KLASIFIKASI
KESENIAN DALAM BUDAYA BATAK TOBA
Kesenian merupakan bahasa pengungkapan
dan kreatifitas manusia dalam rupa sastra, lukis, bangunan, kerajinan tangan, musik,
tari dan lain sebagainya. Dalamnya manusia akan mengekspresikan banyak
nilai-nulai yang terkandung di dalamnya. Dalam hal ini kita akan melihat dua
nilai yang memiliki muatan spiritual dan profan.
Disini kita akan mengklasifikasikan
kesenian yang ada dalam budaya Batak Toba dalam dua kelompok yakni kesenian
spiritual dan kesenian profane. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan kesenian
spiritual yakni kesenian yang dibuat atau dilaksanakan dengan tujuan dan
pengarahan kepada hal-hal yang spiritual, keagamaan, dan bersifat ilahi.
Sedangkan kesenian profan yakni kesenian yang dibuat atau dilaksanakan dengan
tujuan yang bersifat manusiawi dan duniawi, atau dapat dikatakan berisikan
muatan hiburan.
1. Seni tulis dan sastra
1.a. Aksara Batak Toba
Seni tulis aksara[1]
batak masih menjadi suatu yang misteri tentang asal usul, kapan dimulai dan
berakar dari mana aksara ini. Namun suatu kebanggaan dari ratusan suku budaya
yang ada di Indonesia, hanya beberapa yang memiliki aksara khas dalam
budayanya, yakni: Batak, Bugis dari Sulawesi, Lampung, Jawa dan Bali. Aksara
dalam satu kebudayaan menunjukan tingginya peradaban dalam budaya tersebut.
Aksara batak diperuntukan menulis ‘
pustaha lak-lak’ yang merupakan kitab atau perkamen yang dibuat dari kulit kayu
“lak-lak”[2]
yang dibentuk menjadi kitap yang panjang. Pustaha nlak-lak berisikan
turi-turian (cerita mitologi batak), tonggo-tonggo (doa), tabas (mantra),
parhalaan (penanggalan kalender), ramuan obat-obatan dan banyak hal ikhwal
tentang kehidupan di tulis didalamnya.
Dalam hal ini aksara batak memiliki
peran sebagai alat komunikasi dengan tulisan. Namun fungsionalitasnya ada dua
yakni memuat tentang hal supranatural jika itu menyangkut tentang doa, mantra
dan kisah spiritual dan yang kedua bersifat profane jika itu memuat sebatas
turi-turian (cerita), ramuan obat-obatan dan sejauh tulian menyangkut hal
kemanusiaan semata. (nilai spiritual dan profan)
1.b.
Turi-turian
Turi-turian[3]
adalah karya sastra yang berisikan kisah dongeng yang hidup dalam masyarakat
Batak Toba. Sebagai contoh
1. Turi-turian
ni si Aji Marimbulu Bosi,
2. Turi-turian
ni Nan Jomba Ilik
3. Turi-turian
ni si Jonaha
4. Turi-turian
ni si Aji Urang Mandopa
5. Turi-turian
ni si Malin Deman
(nilai profan)
1.c. Umpama dan umpasa
Umpama[4]
adalah sajak yang berisikan perumpamaan yang mau membandinkan, mengumpamakan
dan mencontohkan suatu hal kepada hal lain yang sangat sarat makna kehidupan.
Umpama sering digunakan orang dalam berbagai acara dalam memberikan peuah atau
ajaran kepada orang yang dituju. (nilai profan)
Umpasa[5]
adalah sajak yang berisikan kata-kata yang bernas dan bertuah yang di dalamnya
ada ‘pasu-pasu’ (kata-kata berkat) yang ditujukan kepada siapa disamaikan
umpasa itu. Umpasa lebih menonjokan isi kata yang bijaksana dan bernas/bertuah
sebagai harapan, doa dan berkat yang dapat dikatakan doa dalam bentuk sajak
yang selalu terarah untuk mohon berkat dari Allah lewat sajak umpasa itu. (nilai
spiritual)
1.d.Torsa
Torsa-torsa[6]
adalah legenda dari cerita rakyat yang diceritakan sejak dahulu dari mulut ke
mulut. Isinya sering dikatkan kepada hal yang bersifat sejarah, tetapi pada
umumnya isinya kurang dapat diterima akal. Sebagai contoh torsa-torsa Batu
Gantung, torsa-torsa Bulung Sungkit. (nilai profan)
1.e.
Tonggo-tonggo
Tonggo-tonggo[7]
adalah karangan yang memiliki susunan yang sudah tertentu, yang mana
tonggo-tonggo adalah untaian berupa syair yang bermuatan doa dengan konten mencakup
kepercayaan, mitologi, kosmologi dan keyakianan antara dunia kehidupan dan
kematian yang ada di kehidupan ini.
Tonggo-tonggo merupakan lantunan doa
atau lebih tepatnya litani yang selalu diucapkan dalam upacara peribadatan.
Tonggo-tonggo merupakan doa yang dipanjatkan, namun mengapa dapat digolongkan
kedalam seni? Tonggo-tonggo merupakan doa yang terstruktur yang disusun
sedemikian rupa yang memiliki susunan yakni:
a.
Pada
bagian pertana pujian dan penyembahan kepada Allah Tinggi yakni Debata Mula
Jadi Nabolon.
b.
Pada
bagian kedua kepada Allah yang Tiga yakni Debata Natolu, yang terdiri dari
Debata Batara Guru, Batara Sori dan Malabulan.
c.
Kemudian
dilanjutkan kepada para penghuni dunia (Banua)
c.1. Dunia Atas (Banua Ginjang)
c.2. Dunia Tengah (Banua Tonga)
c.3.Dunia Bawah (Banau Toru)
d.
Kemudian
lantunan Tonggo-tonggo diarahkan kepada penguasa alam manusia (Badia, Namartua,
dan Sahala)
e.
Kemudian
kepada arwah para leluhur (Sumangot dan Parsahalaan)
f.
Dan
terakhir untuk doa dan permohonan manusia yang masih hidup di dunia.
Ini
menjadi ketentuan dalam menuliskan tonggo-tonggo. Dalam hal inilah ada seni
yang termaktub di dalamnya yakni berupa perwujutan mitologi kepercayaan Batak
akan alam para ‘Debata’, kosmologi dan keyakinan hubungan semua alam ‘Debata
dengan dunia kehidupan dan kematian. Dalam setiap tongg-tonggo akan termaktub
kisah dalam dunia ‘Debata’ alam ‘roh’ kosmologi dan kehidupan manusia yang
saling berkaitan.
Di
bawah ini salah satu contoh tonggo-tonggo.
TONGGO MULA JADI
*Ale
oppung mulajadi nabolon
Sitoppa
hasiangan sigomgom parluhutan
Silehon
aek na tio,asa takkas na di banua
Ho
do na jumadihon hau umbahen na ginjang
Na
tumopa dolok umbahen natio
*pangalapis
doho sian toru
Pardinding
sian lambung
Napaongi
sian ginjang
Hodo
haroroanni sangap
Hodo
haroroanni badia
Parsangapi
mahami,barbadiai
Hodo
haroroanni hagabeon dohot hamoraon
Tantan
hami laho gabe
Tatea
hami laho mamora
Hutonggo
hami maho, ompung mulajadi
Ndang
tumonggo mangan,ndang tumonggo minum
Tumonggo
panggabean do
Tumonggo
parhorason,parsangapon dohot parbadiaon.
*Adong
pinsang ni mata,adong humor ni roha
Hurang
gabe hami,hurang mora,
Hurang
do hami di habisuon
Hurang
di pakkataion
Tuturi
ma hami,tungkali,ajari jala bohali
Baha
ni ompung nami do baha raja
Paisoranghon
ma di hami harajaon,tumba ni naung adong
Baha
ni ompun nami do bana pande tungkap
*pangimbola
pande suhul,pangarapat pade sorung
Pangorompu
pande harpe
Sorung
mai bahen di ham, pomparan ni anak dohot pomparan ni boru
Porda
marungrung mutak ma tu songkirna
Horbo
manurun mulak ma tu barana
Sinok
ma ogung di sangkena
Hot
ma pinggan di sangkena
Unang
mungsat tali tali sian simanjujung
Unang
mumpat tanduk sian ulu ni horbo
Pahot
mai di hami
Ompung
Mulajadi Na Bolon
*Na
Mian di ginjang ni ginjang
Di
langit ni langit,di ombun ni ombun
Di
Ombun na pitu tindi,di langit na pitu lapis
Hodo
haroro ni hasonglion,haroro ni sahala
Patektekon
di hami hasongtionmi,parsahalai ma hami
Di
parsahalai Hodo ompung nami naparjoloi
Ompung
nami guru tatea bulan,ompung nami raja isombaon
Sahat
rodi ompung nami raji,sisinga mangaraja
Singa
ni adat,singa ni uhum
Singa
nasomangalompoi,singa na so halompoan
Asa
manuturi huhut manotari
Di
bangso batak na tinompami
*Ompung
Mula Jadi Na Bolon
Dohot
hamu ompung Debata Naholu
Natolu
suhu
Natolu
harajaon
Namanggomgomi
langit dohot tano
Dohot
jolma manisia
Mulani
Dungdang mula ni sahala
Si
leang-leang mandi,suru-suruan Mi
Si
untung-untung Na bolon,si pasahat hata mi
Si
leang Nagurasta,i ma na hundul di harbangan Mu
Manjaga
cawan NaGok marisi mual habadiaon
*Siraja
inda-inda
Siraja
indapati
Papa
jung-jung pinggan ni hosni mataniari
Na
hinsa suruon,magirgir mangalapi
Nasindak
sumunde-sunde
Nauja
manotari
Siboto
unung-unung nauju manangi-nangi
Napabukka-bukka
pintu
Napadung-dang,dung-dang
ari
Napasorop-sorop
ombun di gorjok-gorjok ni ari
Parambe-rambe
nasumurung
Sitapi
manjalahi
Napahorus
sumba hu Ompunta Mulajadi
Tuatma
Hamu Ompung
Sian
ginjang niginjangan
Sian
langit di langitan
Sian
toding banua ginjang
*Sian
langit napitu lampis
Sian
ombun napitu tingka
Sian
ombun na pitu lampis
Sian
bintang namarjombut
Tu
lape-lape bulu duri
Sian
mua situdu langit
Tu
gala gala na pulpulan
Hariara
sanglia madena,poaringin tumburjati
Partunghuon
ni omputta Mulajadi
Maka dari itu tonggo-tonggo adalah
ayat-ayat suci yang diarahkan untuk doa yang memiliki nilai spiritualnya, yang
mana tonggo-tonggo hanya diperuntukan untuk hal yang rohani, spiritual, sakral
dan ilahi. (nilai spiritual)
2. Seni musik
Dalam budaya Batak musik memiliki peran
yang sangat khusus dan sakral. Musik adalah mediator untuk
menyampaikan/mengangkat doa ke hadapan Debata (Allah Tinggi) yang dalamnya saat
tonggo-tonggo disampaikan maka ‘Gondang Sabangunan”[8]
(seperangkat alat musik berupa 5 gendang, alat tiup (sarune), ogung (gong))
dipalu untuk mengiringi naiknya tonggo-tonggo sebagai ujud doa dan permohonan
manusia ke hadapan Debata. Gondang boleh
dipalu jika pemimpin upacara telah ‘martonggo’ (berdoa). Dalam hal ini gondang
sebagai alat musik diperuntukkan untuk upacara sakral atau spiritual. (nilai
spiritual)
3. Seni suara
Seni suara atau menyanyi memang sangat
jarang sekali ditemukan aktifitas menyanyi dalam kesenian Batak Toba. Tidak
seperti budaya Jawa yang memiliki seni tarik suara seperti yang ada di
perwayangan dan ‘sinden’ yang memiliki kekhususan dalam seni tarik suara. Namun
ada beberapa bentuk seni suara yang mungkin dalam hal-hal khusus saja diadakan
yakni ‘andung-andung’[9]
(nyanyian yang berisi ratapan duka) yang mana didalamnya berisikan kisah yang
bernuansa duka. (nilai profan) ‘Along-along’ yakni nyanyian para pemuda dan
pemudi yang mengungkapkan isi hatinya dalam acara yang diperuntukkan bagi kaum
muda dimana pemuda atau pemudi mengincar lawan jenisnya untuk menarik perhatian
agar ia mau menjadi kekasihnya. (nilai profan) ‘Manggora’ yakni
nyanyian yang dinyanyikan sambil menari yang dilakukan oleh kaum muda. (nilai
profan) ‘Marinjenginjeng’ yakni nyanyian kemeriahan yang dinyanyikan
kaum muda dengan diawali yel-yel
“injenginjeng” (nilai profan) ‘Huling-ulingasa’ yakni nyanyian sekalian
permainan yang berisikan teka-teki. Nyanyian hanya berisikan nada yang
mendukung penyampaian teka-teki yang menjadi menarik saat dilakukan dengan
berbalas-balasan. (nilai profan)
4. Seni tari
Tor-tor[10]
merupakan “tarian” (dalam makna yang khusus) yang secara esensial memiliki
esensi sebagai ‘doa’. Saat gondang dipalu, manusia mulai mengatur sikap hormat
dan membentuk berak penghormatan, santun dan sakral[11].
Dalam hal ini harus disadari gerak (ada tiga ketentuan gerak yang menjadi pakem
yakni 1. Pangurdot
(yang termasuk pangurdot dari organ-organ tubuh ialah daun kaki, tumit sampai
bahu. 2. Pangeal (yang termasuk pangeal dari organ tubuh adalah Pinggang,
tulang punggung sampai daun bahu/sasap).
3. Pandenggal (yang masuk pandenggal adalah tangan, daun tangan sampai jari-jari tangan).
4. Siangkupna (yang termasuk Siangkupna adalah leher)) ini menjadi manifestasi dari keikutsertaan tubuh kemanusiaan untuk berdoa lewat alunan musik yang dibuat sebagai manifestasi tonggo-tonggo yang disampaikan. Maka dari itu dapat dilihat runtutannya. Tonggo-tonggo dipanjatkan maka gondang dipalu sebagai manifestasi penyampaian doa dan manusia boleh manortor saat gondang dipalu. Manortor menjadi suatu manifestasi tonggo- tonggo yang dipanjatkan menjadi doa bersama dan saat musik sakral teralun manusia masuk ke dalam kediriannya dan bersatu dalam alunan lagu untuk bersatu dalam berak dan musik yang teralun indah menjadi satu kata yakni “Doa”. Maka nampak dalam hal ini tor-tor bukan sebatas tarian semata namun memiliki esensi yang terdalam. (nilai spiritual)
3. Pandenggal (yang masuk pandenggal adalah tangan, daun tangan sampai jari-jari tangan).
4. Siangkupna (yang termasuk Siangkupna adalah leher)) ini menjadi manifestasi dari keikutsertaan tubuh kemanusiaan untuk berdoa lewat alunan musik yang dibuat sebagai manifestasi tonggo-tonggo yang disampaikan. Maka dari itu dapat dilihat runtutannya. Tonggo-tonggo dipanjatkan maka gondang dipalu sebagai manifestasi penyampaian doa dan manusia boleh manortor saat gondang dipalu. Manortor menjadi suatu manifestasi tonggo- tonggo yang dipanjatkan menjadi doa bersama dan saat musik sakral teralun manusia masuk ke dalam kediriannya dan bersatu dalam alunan lagu untuk bersatu dalam berak dan musik yang teralun indah menjadi satu kata yakni “Doa”. Maka nampak dalam hal ini tor-tor bukan sebatas tarian semata namun memiliki esensi yang terdalam. (nilai spiritual)
5. Seni tenun
Tenun merupakan keterampilan dari para
wanita untuk memintal kapas menjadi benang dan menenunnya menjadi suatu kain.
Kain tenun ini sering disebut ‘ulos’[12]
(berdasar dari kata ‘ung-las’ yang berarti menghangatkan). Yang dalam fungsinya
kain ini yang dibuat tebal akan member kehangatan. Namun tidak semua kain tenun
disebut ulos. Ada kain tenun yang menjadi ‘abit’ (pakaian). Abit tetap sebagai
perannya untuk menjadi pakaian (nilai profan), sedangkan ulos
memiliki fungsional yang berbeda. Ulos merupakan kain yang diberikan dalam
acara sakral oleh ‘hula-hula’ (paman/keluarga dari pihak wanita yang dianggap
punya peran yang tinggi sebagai kedudukan yang memiliki fungsional dan peran
penurun dan pembawa berkat untuk ‘boru’ dan ‘bere’nya). Berkat dalam hal ini
sebagai bentuk kemiripan berkat yang diberikan ‘Debata’ (Allah) pada manusia.
Maka peran itu di sandingkan kepada ‘hula-hula’. Maka dalam hal ini ulos memiliki
fungsional bukan sebatas kain yang tertenun namun sebagai sarana
pemberi/penurun berkat yang saat member dan menerimanya ada doa dan harapan
disampaikan. Dalam hal menenun, kain tidak sembarang ditenun. Proporsi tenunan
kain menyimbolkan manusia yang memiliki tubuh, kepala, kaki, dan tangan. Dan
dalam ulos yang ditenun ada ‘gatip’ (motif-motif) yang sarat makna, mulai dari
lambang kelamin manusia, alam, kosmis, kemanusiaan dan sarat makna spiritual.
Maka dari itulah ulos memiliki fungsional yang bukan sebatas kain tenun semata
namun ia menerima peran sebagai kain khusus yang tersakralisasi dengan menerima
dan mengambil perannya saat dipakai, diserahkan dan diterima. (nilai
spiritual)
6. Seni ukir/pahat
Seni ukir dan pahat sangat dikenal dalam
kesenian batak. Pada masanya laki-laki banyak membuat patung dan ornament serta
pahatan yang berbahan dasar kayu, batu, tulang, gading, besi/metal dan yang
lainnya. Dalam seni pahat membuat patung memiliki fungsional yang kompleks.
Mulai dari alat rumahtangga, perkebunan, berburu, barang-barang sakti untuk
kerajaan dan peribadatan senta alat-alat berupa patung penyembahan dan patung
magis yang diperuntukkan sebagai mediator kekuatan mistik untuk kehidupan
peribadatan dan kehidupan sehari-hari
selalu mendapat bentuk dalam pahatan dan ukiran. Dalam hal ini ukiran dan
pahatan memberikan simbolik dan perwujutan dari apa yang disimbolkan pada
barang yang dibentuk dan dihasilkan. Ketika hal tersebut diperuntukan dalam
peran alat rumahtangga, perang, berkebun dan alat keseharian maka ukian dan
pahatan menunjukan fungsi fisik.(nilai profan) Sedangkan jika ukidan
dan pahatan itu menjadi alat kesaktian, peribadatan, mediator kekuatan mistik
maka alat-alat tersebut mengambil perannya. (nilai spiritual)
7. Seni lukis
Seni lukis dalam budaya batak sering
disebut ‘Gorga’[13],
yakni motif-motif yang bersturktur garis, gambar, symbol dan lambing-lambang
yang dilukiskan dengan mengunakan 3 warna yakni merah, putih, dan hitam.
Gambar-gambar ini dibuat dalam ukiran rumah dan bangunan, patung, lak-lak dan
parhalaan. Motif-motif ini memiliki sarat makna yang menjadi implementasi
perwujutan simbolisasi dari ssesuatu yang mau disampaikan berupa pembahasaan
akan hal yang berkaitan tentang kehidupan dan kematian, spiritual, dunia roh,
hal mistis, dam mitologi yang digambar dalam rupa symbol-simbol yang sarat arti
namun muatan dari symbol tersebut sangat padat dan akan mengerti ketika kita
melihat tidak dalam satu sudut pandang namun kita bengartikannya ketika kita
melihat keseluruhan dan spesifikasi dari setiap hal yang ingin disampaikan.seni
lukis ini bersifat khusus (nilai sakral, spiritual dan misteri).
8. Seni bangunan
Bagi orang batak, membangun rumah adalah
suatu hal yang sangat penting dan sakral.membangun rumah sama halnya
mempersiapkan hunian (bukan nyanya tempat tinggal, namun dalam nilai
spiritualnya rumah “sibaganding Tua” adalah dunia ‘banua’ yang kecil tempat
tinggal. ‘Sibaganding’ adalah sebutan untuk ular sakral yang jika hadir ia akan
membawa rejeki, kesuburan dan kebahagianan dimana ia lewat. ‘Tua’ artinya
berkarisma, memiliki berkah. Maka dari itu jika rumah dimaknai sebahai
sibaganding tua, mau menunjukan kekhasan dan kesakralan dari tujuan rumah yang
hanya sebatas tempat tinggal. Rumah dibangun dari bahan dasar kayu yang diperoleh
dari hutan. Kayu yang dingunakanpun adalah kayu-kayu pilihan dan memenuhi
pesyaratan kelayakan kayu untuk dipakai sebagai bahan bangunan rumah. Bangunan
dibangun sedemikian rupa tanpa ngunakan paku melainkan dengan
‘Baji’/‘hansing-hansing’[14]
yakni seperti patok yang memiliki fungsi seperti paku yang terbuat dari ‘pakko’
yakni batang enau yang keras dengan ukuran sebesar lingkar jari dengan panjang
seturut kebutuhan bangunan yang diperlukan.
Saat membangun rumah mereka harus menemui datu untuk menanyakan saat
yang baik dan apa yang diperlukan dalam mempersiapkan bangunan tersebut.
Setelah tempat dipersiapkan, diadakanlah ritual untuk mendoakan areal yang
nantinya akan dibangun rumah. Para tukang diberangkatkan dengan doa untuk
mengambil kayu yang diperlukan dalam membangun.
Banyak persyaratan yang harus dipenuhi, mulai dari berangkat menuju
hutan, cara menebang kayu, meneliti arah rebahnya pohon, dan cara membawanya ke
perkampungan tempat dimana akan didirikan bangunan tersebut.[15]
Pada bangunan itu sendiri sarat makna,
mulai dari bentuk seekor binatang (karena dibagian depan ambang atas atap
bagian depan diberi ornament yang disebut ‘ulu paung’ yang menunjukan symbol
kepala, sedangkan di belakang diberi ekor kerbau atau kuda). Banyak ornament
yang sarat simbolik. Bagian depan rumah mau merampung seluruh symbol identitas
suatu bangunan. Layaknya satu sosok mahluk, rumah juga demikian. Pada badan
rumah juga nampak pemahaman kosmologi[16]
batak yakni 3 ‘banua’ yakni dunia. Atas, tengah dan bawah. Bagian atap adalah
simbolik banua ginjang. Bagian tengah adalah gambaran banua tonga dan bagian
bawah itu adalah banua toru (biasanya bagian bawah diperuntukan untuk kandang
hewan peliharaan).
Demikianlah rumah sebagai bangunan fisik
namun dengan bentuk, ornament dan penyematan makna kesakralan didalamnya
membuat bangunan tidak hanya dipandang sebagai bangunan fisik semata tetapi ada
jiwa di dalammya. Ini nampak saat rumah selesai dibangun, rumah akan dipestakan
‘ma ruma tondi i’ yakni member jiwa pada rumah. Rumah menjadi gambaran
kehadiran identitas suatu hidup. Ini menunjukan bahwa manusia yang ada di
dalamnya tinggal dalam satu tatanan kosmik kecil yang dilindungi oleh ‘Ruma’
itu sendiri yakni ‘Sibaganding Tua’. Maka dari itu, rumah yang dibangundan
dibentuk tidak lagi tinggal pada batasan bangunan fisik namun menjadi bangunan
simbol kosmos yang memiliki nilai spiritual. (nilai spiritual)
9. Seni meramu obat
Meramu obat merupakan sebuah keterampilan
dimana seorang ‘datu pamulung’(dukun yang perdi ke hutan untuk mencari tanaman
obat-obatan). Mengapa ini masuk kepada seni? Karena meramu obat membutuhkan
kemahiran khusus pada si ‘datu pamulung’ bukan hanya jenis tanaman obat, namun
fungsi, takaran batas kebutuhan tubuh, jenis penyakit dan obat yang sesuai.
Dalam meramu dibutuhkan kepintaran, perasaan, imajinasi, intusisi dan perasaan
yang teramat halus untuk berbicara tentang tubuh manusia, penyakit, tumbuhan,
obat dan kesembuhan. Saat member obat datu selain member obat akan menyertakan
mantra (doa atau kalimat yang dianggap sakral) yang harus diucapkan. Karena
dalam seni meremu obat orang harus sadar ketika manusia sakit, bukan hanya
tubuh manusianya saja yang sakit namun bisa juga ada pengaruh ke batin,
pikiran, jiwa dan rohnya. Maka peran mantra dalam hal ini untuk penyembuhan
diluar biologis. Dalam hal keakurasian dan keterampilan inilah yang membuat
meramu obat masuk kedalam seni meramu obat-obatan yang memang masih masuk dalam
ranah manusianya.(nilai profan)
10.
Seni meramal dan
perbintangan
Seni meramal dan perbintangan (parmesa)
memiliki kemiripan dengan kegiatan ramal dan perbintangn pada umumnya. Dalam
hal meramal dan perbintangan manusia diharapkan mampu melihat tanda-tinda yang
menjadi simbol yang tersembunyinya kenyataan yang diramal dan diperhitungkan
akan terjadi entah yang baik atau yang jahat dengan menggunakan parmanuhan’,
‘ruji-ruji’, . Meramal mengandaikan seseorang mencoba mendefenisikan sesuatu
kejadian yang masih pada kedudukan yang belum pasti dan abstrak. Namun dengan
tanda-tanda yang ada peramal datu panimbang’ dan perbintangan ‘parhalaan’[17]
mencoba berintuisi dengan pemikirannya. Dalam hal inilah meramal dan
perbintangan masuk dalam seni kehidupan yang mencoba menyimbolkan simbolik
tertentu pada macam-macam benda, keadaan, ketidaknyataan dan dan hal-hal yang
di luar nalar. ‘Parmanuhan’ adalah kemampuan membahasakan sesuatu yang diluar
nalar berpikir manusia untuk mampu sampai kepada defenisi simbolik pada sesuatu
kenyataan itu sendiri. (nilai spiritual)
11.
Seni kerajinan
tangan
a. Mangaletek/ membuat tikar
Menganyam tikar yang dikenal dengan
sebutan ‘mangaletek’ adalah sejenis seni kerajinan untuk menganyam pandan untuk
menjadi tikar (terdapat 2 jenis tikar pandan bagi masyarakat Batak Toba yakni
‘amak tiar’[18]
yakni tikar dengan anyaman pandan yang halus serta berwarna putih cerah yang
biasa dipakai untuk tempat duduk raja, orang terhormat serta meletakkan
barang-barang yang sakral dalam upacara adat dan peribadatan (nilai
spiritual) dan ‘lage tiar’ yakni tikar yang dianyaman dengan jenis
pandan biasa dan berwarna lebih gelap dari ‘amak tiar’ yang diperuntukkan bagi
tempat duduk untuk orang-orang biasa atau dapat disebut tikar yang dipergunakan
dalam kehidupan sehari-hari (nilai profan) dan beberapa barang
yang terbuat dari pandan seperti ‘tandok’[19]
adalah sejenis kantongan yang dibuat dari anyaman pandan berupa selinder yang
rata-rata berukuran diameter 20-5 cm dengan tinggi 100-150 cm yang dipergunakan
tempat membawa padi atau beras (sebagai partisipasi keluarga terdekat dalam
dukungan materil untuk upacara yang diadakan) serta makanan adat yang akan
diserahkan dalam acara adat.(nilai profan) Dan ‘sumpit’ adalah
sejenis ‘tandok’ yang berukuran lebih kecil yakni 15-20 cm dengan tinggi 20-30
cm yang digunakan tempat beras, sirih, kemiri, uang logam, telur yang menjadi
simbol ‘beras si pir ni tondi’ (beras lambang kepenuhan roh) yang biasanya
diserahkan dalam acara adat. (nilai spiritual) ’Hajut’ adalah
anyaman pandan yang lebih kecil lagi yang dibuat mirip dompet kecil yang
memiliki tali untuk disandang tempat uang, sirih atau perkakas kecil yang
dibawa keluar rumah atau keladang. (nilai profan)
b. Mardan-dan/membuat anyaman
Banyak anyaman yang menjadi kreatifitas
orang batak pada masa lalu yakni ‘Rumbi’[20]
adalah anyaman yang dibuat seperti tong besar dengan bahan dasar rotan yang
bisasa digunakan untuk tempat menyimpan barang-barang ataupun padi yang akan
dipakai dalam keperluan harian keluarga. (nilai profan)’Ompun’adalah tong
yang dibuat dari bahan dasar kulit kayu yang diperuntukkan tempat barang-barang
pentting atau naskah penting berupa lak-lak.(nilai profan) ‘Geang-geang’[21]
adalah sejenis anyaman rotan halus tempat mengantukangkan makanan di atas ‘para-para’ untuk menghindari
dimakan tikus atau kucing. (nilai profan) ‘Anduri’[22]
adalah sejenis anyaman bamboo yang dibuat berbentuk talam bulat untuk
menampi/membersihkan padi. (nilai profan) ‘Tatuan’ dan ‘ragian’
adalah anyaman rotan halus yang digunakan untuk tempat makanan raja dan orang
terhormat seta meletakan makanan yang dinilai sakral dalam acara adat dan
peribadatan. (nilai spiritual)
12.
Seni bela diri
Seni Beladiri batak (monsak)[23]
adalah salah satu olah raga batak yang biasa digunakan para leluhur batak pada
jaman dahulu kala, dalam menghadapi hidup sehari-hari, baik dalam hiburan,
pernafasan maupun menghadapi tantangan dan juga untuk kesehatan manusia. Mossak
Batak identik dengan pengobatan dan pernafasan dalam penyatuan darah manusia
dengan Tuhan hingga dapat menguasai tenaga dalam dan tenaga murni. Tenaga dari
3 benua, benua atas, benua tengah dan benua bawah yang ada dalam tubuh manusia
pada jaman dahulu setiap manusia yang hendak mempelajari ilmu pengobatan dan
ilmu perbintangan. Mossak Batak ini harus diajarkan juga jadi setiap manusia
batak dulu mossak batak ini merupakan suatu keharusan untuk dipelajari.
Mossak Batak ini dirangkai dengan langkah dan
jurus-jurus untuk menghidupkan dan mengaktifkan 9999 urat manusia. Salah satu seni bela diri batak
untuk penyatuan darah manusia dengan Tuhan.Salah satu tenaga dalam yang berguna
untuk membela diri dan untuk kesehatan.(nilai spiritual)
Salah satu seni bela diri batak yang biasa digunakan
hiburan dan atraksi pada pesta besar di tanah batak. Salah satu seni bela diri
batak yang biasa digunakan untuk menyambut para raja dan kenegaraan. Mossak
Batak sering kita dengar namun untuk mempelajarinya kita tidak tahu kemana atas
dasar inilah melalui ilham yang saya terima mencoba mengemas Mossak Batak
menjadi olah raga yang dapat dipelajari dan dipertandingkan. Mossak Batak ada
sembilan peringkat atau sabuk, sama dengan kitab Siraja Batak hanya saja dalam
Mossak Batak ini dimulai dari kitab ke sembilan menjadi sabuk pertama. (nilai profan)
DAFTAR
PUSTAKA
1. Malau,
Gens. Dolok Pusuk Buhit. Jakarta:
Balai Pustaka, 1994.
2. Marbun,
M. A. et al. (ed). Kamus Budaya Batak
Toba. Jakarta: Balai Pustaka, 1987.
3. Simamora,
Tano. Rumah Batak Toba: Usaha
Inkulturasi, Pematangsiantar: [tidak ada penerbit], 1997.
[1]
Gens G. Malau, Dolok Pusuk Buhit, (Jakarta:Balai
Pustaka, 1994), hlm. 41-43.
[2]
M.A. Marbun et al. (ed), Kamus Budaya
Batak Toba, (Jakarta;Balai Pustaka, 1987), hlm. 70.
[3]
M.A. Marbun et al. (ed), Kamus…, hlm.
185.
[4]
M.A. Marbun et al. (ed), Kamus…, hlm.
194.
[5]
M.A. Marbun et al. (ed), Kamus…, hlm.
194.
[6]
M.A. Marbun et al. (ed), Kamus…, hlm.
181.
[7]
M.A. Marbun et al. (ed), Kamus…, hlm.
177.
[8]
M.A. Marbun et al. (ed), Kamus…, hlm.
47.
[9]
M.A. Marbun et al. (ed), Kamus…, hlm.
16.
[10]
M.A. Marbun et al. (ed), Kamus…, hlm.
181`.
[11]
Gens G. Malau, Dolok …, hlm. 26-29.
[12]
M.A. Marbun et al. (ed), Kamus…, hlm.
187-193.
[13]
M.A. Marbun et al. (ed), Kamus…, hlm.
48-50.
[14]
Gens G. Malau, Dolok…, hlm. 26.
[15]
Tano Simamora, Rumah Batak Toba: Usaha
Inkulturasi, (Pematangsiantar:[tanpa penerbit], 1997), hlm. 15-24
[16]
Tano Simamora, Rumah…, hlm. 7-9.
[17]
M.A. Marbun et al. (ed), Kamus…, hlm.
129, 132-133.
[18]
Tano Simamora, Rumah…, hlm. 91, bdk,
M.A. Marbun et al. (ed), Kamus Budaya
Batak Toba, (Jakarta;Balai Pustaka, 1987), hlm. 15.
[19]
M.A. Marbun et al. (ed), Kamus…, hlm.
170.
[20]
Tano Simamora, Rumah…, hlm. 92.
[21]
Tano Simamora, Rumah…, hlm. 99.
[22]
Tano Simamora, Rumah…, hlm. 101.
[23]
M.A. Marbun et al. (ed), Kamus…, hlm.
107.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar