a Kempis)[1]
Sering terjadi, apa
yang dikatakan dan apa yang diperbuat oleh manusia sekarang ini tidak sesuai
dengan tujuan kebahagiaan bersama. Manusia lupa, bahwa manusia hidup untuk
bahagia. Dalam keseharian, manusia dijadikan budak nafsu diri. Hal ini tidak
nampak, namun sangat memperdaya manusia. Iklan-iklan yang dihadapkan kepada
masyarakat menciptakan atau bahkan memaksakan manusia menjadi konsumer yang melebihi
dari batas kebutuhan manusia itu sendiri. Hal yang seharusnya tidak menjadi
kebutuhan, dicipta dan dimanipulasi sehingga sekarang “seperti” membutuhkannya
dan dipaksakan menjadi kebutuhan “karena tren” yang ada di tengah masyarakat.
Manusia tidak menjadi
dirinya dan diperbudak oleh kehendak yang tak teratur dalam dirinya. Ketika
manusia tidak menghidupi hidupnya dan diperbudak oleh kehendak tak teratur
dalam dirinya maka manusia tidak sampai kepada kebahagiaan. Nilai tertinggi
dari semua tindakan adalah kebahagiaan. Demikian Aristoteles memberi kesimpulan
dari dua tujuan tindakan yang dilakukan manusia. Keutamaan menjadi jalan tengah
yang sangat baik untuk melakukan tindakan yang baik, dimana manusia bertindak
baik secara terus menerus dengan tujuan benar. Demikianlah kebahagian menjadi
milik orang yang hidup dalam keutamaan.
Pengertian Keutamaan
Secara etimologinya
keutamaan adalah terjemahan dari kata “arête”
(bahasa Yunani) dan “virtus” (bahasa
Latin), “virtue” (bahasa Inggris). Kata virtus
berakar dari vir (laki-laki dewasa)
dan jug avis (kekuatan) yang memiliki
dimiliki oleh laki-laki dewasa.[2] Kata
keutamaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah 1. Keunggulan;
keistimewaan; hal yang penting (terbaik, unggul, dsb): cara yang satu harus meningkatkan – cara yang lain; 2. Kebaikan
budi pekerti: kebijaksanaan untuk rela
berkorban adalah – yang sulit dicari. Maka, keutamaan dapat dikatakan
sebagai suatu tindakan yang unggul dalam kebaikan dengan cara yang benar untuk
membuahkan kebahagiaan bagi semuanya.
Pandangan
Tentang Keutamaan
Manusia utama
(virtuous) adalah orang yang berjiwa luhur, tangguh. Pertimbangannya matang dan
tanggung jawab diembannya dengan setia sehingga dia mencapai kebahagiaan dengan
cara yang benar.[3]
Demikianlah pandangan keutamaan menjadi buah pemikiran dari Aristoteles, Thomas
Aquinas, dan Alasdair MacIntryre. Gagasan mereka menjadi landasan pemikiran
akan keutamaan yang akan kita bahas dalam topik ini.
·
Keutamaan
menurut Aristoteles
Menurut Aristoteles
keutamaan adalah “a mean between two
vices, one of excess and one of deficiency.” Dan orang yang berkeutamaan
adalah orang yang memilih “titik tengah” atau “jalan tengah” (mesotes) di
antara dua hal ekstrim yang berkelebihan dan berkekurangan. Tujuan kehidupan
adalah “kebahagiaan” (bahasa Yunani:”eudaimonia”)[4]
·
Keutamaan
menurut Thomas Aquinas
Menurut Thomas Aquinas,
virtue, “which is an oporatie habit, is a good habit productive of good works,
habitus operatives bonus.” Kebiasaan inilah hasil usaha yang disengaja. Orang
yang melakukan tindakan baik secara sengaja dan terus-menerus. Kebiasaan inilah
yang menjadi suatu kecenderungan yang dalam mengambil putusan tanpa harus
menimbang-nimbang lagi, karena hal itu adalah kebiasaan yang telah melekat pada
dirinya.
·
Keutamaan
menurut Alasdair MacIntyre
Dari buah pemikiran
Aristoteles dan Thomas Aquinas, Alasdair MacIntyre menyimpulkan bahwa sudah
waktunya untuk kembali ke keutamaan seperti apa yang diungkapkan oleh kedua
filsuf tersebut. Setiap tindakan “tujuan”nya
itu kepada ‘kebaikan’ (good), ‘keadilan’ (justice), dan ‘kewajiban’ (duty).[5]
Keutamaan
Moral
Keutamaan
moral merupakan keutamaan yang diperoleh dengan usaha manusia yang
terus-menerus dilakukan sehingga menjadi kebiasaan atau sikap diri. Ada 4
keutamaan moral menurut gereja katolik, yakni:[6]
1. Kebijaksanaan
Kebijaksanaan adalah keutamaan yang membuat budi
praksis rela, supaya dalam tiap situasi mengerti kebaikan yang benar dan
memilih sarana yang tepat untuk mencapainya. “Kebijaksanaan ialah akal budi
benar sebagai daar untuk bertindak” demikian dituliskan Thomas Aquinas (s.th.
2-2,47,2,sc) mengikuti ide Aristoteles. Kebijaksanaan langsung mengatur
keputusan hati nurani. Berkat kebijaksanaan ini kita menerapkan prinsip-prinsip
moral tanpa keliru atas situasi tertentu dan mengatasi keragu-raguaantentang
yang baik yang harus dilakukan dan yang buruk yang harus dielakkan.
2. Keadilan
Keadilan adalah keutamaan kehendak yang tetap dan
teguh untuk memberi kepada Allah dan sesama, apa yang menjadi hak mereka.
Keadilan kepada Allah “keutamaan penghormatan kepada Allah” (virtus
religionis). Keadilan kepada manusia mengatur, supaya menghormati hak setiap
orang dan membentuk dalam hubungan antar manusia, yang memajukan kejujuran
terhadap pribadi-pribadi dan kesejahteraan bersama.
3. Keberanian
Keberanian adalah keutamaan moral yang membuat tabah
dalam kesulitan dan tekun dalam mengejar yang baik. Orang yang berani akan
meneguhkan kebulatan tekad, untuk melawan godaan dan agar mengatasi
halangan-halangan dalam kehidupan moral. Keutamaan keberanian akan mengatasi
ketakutan.
4. Penguasaan Diri
Penguasaan diri adalah keutamaan moral yang
mengekang kecenderungan kepada berbagai macam kenikmatan dan membuat kita
mempergunakan benda-benda duniawi dalam ukuran yang tepat. Orang yang
berkeutamaan dalam penguasaan diri mengarahkan kehendak inderawinya kepada yang
baik, dan mempertahankan kemampuan sehat untuk menilai dan berpegang teguh
untuk tidak mengikuti setiap kecenderungan dan nafsunya.
Refleksi
Kritis
Dari
kesadaran yang terdalam, manusia mengejar kebahagian hidup dan menuju kepada
hidup baik dan benar. Demikianlah seadanya dan senyatanya. Namun manusia yang
memiliki kehendak bebas dalam menjalankan pilihan hidup ini, masih lebih
memuaskan keinginan dan kebahagian semu semata. Zaman ini penuh dengan
perkembangan yang teramat cepat. Manusia tetap berdiri sebagai dirinya. Namun adalah
teramat penting ia mengenakan keutamaan dalam melihat, menimbang, dan memilih
apa yang ia hidupi. Karena manusia benarbenar menjadi manusia ketika ia
bertindak sebagai manusia dengan tujuan baik dengan cara yang benar untuk
menuju kebahagiaan yang sejati sebagai seorang manusia yang bahagia.
“Berulang
kali hati kita menjadi tidak tenteram apabila kita menginginkan sesuatu secara
tidak teratur. Orang yang belum dapat menyangkal dirinya sendiri dengan
sungguh-sungguh, akan segera tergoda dan terkalahkan dalam hal-hal yang kecil
dan tidak berarti. Maka ketenteraman hati yang sebenarnya tidak diperoleh
dengan menuruti keinginan hawa nafsu, melainkan dengan menentang desakannya. Oleh
karena itu, ketenteraman hati tidaklah terdapat pada orang yang masih lekat
pada kenikmatan daging, juga tidak mereka yang sangat mementingkan hal-hal
lahiriah, melainkan pada mereka yang rajin dan bersemangat di dalam
perkara-perkara rohani.”[7]
[1]
Thomas a Kempis, Mengikuti jejak Kristus,
(Jakarta: OBOR, 2010), hlm. 228-229.
[2]
Largus Nadeak, Topik-Topik Teologi Moral
Fundamental, (Medan:Bina Media Printis, 2015), hlm. 146, bdk. Franz
Magis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20,
(Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 199.
[3]
Largus Nadeak, Topik-Topik…, hlm.
146.
[4]
Fran Magis-Suseno, 13 Model Pendekatan
Etika, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 39.
[5]
Nancey Murphy et al. (ed.), Virtues and Practices in the Christian Tradition:
Christian Ethics after MacIntyre, (Notre Dame: University of Notre Dame Press,
1997), hlm. 7.
[6]
KWI, Katekismus Gereja Katolik,
(judul asli: Libreria Editrice Vaticana,
Citta del vaticano, 1993), diterjemahkan oleh P. Herman Embuiru SVD (Ende:
Arnoldus, 1995), hlm. 477-478. bdk. Antonio Mores et Bernardino Leers, Moral
Theology: Dead Ends and Alternatives, (New York: Orbis Books, 1990), hlm.
166-172.
[7]
Thomas a Kempis, Mengikuti…, hlm
16-17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar