Sabtu, 17 November 2018

BUDAYA: KLASIFIKASI KESENIAN DALAM BUDAYA BATAK TOBA



KLASIFIKASI KESENIAN DALAM BUDAYA BATAK TOBA

Kesenian merupakan bahasa pengungkapan dan kreatifitas manusia dalam rupa sastra, lukis, bangunan, kerajinan tangan, musik, tari dan lain sebagainya. Dalamnya  manusia akan mengekspresikan banyak nilai-nulai yang terkandung di dalamnya. Dalam hal ini kita akan melihat dua nilai yang memiliki muatan spiritual dan profan.

Disini kita akan mengklasifikasikan kesenian yang ada dalam budaya Batak Toba dalam dua kelompok yakni kesenian spiritual dan kesenian profane. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan kesenian spiritual yakni kesenian yang dibuat atau dilaksanakan dengan tujuan dan pengarahan kepada hal-hal yang spiritual, keagamaan, dan bersifat ilahi. Sedangkan kesenian profan yakni kesenian yang dibuat atau dilaksanakan dengan tujuan yang bersifat manusiawi dan duniawi, atau dapat dikatakan berisikan muatan hiburan.

1.     Seni tulis dan sastra
1.a. Aksara Batak Toba

Seni tulis aksara[1] batak masih menjadi suatu yang misteri tentang asal usul, kapan dimulai dan berakar dari mana aksara ini. Namun suatu kebanggaan dari ratusan suku budaya yang ada di Indonesia, hanya beberapa yang memiliki aksara khas dalam budayanya, yakni: Batak, Bugis dari Sulawesi, Lampung, Jawa dan Bali. Aksara dalam satu kebudayaan menunjukan tingginya peradaban dalam budaya tersebut.
Aksara batak diperuntukan menulis ‘ pustaha lak-lak’ yang merupakan kitab atau perkamen yang dibuat dari kulit kayu “lak-lak”[2] yang dibentuk menjadi kitap yang panjang. Pustaha nlak-lak berisikan turi-turian (cerita mitologi batak), tonggo-tonggo (doa), tabas (mantra), parhalaan (penanggalan kalender), ramuan obat-obatan dan banyak hal ikhwal tentang kehidupan di tulis didalamnya.
Dalam hal ini aksara batak memiliki peran sebagai alat komunikasi dengan tulisan. Namun fungsionalitasnya ada dua yakni memuat tentang hal supranatural jika itu menyangkut tentang doa, mantra dan kisah spiritual dan yang kedua bersifat profane jika itu memuat sebatas turi-turian (cerita), ramuan obat-obatan dan sejauh tulian menyangkut hal kemanusiaan semata. (nilai spiritual dan profan)

1.b. Turi-turian

Turi-turian[3] adalah karya sastra yang berisikan kisah dongeng yang hidup dalam masyarakat Batak Toba. Sebagai contoh
1. Turi-turian ni si Aji Marimbulu Bosi,
2. Turi-turian ni Nan Jomba Ilik
3. Turi-turian ni si Jonaha
4. Turi-turian ni si Aji Urang Mandopa
5. Turi-turian ni si Malin Deman
(nilai profan)

1.c. Umpama dan umpasa

Umpama[4] adalah sajak yang berisikan perumpamaan yang mau membandinkan, mengumpamakan dan mencontohkan suatu hal kepada hal lain yang sangat sarat makna kehidupan. Umpama sering digunakan orang dalam berbagai acara dalam memberikan peuah atau ajaran kepada orang yang dituju. (nilai profan)

Umpasa[5] adalah sajak yang berisikan kata-kata yang bernas dan bertuah yang di dalamnya ada ‘pasu-pasu’ (kata-kata berkat) yang ditujukan kepada siapa disamaikan umpasa itu. Umpasa lebih menonjokan isi kata yang bijaksana dan bernas/bertuah sebagai harapan, doa dan berkat yang dapat dikatakan doa dalam bentuk sajak yang selalu terarah untuk mohon berkat dari Allah lewat sajak umpasa itu. (nilai spiritual)

1.d.Torsa

Torsa-torsa[6] adalah legenda dari cerita rakyat yang diceritakan sejak dahulu dari mulut ke mulut. Isinya sering dikatkan kepada hal yang bersifat sejarah, tetapi pada umumnya isinya kurang dapat diterima akal. Sebagai contoh torsa-torsa Batu Gantung, torsa-torsa Bulung Sungkit. (nilai profan)

1.e. Tonggo-tonggo

Tonggo-tonggo[7] adalah karangan yang memiliki susunan yang sudah tertentu, yang mana tonggo-tonggo adalah untaian berupa syair yang bermuatan doa dengan konten mencakup kepercayaan, mitologi, kosmologi dan keyakianan antara dunia kehidupan dan kematian yang ada di kehidupan ini.
Tonggo-tonggo merupakan lantunan doa atau lebih tepatnya litani yang selalu diucapkan dalam upacara peribadatan. Tonggo-tonggo merupakan doa yang dipanjatkan, namun mengapa dapat digolongkan kedalam seni? Tonggo-tonggo merupakan doa yang terstruktur yang disusun sedemikian rupa yang memiliki susunan yakni:
a.       Pada bagian pertana pujian dan penyembahan kepada Allah Tinggi yakni Debata Mula Jadi Nabolon.
b.      Pada bagian kedua kepada Allah yang Tiga yakni Debata Natolu, yang terdiri dari Debata Batara Guru, Batara Sori dan Malabulan.
c.       Kemudian dilanjutkan kepada para penghuni dunia (Banua)
c.1. Dunia Atas (Banua Ginjang)
c.2. Dunia Tengah (Banua Tonga)
c.3.Dunia Bawah (Banau Toru)
d.      Kemudian lantunan Tonggo-tonggo diarahkan kepada penguasa alam manusia (Badia, Namartua, dan Sahala)
e.       Kemudian kepada arwah para leluhur (Sumangot dan Parsahalaan)
f.       Dan terakhir untuk doa dan permohonan manusia yang masih hidup di dunia.
Ini menjadi ketentuan dalam menuliskan tonggo-tonggo. Dalam hal inilah ada seni yang termaktub di dalamnya yakni berupa perwujutan mitologi kepercayaan Batak akan alam para ‘Debata’, kosmologi dan keyakinan hubungan semua alam ‘Debata dengan dunia kehidupan dan kematian. Dalam setiap tongg-tonggo akan termaktub kisah dalam dunia ‘Debata’ alam ‘roh’ kosmologi dan kehidupan manusia yang saling berkaitan.
Di bawah ini salah satu contoh tonggo-tonggo.

TONGGO MULA JADI
*Ale oppung mulajadi nabolon
Sitoppa hasiangan sigomgom parluhutan
Silehon aek na tio,asa takkas na di banua
Ho do na jumadihon hau umbahen na ginjang
Na tumopa dolok umbahen natio

*pangalapis doho sian toru
Pardinding sian lambung
Napaongi sian ginjang
Hodo haroroanni sangap
Hodo haroroanni badia
Parsangapi mahami,barbadiai
Hodo haroroanni hagabeon dohot hamoraon
Tantan hami laho gabe
Tatea hami laho mamora

Hutonggo hami maho, ompung mulajadi
Ndang tumonggo mangan,ndang tumonggo minum
Tumonggo panggabean do
Tumonggo parhorason,parsangapon dohot parbadiaon.
*Adong pinsang ni mata,adong humor ni roha
Hurang gabe hami,hurang mora,
Hurang do hami di habisuon
Hurang di pakkataion
Tuturi ma hami,tungkali,ajari jala bohali
Baha ni ompung nami do baha raja
Paisoranghon ma di hami harajaon,tumba ni naung adong
Baha ni ompun nami do bana pande tungkap

*pangimbola pande suhul,pangarapat pade sorung
Pangorompu pande harpe
Sorung mai bahen di ham, pomparan ni anak dohot pomparan ni boru

Porda marungrung mutak ma tu songkirna
Horbo manurun mulak ma tu barana
Sinok ma ogung di sangkena
Hot ma pinggan di sangkena
Unang mungsat tali tali sian simanjujung
Unang mumpat tanduk sian ulu ni horbo
Pahot mai di hami


Ompung Mulajadi Na Bolon
*Na Mian di ginjang ni ginjang
Di langit ni langit,di ombun ni ombun
Di Ombun na pitu tindi,di langit na pitu lapis
Hodo haroro ni hasonglion,haroro ni sahala
Patektekon di hami hasongtionmi,parsahalai ma hami

Di parsahalai Hodo ompung nami naparjoloi
Ompung nami guru tatea bulan,ompung nami raja isombaon
Sahat rodi ompung nami raji,sisinga mangaraja
Singa ni adat,singa ni uhum
Singa nasomangalompoi,singa na so halompoan
Asa manuturi huhut manotari
Di bangso batak na tinompami

*Ompung Mula Jadi Na Bolon
Dohot hamu ompung Debata Naholu
Natolu suhu
Natolu harajaon
Namanggomgomi langit dohot tano
Dohot jolma manisia
Mulani Dungdang mula ni sahala
Si leang-leang mandi,suru-suruan Mi
Si untung-untung Na bolon,si pasahat hata mi
Si leang Nagurasta,i ma na hundul di harbangan Mu
Manjaga cawan NaGok marisi mual habadiaon

*Siraja inda-inda
Siraja indapati
Papa jung-jung pinggan ni hosni mataniari
Na hinsa suruon,magirgir mangalapi
Nasindak sumunde-sunde
Nauja manotari
Siboto unung-unung nauju manangi-nangi
Napabukka-bukka pintu
Napadung-dang,dung-dang ari
Napasorop-sorop ombun di gorjok-gorjok ni ari
Parambe-rambe nasumurung
Sitapi manjalahi
Napahorus sumba hu Ompunta Mulajadi
Tuatma Hamu Ompung
Sian ginjang niginjangan
Sian langit di langitan
Sian toding banua ginjang

*Sian langit napitu lampis
Sian ombun napitu tingka
Sian ombun na pitu lampis
Sian bintang namarjombut
Tu lape-lape bulu duri
Sian mua situdu langit
Tu gala gala na pulpulan
Hariara sanglia madena,poaringin tumburjati
Partunghuon ni omputta Mulajadi

Maka dari itu tonggo-tonggo adalah ayat-ayat suci yang diarahkan untuk doa yang memiliki nilai spiritualnya, yang mana tonggo-tonggo hanya diperuntukan untuk hal yang rohani, spiritual, sakral dan ilahi. (nilai spiritual)

2.     Seni musik

Dalam budaya Batak musik memiliki peran yang sangat khusus dan sakral. Musik adalah mediator untuk menyampaikan/mengangkat doa ke hadapan Debata (Allah Tinggi) yang dalamnya saat tonggo-tonggo disampaikan maka ‘Gondang Sabangunan”[8] (seperangkat alat musik berupa 5 gendang, alat tiup (sarune), ogung (gong)) dipalu untuk mengiringi naiknya tonggo-tonggo sebagai ujud doa dan permohonan manusia ke hadapan Debata. Gondang  boleh dipalu jika pemimpin upacara telah ‘martonggo’ (berdoa). Dalam hal ini gondang sebagai alat musik diperuntukkan untuk upacara sakral atau spiritual. (nilai spiritual)

3.      Seni suara

Seni suara atau menyanyi memang sangat jarang sekali ditemukan aktifitas menyanyi dalam kesenian Batak Toba. Tidak seperti budaya Jawa yang memiliki seni tarik suara seperti yang ada di perwayangan dan ‘sinden’ yang memiliki kekhususan dalam seni tarik suara. Namun ada beberapa bentuk seni suara yang mungkin dalam hal-hal khusus saja diadakan yakni ‘andung-andung’[9] (nyanyian yang berisi ratapan duka) yang mana didalamnya berisikan kisah yang bernuansa duka. (nilai profan) ‘Along-along’ yakni nyanyian para pemuda dan pemudi yang mengungkapkan isi hatinya dalam acara yang diperuntukkan bagi kaum muda dimana pemuda atau pemudi mengincar lawan jenisnya untuk menarik perhatian agar ia mau menjadi kekasihnya. (nilai profan) ‘Manggora’ yakni nyanyian yang dinyanyikan sambil menari yang dilakukan oleh kaum muda. (nilai profan) ‘Marinjenginjeng’ yakni nyanyian kemeriahan yang dinyanyikan kaum muda dengan diawali yel-yel “injenginjeng” (nilai profan) ‘Huling-ulingasa’ yakni nyanyian sekalian permainan yang berisikan teka-teki. Nyanyian hanya berisikan nada yang mendukung penyampaian teka-teki yang menjadi menarik saat dilakukan dengan berbalas-balasan. (nilai profan)

4.     Seni tari

Tor-tor[10] merupakan “tarian” (dalam makna yang khusus) yang secara esensial memiliki esensi sebagai ‘doa’. Saat gondang dipalu, manusia mulai mengatur sikap hormat dan membentuk berak penghormatan, santun dan sakral[11]. Dalam hal ini harus disadari gerak (ada tiga ketentuan gerak yang menjadi pakem yakni 1. Pangurdot (yang termasuk pangurdot dari organ-organ tubuh ialah daun kaki, tumit sampai bahu. 2. Pangeal (yang termasuk pangeal dari organ tubuh adalah Pinggang, tulang punggung sampai daun bahu/sasap).
3. Pandenggal (yang masuk pandenggal adalah tangan, daun tangan sampai jari-jari tangan).
4. Siangkupna (yang termasuk Siangkupna adalah leher))
ini menjadi manifestasi dari keikutsertaan tubuh kemanusiaan untuk berdoa lewat alunan musik yang dibuat sebagai manifestasi tonggo-tonggo yang disampaikan. Maka dari itu dapat dilihat runtutannya. Tonggo-tonggo dipanjatkan maka gondang dipalu sebagai manifestasi penyampaian doa dan manusia boleh manortor saat gondang dipalu. Manortor menjadi suatu manifestasi tonggo- tonggo yang dipanjatkan menjadi doa bersama dan saat musik sakral teralun manusia masuk ke dalam kediriannya dan bersatu dalam alunan lagu untuk bersatu dalam berak dan musik yang teralun indah menjadi satu kata yakni “Doa”. Maka nampak dalam hal ini tor-tor bukan sebatas tarian semata namun memiliki esensi yang terdalam. (nilai spiritual)

5.     Seni tenun

Tenun merupakan keterampilan dari para wanita untuk memintal kapas menjadi benang dan menenunnya menjadi suatu kain. Kain tenun ini sering disebut ‘ulos’[12] (berdasar dari kata ‘ung-las’ yang berarti menghangatkan). Yang dalam fungsinya kain ini yang dibuat tebal akan member kehangatan. Namun tidak semua kain tenun disebut ulos. Ada kain tenun yang menjadi ‘abit’ (pakaian). Abit tetap sebagai perannya untuk menjadi pakaian (nilai profan), sedangkan ulos memiliki fungsional yang berbeda. Ulos merupakan kain yang diberikan dalam acara sakral oleh ‘hula-hula’ (paman/keluarga dari pihak wanita yang dianggap punya peran yang tinggi sebagai kedudukan yang memiliki fungsional dan peran penurun dan pembawa berkat untuk ‘boru’ dan ‘bere’nya). Berkat dalam hal ini sebagai bentuk kemiripan berkat yang diberikan ‘Debata’ (Allah) pada manusia. Maka peran itu di sandingkan kepada ‘hula-hula’. Maka dalam hal ini ulos memiliki fungsional bukan sebatas kain yang tertenun namun sebagai sarana pemberi/penurun berkat yang saat member dan menerimanya ada doa dan harapan disampaikan. Dalam hal menenun, kain tidak sembarang ditenun. Proporsi tenunan kain menyimbolkan manusia yang memiliki tubuh, kepala, kaki, dan tangan. Dan dalam ulos yang ditenun ada ‘gatip’ (motif-motif) yang sarat makna, mulai dari lambang kelamin manusia, alam, kosmis, kemanusiaan dan sarat makna spiritual. Maka dari itulah ulos memiliki fungsional yang bukan sebatas kain tenun semata namun ia menerima peran sebagai kain khusus yang tersakralisasi dengan menerima dan mengambil perannya saat dipakai, diserahkan dan diterima. (nilai spiritual)

6.     Seni ukir/pahat

Seni ukir dan pahat sangat dikenal dalam kesenian batak. Pada masanya laki-laki banyak membuat patung dan ornament serta pahatan yang berbahan dasar kayu, batu, tulang, gading, besi/metal dan yang lainnya. Dalam seni pahat membuat patung memiliki fungsional yang kompleks. Mulai dari alat rumahtangga, perkebunan, berburu, barang-barang sakti untuk kerajaan dan peribadatan senta alat-alat berupa patung penyembahan dan patung magis yang diperuntukkan sebagai mediator kekuatan mistik untuk kehidupan peribadatan  dan kehidupan sehari-hari selalu mendapat bentuk dalam pahatan dan ukiran. Dalam hal ini ukiran dan pahatan memberikan simbolik dan perwujutan dari apa yang disimbolkan pada barang yang dibentuk dan dihasilkan. Ketika hal tersebut diperuntukan dalam peran alat rumahtangga, perang, berkebun dan alat keseharian maka ukian dan pahatan menunjukan fungsi fisik.(nilai profan) Sedangkan jika ukidan dan pahatan itu menjadi alat kesaktian, peribadatan, mediator kekuatan mistik maka alat-alat tersebut mengambil perannya. (nilai spiritual)
7.     Seni lukis

Seni lukis dalam budaya batak sering disebut ‘Gorga’[13], yakni motif-motif yang bersturktur garis, gambar, symbol dan lambing-lambang yang dilukiskan dengan mengunakan 3 warna yakni merah, putih, dan hitam. Gambar-gambar ini dibuat dalam ukiran rumah dan bangunan, patung, lak-lak dan parhalaan. Motif-motif ini memiliki sarat makna yang menjadi implementasi perwujutan simbolisasi dari ssesuatu yang mau disampaikan berupa pembahasaan akan hal yang berkaitan tentang kehidupan dan kematian, spiritual, dunia roh, hal mistis, dam mitologi yang digambar dalam rupa symbol-simbol yang sarat arti namun muatan dari symbol tersebut sangat padat dan akan mengerti ketika kita melihat tidak dalam satu sudut pandang namun kita bengartikannya ketika kita melihat keseluruhan dan spesifikasi dari setiap hal yang ingin disampaikan.seni lukis ini bersifat khusus (nilai sakral, spiritual dan misteri).
                                           
8.     Seni bangunan

Bagi orang batak, membangun rumah adalah suatu hal yang sangat penting dan sakral.membangun rumah sama halnya mempersiapkan hunian (bukan nyanya tempat tinggal, namun dalam nilai spiritualnya rumah “sibaganding Tua” adalah dunia ‘banua’ yang kecil tempat tinggal. ‘Sibaganding’ adalah sebutan untuk ular sakral yang jika hadir ia akan membawa rejeki, kesuburan dan kebahagianan dimana ia lewat. ‘Tua’ artinya berkarisma, memiliki berkah. Maka dari itu jika rumah dimaknai sebahai sibaganding tua, mau menunjukan kekhasan dan kesakralan dari tujuan rumah yang hanya sebatas tempat tinggal. Rumah dibangun dari bahan dasar kayu yang diperoleh dari hutan. Kayu yang dingunakanpun adalah kayu-kayu pilihan dan memenuhi pesyaratan kelayakan kayu untuk dipakai sebagai bahan bangunan rumah. Bangunan dibangun sedemikian rupa tanpa ngunakan paku melainkan dengan ‘Baji’/‘hansing-hansing’[14] yakni seperti patok yang memiliki fungsi seperti paku yang terbuat dari ‘pakko’ yakni batang enau yang keras dengan ukuran sebesar lingkar jari dengan panjang seturut kebutuhan bangunan yang diperlukan.  Saat membangun rumah mereka harus menemui datu untuk menanyakan saat yang baik dan apa yang diperlukan dalam mempersiapkan bangunan tersebut. Setelah tempat dipersiapkan, diadakanlah ritual untuk mendoakan areal yang nantinya akan dibangun rumah. Para tukang diberangkatkan dengan doa untuk mengambil kayu yang diperlukan dalam membangun.  Banyak persyaratan yang harus dipenuhi, mulai dari berangkat menuju hutan, cara menebang kayu, meneliti arah rebahnya pohon, dan cara membawanya ke perkampungan tempat dimana akan didirikan bangunan tersebut.[15]
Pada bangunan itu sendiri sarat makna, mulai dari bentuk seekor binatang (karena dibagian depan ambang atas atap bagian depan diberi ornament yang disebut ‘ulu paung’ yang menunjukan symbol kepala, sedangkan di belakang diberi ekor kerbau atau kuda). Banyak ornament yang sarat simbolik. Bagian depan rumah mau merampung seluruh symbol identitas suatu bangunan. Layaknya satu sosok mahluk, rumah juga demikian. Pada badan rumah juga nampak pemahaman kosmologi[16] batak yakni 3 ‘banua’ yakni dunia. Atas, tengah dan bawah. Bagian atap adalah simbolik banua ginjang. Bagian tengah adalah gambaran banua tonga dan bagian bawah itu adalah banua toru (biasanya bagian bawah diperuntukan untuk kandang hewan peliharaan).
Demikianlah rumah sebagai bangunan fisik namun dengan bentuk, ornament dan penyematan makna kesakralan didalamnya membuat bangunan tidak hanya dipandang sebagai bangunan fisik semata tetapi ada jiwa di dalammya. Ini nampak saat rumah selesai dibangun, rumah akan dipestakan ‘ma ruma tondi i’ yakni member jiwa pada rumah. Rumah menjadi gambaran kehadiran identitas suatu hidup. Ini menunjukan bahwa manusia yang ada di dalamnya tinggal dalam satu tatanan kosmik kecil yang dilindungi oleh ‘Ruma’ itu sendiri yakni ‘Sibaganding Tua’. Maka dari itu, rumah yang dibangundan dibentuk tidak lagi tinggal pada batasan bangunan fisik namun menjadi bangunan simbol kosmos yang memiliki nilai spiritual. (nilai spiritual)

9.     Seni meramu obat

Meramu obat merupakan sebuah keterampilan dimana seorang ‘datu pamulung’(dukun yang perdi ke hutan untuk mencari tanaman obat-obatan). Mengapa ini masuk kepada seni? Karena meramu obat membutuhkan kemahiran khusus pada si ‘datu pamulung’ bukan hanya jenis tanaman obat, namun fungsi, takaran batas kebutuhan tubuh, jenis penyakit dan obat yang sesuai. Dalam meramu dibutuhkan kepintaran, perasaan, imajinasi, intusisi dan perasaan yang teramat halus untuk berbicara tentang tubuh manusia, penyakit, tumbuhan, obat dan kesembuhan. Saat member obat datu selain member obat akan menyertakan mantra (doa atau kalimat yang dianggap sakral) yang harus diucapkan. Karena dalam seni meremu obat orang harus sadar ketika manusia sakit, bukan hanya tubuh manusianya saja yang sakit namun bisa juga ada pengaruh ke batin, pikiran, jiwa dan rohnya. Maka peran mantra dalam hal ini untuk penyembuhan diluar biologis. Dalam hal keakurasian dan keterampilan inilah yang membuat meramu obat masuk kedalam seni meramu obat-obatan yang memang masih masuk dalam ranah manusianya.(nilai profan)

10.                        Seni meramal dan perbintangan

Seni meramal dan perbintangan (parmesa) memiliki kemiripan dengan kegiatan ramal dan perbintangn pada umumnya. Dalam hal meramal dan perbintangan manusia diharapkan mampu melihat tanda-tinda yang menjadi simbol yang tersembunyinya kenyataan yang diramal dan diperhitungkan akan terjadi entah yang baik atau yang jahat dengan menggunakan parmanuhan’, ‘ruji-ruji’, . Meramal mengandaikan seseorang mencoba mendefenisikan sesuatu kejadian yang masih pada kedudukan yang belum pasti dan abstrak. Namun dengan tanda-tanda yang ada peramal datu panimbang’ dan perbintangan ‘parhalaan’[17] mencoba berintuisi dengan pemikirannya. Dalam hal inilah meramal dan perbintangan masuk dalam seni kehidupan yang mencoba menyimbolkan simbolik tertentu pada macam-macam benda, keadaan, ketidaknyataan dan dan hal-hal yang di luar nalar. ‘Parmanuhan’ adalah kemampuan membahasakan sesuatu yang diluar nalar berpikir manusia untuk mampu sampai kepada defenisi simbolik pada sesuatu kenyataan itu sendiri. (nilai spiritual)




                                    
11.                        Seni kerajinan tangan

a.      Mangaletek/ membuat tikar

Menganyam tikar yang dikenal dengan sebutan ‘mangaletek’ adalah sejenis seni kerajinan untuk menganyam pandan untuk menjadi tikar (terdapat 2 jenis tikar pandan bagi masyarakat Batak Toba yakni ‘amak tiar’[18] yakni tikar dengan anyaman pandan yang halus serta berwarna putih cerah yang biasa dipakai untuk tempat duduk raja, orang terhormat serta meletakkan barang-barang yang sakral dalam upacara adat dan peribadatan (nilai spiritual) dan ‘lage tiar’ yakni tikar yang dianyaman dengan jenis pandan biasa dan berwarna lebih gelap dari ‘amak tiar’ yang diperuntukkan bagi tempat duduk untuk orang-orang biasa atau dapat disebut tikar yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari (nilai profan) dan beberapa barang yang terbuat dari pandan seperti ‘tandok’[19] adalah sejenis kantongan yang dibuat dari anyaman pandan berupa selinder yang rata-rata berukuran diameter 20-5 cm dengan tinggi 100-150 cm yang dipergunakan tempat membawa padi atau beras (sebagai partisipasi keluarga terdekat dalam dukungan materil untuk upacara yang diadakan) serta makanan adat yang akan diserahkan dalam acara adat.(nilai profan) Dan ‘sumpit’ adalah sejenis ‘tandok’ yang berukuran lebih kecil yakni 15-20 cm dengan tinggi 20-30 cm yang digunakan tempat beras, sirih, kemiri, uang logam, telur yang menjadi simbol ‘beras si pir ni tondi’ (beras lambang kepenuhan roh) yang biasanya diserahkan dalam acara adat. (nilai spiritual) ’Hajut’ adalah anyaman pandan yang lebih kecil lagi yang dibuat mirip dompet kecil yang memiliki tali untuk disandang tempat uang, sirih atau perkakas kecil yang dibawa keluar rumah atau keladang. (nilai profan)

b.      Mardan-dan/membuat anyaman

Banyak anyaman yang menjadi kreatifitas orang batak pada masa lalu yakni ‘Rumbi’[20] adalah anyaman yang dibuat seperti tong besar dengan bahan dasar rotan yang bisasa digunakan untuk tempat menyimpan barang-barang ataupun padi yang akan dipakai dalam keperluan harian keluarga. (nilai profan)’Ompun’adalah tong yang dibuat dari bahan dasar kulit kayu yang diperuntukkan tempat barang-barang pentting atau naskah penting berupa lak-lak.(nilai profan) ‘Geang-geang’[21] adalah sejenis anyaman rotan halus tempat mengantukangkan  makanan di atas ‘para-para’ untuk menghindari dimakan tikus atau kucing. (nilai profan) ‘Anduri’[22] adalah sejenis anyaman bamboo yang dibuat berbentuk talam bulat untuk menampi/membersihkan padi. (nilai profan) ‘Tatuan’ dan ‘ragian’ adalah anyaman rotan halus yang digunakan untuk tempat makanan raja dan orang terhormat seta meletakan makanan yang dinilai sakral dalam acara adat dan peribadatan. (nilai spiritual)






12.                        Seni bela diri

Seni Beladiri batak (monsak)[23] adalah salah satu olah raga batak yang biasa digunakan para leluhur batak pada jaman dahulu kala, dalam menghadapi hidup sehari-hari, baik dalam hiburan, pernafasan maupun menghadapi tantangan dan juga untuk kesehatan manusia. Mossak Batak identik dengan pengobatan dan pernafasan dalam penyatuan darah manusia dengan Tuhan hingga dapat menguasai tenaga dalam dan tenaga murni. Tenaga dari 3 benua, benua atas, benua tengah dan benua bawah yang ada dalam tubuh manusia pada jaman dahulu setiap manusia yang hendak mempelajari ilmu pengobatan dan ilmu perbintangan. Mossak Batak ini harus diajarkan juga jadi setiap manusia batak dulu mossak batak ini merupakan suatu keharusan untuk dipelajari.
Mossak Batak ini dirangkai dengan langkah dan jurus-jurus untuk menghidupkan dan mengaktifkan 9999  urat manusia. Salah satu seni bela diri batak untuk penyatuan darah manusia dengan Tuhan.Salah satu tenaga dalam yang berguna untuk membela diri dan untuk kesehatan.(nilai spiritual)
Salah satu seni bela diri batak yang biasa digunakan hiburan dan atraksi pada pesta besar di tanah batak. Salah satu seni bela diri batak yang biasa digunakan untuk menyambut para raja dan kenegaraan. Mossak Batak sering kita dengar namun untuk mempelajarinya kita tidak tahu kemana atas dasar inilah melalui ilham yang saya terima mencoba mengemas Mossak Batak menjadi olah raga yang dapat dipelajari dan dipertandingkan. Mossak Batak ada sembilan peringkat atau sabuk, sama dengan kitab Siraja Batak hanya saja dalam Mossak Batak ini dimulai dari kitab ke sembilan menjadi sabuk pertama. (nilai profan)         
   













DAFTAR PUSTAKA

1.      Malau, Gens. Dolok Pusuk Buhit. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
2.      Marbun, M. A. et al. (ed). Kamus Budaya Batak Toba. Jakarta: Balai Pustaka, 1987.
3.      Simamora, Tano. Rumah Batak Toba: Usaha Inkulturasi, Pematangsiantar: [tidak ada penerbit], 1997.                              


[1] Gens G. Malau, Dolok Pusuk Buhit, (Jakarta:Balai Pustaka, 1994), hlm. 41-43.
[2] M.A. Marbun et al. (ed), Kamus Budaya Batak Toba, (Jakarta;Balai Pustaka, 1987), hlm. 70.
[3] M.A. Marbun et al. (ed), Kamus…, hlm. 185.
[4] M.A. Marbun et al. (ed), Kamus…, hlm. 194.
[5] M.A. Marbun et al. (ed), Kamus…, hlm. 194.
[6] M.A. Marbun et al. (ed), Kamus…, hlm. 181.
[7] M.A. Marbun et al. (ed), Kamus…, hlm. 177.
[8] M.A. Marbun et al. (ed), Kamus…, hlm. 47.
[9] M.A. Marbun et al. (ed), Kamus…, hlm. 16.
[10] M.A. Marbun et al. (ed), Kamus…, hlm. 181`.
[11] Gens G. Malau, Dolok …, hlm. 26-29.
[12] M.A. Marbun et al. (ed), Kamus…, hlm. 187-193.
[13] M.A. Marbun et al. (ed), Kamus…, hlm. 48-50.
[14] Gens G. Malau, Dolok…, hlm. 26.
[15] Tano Simamora, Rumah Batak Toba: Usaha Inkulturasi, (Pematangsiantar:[tanpa penerbit], 1997), hlm. 15-24
[16] Tano Simamora, Rumah…, hlm. 7-9.
[17] M.A. Marbun et al. (ed), Kamus…, hlm. 129, 132-133.
[18] Tano Simamora, Rumah…, hlm. 91, bdk, M.A. Marbun et al. (ed), Kamus Budaya Batak Toba, (Jakarta;Balai Pustaka, 1987), hlm. 15.
[19] M.A. Marbun et al. (ed), Kamus…, hlm. 170.
[20] Tano Simamora, Rumah…, hlm. 92.
[21] Tano Simamora, Rumah…, hlm. 99.
[22] Tano Simamora, Rumah…, hlm. 101.
[23] M.A. Marbun et al. (ed), Kamus…, hlm. 107.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar