Senin, 10 Desember 2018

MORAL & ETIKA: 2018,12,10, KEUTAMAAN ADALAH JALAN TENGAH KEPADA KEBAHAGIAAN



KEUTAMAAN ADALAH JALAN TENGAH KEPADA KEBAHAGIAN 

“Lihatlah, makan, minum, pakaian, dan kebutuhan lainnya, yang tersedia bagi pemeliharaan badan, merupakan beban bagi roh yang menyala semangatnya. Perkenankanlah aku mempergunakan prasarana hidup sem,acam itu hanya seperluna saja, dan dapat mengekang keinginanku yang terlalu besar kepadanya. Menanggalkan semua kebutuhan hidup itu mungkin, sebab kodrat yang harus dipelihara, tetapi ingin memperolehnya dengan berlebih-lebihan untuk menikmati adalah bertentangan dengan hukum suci Tuhan; karena dengan demikian, daging akan berontak lagi melawan roh.”
“Aku mohon kepada-Mu, semoga tangan-Mu dapat membimbing dan menuntun aku dan agar Engkau berkenan mengajar aku berjalan di antara dua sisi yang berbahaya.”(Thomas a Kempis)[1]

Sering terjadi, apa yang dikatakan dan apa yang diperbuat oleh manusia sekarang ini tidak sesuai dengan tujuan kebahagiaan bersama. Manusia lupa, bahwa manusia hidup untuk bahagia. Dalam keseharian, manusia dijadikan budak nafsu diri. Hal ini tidak nampak, namun sangat memperdaya manusia. Iklan-iklan yang dihadapkan kepada masyarakat menciptakan atau bahkan memaksakan manusia menjadi konsumer yang melebihi dari batas kebutuhan manusia itu sendiri. Hal yang seharusnya tidak menjadi kebutuhan, dicipta dan dimanipulasi sehingga sekarang “seperti” membutuhkannya dan dipaksakan menjadi kebutuhan “karena tren” yang ada di tengah masyarakat.
Manusia tidak menjadi dirinya dan diperbudak oleh kehendak yang tak teratur dalam dirinya. Ketika manusia tidak menghidupi hidupnya dan diperbudak oleh kehendak tak teratur dalam dirinya maka manusia tidak sampai kepada kebahagiaan. Nilai tertinggi dari semua tindakan adalah kebahagiaan. Demikian Aristoteles memberi kesimpulan dari dua tujuan tindakan yang dilakukan manusia. Keutamaan menjadi jalan tengah yang sangat baik untuk melakukan tindakan yang baik, dimana manusia bertindak baik secara terus menerus dengan tujuan benar. Demikianlah kebahagian menjadi milik orang yang hidup dalam keutamaan.
Pengertian Keutamaan
Secara etimologinya keutamaan adalah terjemahan dari kata “arête” (bahasa Yunani) dan “virtus” (bahasa Latin),  virtue” (bahasa Inggris). Kata virtus berakar dari vir (laki-laki dewasa) dan jug avis (kekuatan) yang memiliki dimiliki oleh laki-laki dewasa.[2] Kata keutamaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah 1. Keunggulan; keistimewaan; hal yang penting (terbaik, unggul, dsb): cara yang satu harus meningkatkan – cara yang lain; 2. Kebaikan budi pekerti: kebijaksanaan untuk rela berkorban adalah – yang sulit dicari. Maka, keutamaan dapat dikatakan sebagai suatu tindakan yang unggul dalam kebaikan dengan cara yang benar untuk membuahkan kebahagiaan bagi semuanya.

Pandangan Tentang Keutamaan
Manusia utama (virtuous) adalah orang yang berjiwa luhur, tangguh. Pertimbangannya matang dan tanggung jawab diembannya dengan setia sehingga dia mencapai kebahagiaan dengan cara yang benar.[3] Demikianlah pandangan keutamaan menjadi buah pemikiran dari Aristoteles, Thomas Aquinas, dan Alasdair MacIntryre. Gagasan mereka menjadi landasan pemikiran akan keutamaan yang akan kita bahas dalam topik ini.
·        Keutamaan menurut Aristoteles
Menurut Aristoteles keutamaan adalah “a mean between two vices, one of excess and one of deficiency.” Dan orang yang berkeutamaan adalah orang yang memilih “titik tengah” atau “jalan tengah” (mesotes) di antara dua hal ekstrim yang berkelebihan dan berkekurangan. Tujuan kehidupan adalah “kebahagiaan” (bahasa Yunani:”eudaimonia”)[4]
·        Keutamaan menurut Thomas Aquinas
Menurut Thomas Aquinas, virtue, “which is an oporatie habit, is a good habit productive of good works, habitus operatives bonus.” Kebiasaan inilah hasil usaha yang disengaja. Orang yang melakukan tindakan baik secara sengaja dan terus-menerus. Kebiasaan inilah yang menjadi suatu kecenderungan yang dalam mengambil putusan tanpa harus menimbang-nimbang lagi, karena hal itu adalah kebiasaan yang telah melekat pada dirinya.
·        Keutamaan menurut Alasdair MacIntyre
Dari buah pemikiran Aristoteles dan Thomas Aquinas, Alasdair MacIntyre menyimpulkan bahwa sudah waktunya untuk kembali ke keutamaan seperti apa yang diungkapkan oleh kedua filsuf tersebut.  Setiap tindakan “tujuan”nya itu kepada ‘kebaikan’ (good), ‘keadilan’ (justice), dan ‘kewajiban’ (duty).[5]  

Keutamaan Moral
Keutamaan moral merupakan keutamaan yang diperoleh dengan usaha manusia yang terus-menerus dilakukan sehingga menjadi kebiasaan atau sikap diri. Ada 4 keutamaan moral menurut gereja katolik, yakni:[6]
1.      Kebijaksanaan
Kebijaksanaan adalah keutamaan yang membuat budi praksis rela, supaya dalam tiap situasi mengerti kebaikan yang benar dan memilih sarana yang tepat untuk mencapainya. “Kebijaksanaan ialah akal budi benar sebagai daar untuk bertindak” demikian dituliskan Thomas Aquinas (s.th. 2-2,47,2,sc) mengikuti ide Aristoteles. Kebijaksanaan langsung mengatur keputusan hati nurani. Berkat kebijaksanaan ini kita menerapkan prinsip-prinsip moral tanpa keliru atas situasi tertentu dan mengatasi keragu-raguaantentang yang baik yang harus dilakukan dan yang buruk yang harus dielakkan.
2.      Keadilan
Keadilan adalah keutamaan kehendak yang tetap dan teguh untuk memberi kepada Allah dan sesama, apa yang menjadi hak mereka. Keadilan kepada Allah “keutamaan penghormatan kepada Allah” (virtus religionis). Keadilan kepada manusia mengatur, supaya menghormati hak setiap orang dan membentuk dalam hubungan antar manusia, yang memajukan kejujuran terhadap pribadi-pribadi dan kesejahteraan bersama.
3.      Keberanian
Keberanian adalah keutamaan moral yang membuat tabah dalam kesulitan dan tekun dalam mengejar yang baik. Orang yang berani akan meneguhkan kebulatan tekad, untuk melawan godaan dan agar mengatasi halangan-halangan dalam kehidupan moral. Keutamaan keberanian akan mengatasi ketakutan.
4.      Penguasaan Diri
Penguasaan diri adalah keutamaan moral yang mengekang kecenderungan kepada berbagai macam kenikmatan dan membuat kita mempergunakan benda-benda duniawi dalam ukuran yang tepat. Orang yang berkeutamaan dalam penguasaan diri mengarahkan kehendak inderawinya kepada yang baik, dan mempertahankan kemampuan sehat untuk menilai dan berpegang teguh untuk tidak mengikuti setiap kecenderungan dan nafsunya.
Refleksi Kritis
Dari kesadaran yang terdalam, manusia mengejar kebahagian hidup dan menuju kepada hidup baik dan benar. Demikianlah seadanya dan senyatanya. Namun manusia yang memiliki kehendak bebas dalam menjalankan pilihan hidup ini, masih lebih memuaskan keinginan dan kebahagian semu semata. Zaman ini penuh dengan perkembangan yang teramat cepat. Manusia tetap berdiri sebagai dirinya. Namun adalah teramat penting ia mengenakan keutamaan dalam melihat, menimbang, dan memilih apa yang ia hidupi. Karena manusia benarbenar menjadi manusia ketika ia bertindak sebagai manusia dengan tujuan baik dengan cara yang benar untuk menuju kebahagiaan yang sejati sebagai seorang manusia yang bahagia.
“Berulang kali hati kita menjadi tidak tenteram apabila kita menginginkan sesuatu secara tidak teratur. Orang yang belum dapat menyangkal dirinya sendiri dengan sungguh-sungguh, akan segera tergoda dan terkalahkan dalam hal-hal yang kecil dan tidak berarti. Maka ketenteraman hati yang sebenarnya tidak diperoleh dengan menuruti keinginan hawa nafsu, melainkan dengan menentang desakannya. Oleh karena itu, ketenteraman hati tidaklah terdapat pada orang yang masih lekat pada kenikmatan daging, juga tidak mereka yang sangat mementingkan hal-hal lahiriah, melainkan pada mereka yang rajin dan bersemangat di dalam perkara-perkara rohani.”[7]


[1] Thomas a Kempis, Mengikuti jejak Kristus, (Jakarta: OBOR, 2010), hlm. 228-229.
[2] Largus Nadeak, Topik-Topik Teologi Moral Fundamental, (Medan:Bina Media Printis, 2015), hlm. 146, bdk. Franz Magis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 199.
[3] Largus Nadeak, Topik-Topik…, hlm. 146.
[4] Fran Magis-Suseno, 13 Model Pendekatan Etika, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 39.
[5] Nancey Murphy et al. (ed.), Virtues and Practices in the Christian Tradition: Christian Ethics after MacIntyre, (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1997), hlm. 7.
[6] KWI, Katekismus Gereja Katolik, (judul asli: Libreria Editrice Vaticana, Citta del vaticano, 1993), diterjemahkan oleh P. Herman Embuiru SVD (Ende: Arnoldus, 1995), hlm. 477-478. bdk. Antonio Mores et Bernardino Leers, Moral Theology: Dead Ends and Alternatives, (New York: Orbis Books, 1990), hlm. 166-172.
[7] Thomas a Kempis, Mengikuti…, hlm 16-17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar