Sabtu, 17 November 2018

KATEKISMUS: MAKNA SIKAP BERLUTUT DAN MEMBUNGKUKKAN BADAN SAAT MENGUCAPKAN "IMAN KEPERCAYAAN" (CREDO) DALAM PERAYAAN EKARISTI



Makna Sikap Berlutut dan Membungkukkan Badan Saat Mengucapkan “Iman Kepercayaan” (Credo) dalam Perayaan Ekaristi.

Pendahuluan
Mengapa kita menunduk saat pengungkapan ‘Iman Kepercayaan’ dalam kalimat “Yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh perawan Maria” pada saat perayaan ekaristi?” Ini menjadi pertanyaan yang sering diungkapkan dan timbul dalam benak umat yang mencoba mencari tahu ‘mengapa?’ dan makna apa yang dikandung dalam sikap berlutut dan membungkukkan badan tersebut. Dalam pembahasan ini kami mencoba memaparkan secara ringkas sejarah dari Credo, makna dari sikap berlutut dan membungkukan badan dalam pedoman  umum Misale Romawi dalam gereja Katolik serta apa yang menjadi penghayatan kita saat pengungkapan Credo tersebut dengan sikap tubuh demikian. Inilah yang coba kami paparkan dalam pembahasan ini.
Tujuan Pembahasan
Dalam melengkapi tugas mata kuliah Ilmu Kataketik yang membahas mengenai Metode Berkatakese ini kami mencoba memaparkan mengenai “Makna sikap berlutut dan membungkukkan badan saat mengucapkan “Iman Kepercayaan” (Credo) dalam Perayaan Ekaristi.
Dalam pembahasan ini, kami menunjuk sasaran pembahasan ini untuk anak SMU Katolik. Mengapa anak SMU Katolik? Yakni persiapan mengajar dan pembelajaran berkatekese yang akan dilaksanakan di semester ganjil selanjutnya. Objek sasaran yakni anak SMU itu sendiri dalam pengandaian kami mengenai materi yang akan kami sampaikan merupakan pembahasan tentang penghayatan iman. Sikap diri atas pernyataan iman itu sendiri merupakan materi yang lebih tepatnya diberikan kepada mereka yang telah berumur 15 tahun ke atas.
Tujuan pemaparan ini mencoba menyampaikan 3 (tiga) poin penting dalam pembahasan ini yakni pertama mengenai sejarah dari Credo itu sendiri. Yang mana dalam pembahasan ini kami mencoba memberi gambaran historis dari Credo agar setidaknya mengetahui apa, mengapa dan bagaimana Credo itu hadir sehingga kita lebih mengetahui dan terlebih memaknai apa yang kita ucapkan dalam setiap bait dari Credo itu. Kedua yakni makna sikap tubuh pada saat  pengungkapan Credo tersebut, dan yang ketiga yakni apa yang kita hayati dalam pengungkapan Credo dengan sikap tubuh demikian. Ini kira-kira garis besar dari apa yang akan kami sampaikan.


Credo dan Penghayatannya
1.                 Sejarah Singkat Credo

Credo (Aku Percaya) yang merupakan rumusan Syahadat Para Rasul menjadi rumusan singkat yang memuat pokok-pokok iman kepercayaan orang Kristen. Rumusan ini tidak disebutkan langsung oleh Yesus dan tidak ditemukan dalam Alkitab, namun rumusan iman ini mulai dirumuskan oleh   dalam perkembangan Gereja setelah Yesus naik ke surga dan para Rasul menerima Roh Kudus untuk mewartakan iman akan Yesus Kristus.[1] Dalam terang Roh Kudus para Rasul mengungkapkan Syahadat (pengakuan) atas iman yang  mengandung 12 butir pengakuan, yang menjadi symbol pengakuan dari setiap Rasul.


1.      Aku percaya akan Allah,
Bapa Yang Mahakuasa
Pencipta langit dan bumi
2.      Dan akan Yesus Kristus,
PuteraNya yang tunggal, Tuhan kita,
3.      Yang dikandung dari Roh Kudus
Dilahirkan oleh Perawan Maria (Membungkukan badan)
4.      Yang menderita sengsara
Dalam pemerintahan Ponsius Pilatus
Disalibkan, wafat dan dimakamkan
5.      Yang turun ke tempat penantian
Pada hari ke tiga bangkit
Dari antara orang mati
6.      Yang naik ke surga
Duduk di sebelah kanan Allah Bapa
Yang Mahakuasa
7.      Dari situ Ia akan datang
Mengadili orang hidup dan mati
8.      Aku percaya akan Roh Kudus
9.      Gereja Katolik yang kudus
Persekutuan para kudus
10.  Pengampunan dosa
11.  Kebangkitan badan
12.  Kehidupan kekal. Amin

a. Butir 1. Mengenai Allah, Bapa dan KaryaNya.
b. Butir 2 – 7 mengenai Yesus Kristus (Firman Allah) dan KaryaNya.
c. Butir 8 -12 mengenai Roh Kudus (Roh Allah) dan KaryaNya.

Dalam masa perkembangan Gereja pada abat IV dan V muncul beberapa bidaah yang mencoba meragukan iman akan Tritunggal Mahakudus, ke-Allah-an Yesus dan inkarnasi Allah dalam Yesus.


1.      Ajaran sesat Arianisme
Arius, adalah seorang imam Aleksandria. Ia mengajarkan bahwa Yesus bukanlah Tuhan Allah Sejati. ia menyangkal keilahian Yesus. Untuk melawan ajaran sesat ini diadakan konsili ekumenis pertama, yaitu konsili Nicea I tahun 325.
Syahadat Eusebius kalau kita lihat memang ortodoks, sesuai dengan ajaran Gereja , Tetapi Syahadat ini tidak secara eksplisit melawan bidah Arianisme (ajaran Arius). Oleh karena itu, konsili memakai syahadat Eusebius sebagai dasar pembicaraan saja, lalu mengusulkan perbaikan, dengan penambahan-penambahan pada syahadat dari Kaesarea.
2.      Ajaran sesat Macedonius
Ajaran Macedonius melawan menyangkal keilahian Roh Kudus, sehingga diperlukan pertian khusus, terutama dibahas pada konsili Konstantinoel, tahun 381[2], diselenggarakan untuk melawan Bidaah Macedonius.
3.      Ajaran Sesat Nestorius
Nestorius adalah seorang uskup dari Konstantinopel. beliau mengajarkan bahwa Yesus memiliki 2 kodrat dan 2 pribadi, yaitu Allah dan manusia. Ajaran nestorius ini ditentang keras oleh Cyrilius seorang uskup dari Aleksandria. Konsili Efesus berhasil menyelesaikan perselisihan paham ini, dan mengutuk ajaran Nestorius dan membenarkan ajaran Cyrilius. Konsili Efesus ini menenkankan kesatuan Pribadi Yesus dan juga konsili ini menyetujui apa yang telah dirumuskan dalam konsili-konsili sebelumnya.
4.      Ajaran Sesat Eutyches
Eutyches mengajarkan bahwa ke dua Kodrat Yesus itu, Allah dan manusia tercampur dan tek terbedakan. Untuk melawan ajaran Eutyches ini maka diadakanlah konsili Kalcedon, tahun 451[3]. Konsili ini mengambil keputusan tegas untuk meyingkirkan semua ajaran sesat dan menegaskan kembali iman yang benar. Dimana konsili ini menegaskan bahwa kodrat keallahan dan kemanusiaan Yesus tetap terbedakan. Yesus sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. Dalam konsili Kalcedon inilah secara resmi disahkannya syahadat iman, yang terkenal dengan Syahadat Niceani atau lebih dikenal dengan Syahadat Nicea-Konstantinopel (syahadat panjang).[4] tapi nama resminya adalah syahadat Niceani
Dalam sejarah perumusan Credo, semua ajaran sesat ini mengkondisikan Gereja untuk merumuskan imannya. Maka dari sejarah ini kita mau melihat dan menyadari bahwa sejak dari masa para Rasul, para Bapa-Bapa Gereja dan para pemikir gereja berusaha untuk membahasakan misteri iman dalam pembahasaan manusiawi dalam rupa bahasa-bahasa simbolik untuk dapat dipahami dan meneguhkan iman umat.
Gereja katolik Roma saat ini memakai 2 versi Credo yakni Syahadat panjang (hasil Konsili Nikea Konstantinopel) dan Syahadat pendek.
Pengakuan Iman (Panjang)
Hasil Konsili Nikea Konstantinope
l
Aku percaya akan satu Allah,
Bapa yang mahakuasa,
pencipta langit dan bumi,
dan segala sesuatu yang kelihatan
dan tak kelihatan;
dan akan satu Tuhan Yesus Kristus,
Putra Allah yang tunggal.
Ia lahir dari Bapa sebelum segala abad,
Allah dari Allah,
Terang dari Terang,
Allah benar dari Allah benar.
Ia dilahirkan, bukan dijadikan,
sehakikat dengan Bapa;
segala sesuatu dijadikan oleh-Nya.
Ia turun dari surga untuk kita manusia
dan untuk keselamatan kita.

Ia dikandung dari Roh Kudus,
Dilahirkan oleh Perawan Maria
 
dan menjadi manusia.
Ia pun disalibkan untuk kita, waktu Pontius Pilatus;
Ia menderita sampai wafat dan dimakamkan.
Pada hari ketiga Ia bangkit menurut Kitab Suci.
Ia naik ke surga, duduk di sisi Bapa.
Ia akan kembali dengan mulia,
mengadili orang yang hidup dan yang mati;
kerajaan-Nya takkan berakhir.
aku percaya akan Roh Kudus,
Ia Tuhan yang menghidupkan;
Ia berasal dari Bapa dan Putra,
disembah dan dimuliakan;
Ia bersabda dengan perantaraan para nabi.
aku percaya akan Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolic.
aku mengakui satu pembaptisan
akan penghapusan dosa.
aku menantikan kebangkitan orang mati
dan hidup di akhirat.

Pengakuan Iman (Pendek)

Aku percaya akan Allah,
Bapa Yang Mahakuasa
Pencipta langit dan bumi
Dan akan Yesus Kristus,
PuteraNya yang tunggal, Tuhan kita,
Yang dikandung dari Roh Kudus
Dilahirkan oleh Perawan Maria (Membungkukan badan)
Yang menderita sengsara
Dalam pemerintahan Ponsius Pilatus
Disalibkan, wafat dan dimakamkan
Yang turun ke tempat penantian
Pada hari ke tiga bangkit
Dari antara orang mati
Yang naik ke surga
Duduk di sebelah kanan Allah Bapa
Yang Mahakuasa
Dari situ Ia akan datang
Mengadili orang hidup dan mati
Aku percaya akan Roh Kudus
Gereja Katolik yang kudus
Persekutuan para kudus
Pengampunan dosa
Kebangkitan badan
Kehidupan kekal. Amin

Demikianlah sejarah singkat perumusan Iman Kepercayaan kita yang dirumuskan dalam Syahadat Para Rasul (Credo). Dari semuanya itu mau mengatakan Gereja meneguhkan syahadat Imannya dari segala kesesatan dan keragu-raguan yang ditimbulkan untuk menghancurkan Kekristenan yang mulai tunmbuh dan berkembang.
Dalam Syahadat Para Rasul ini kita akan melihat betapa isi iman kita akan Allah Pencipta dalam ke-TritunggalanNya menghadirkan karya Keselamatan dalam kesatuan Bapa, Putera dan Roh Kudus. Inkarnasi Allah dalam Yesus yang adalah Allah dan Manusia hadir dalam rahim perawan Maria dan karya keselamatan ini juga yang diteruskan dalam Gereja Kudus yang berziarah di dunia dan kesatuan kekal surgawi.
Syahadat Para Rasul sarat makna dan symbol iman.[5] Darinya kita tidak akan cukup merenung tentang kepenuhan iman kita. Namun saat mengungkapkannya kita mengenangkan kembali iman yang hadir dalam kisah bangsa Israel dalam Perjanjian Lama, karya keselamatan Yesus menyempurnakan dulu, sekarang dan terus terlaksana lewat karya Roh Kudus.
Hal inilah yang harus benar-benar kita sadari akan inti esensi dari “Credo” itu sendiri. Ketika kita semakin memahami apa dan bagaimana “Credo” itu dirumuskan serta apa yang menjadi makna dari setiap perumusan yang sarat makna dan symbol-simbol iman yang kita hidupi ini maka kita akan menyadari bahwa ketika kita mengungkapkan Syahadat Para Rasul ini sebagai Iman Kepercayaan, kita memasuki dimensi iman yang terkenangkan dan menjiwai kita yang mengungkapkannya untuk bersatu dan ikut dalam kesatuan karya keselamatan itu yang terus dan masih berkarya.
Hal-hal Inilah yang harus kita sadari. Ketika kita mengungkapkan, kita masuk dalam satu dimensi misteri iman dan dalamnya kita dijiwai oleh daya iman yang kita ungkapkan itu sebagai hidup keimanan kita dan kita akan hidup seturut iman itu.



2.    Sikap Tubuh dalam Liturgi
Ada beberapa macam  bentuk sikap tubuh  dalam liturgi. Membuat tanda salib, perarakan, berjalan, berdiri, duduk, berlutut dengan satu kaki, membungkukkan badan, dan banyak bentuk sikap tubuh yang mau menunjukan keikutsertaaan kita seutuhnya dalam perayaan yang sedang kita rayakan. Sikap tubuh ini mau menunjukan representasi dari ungkapan iman yang ada dalam diri kita. Sikap tubuh akan terungkapkan atas keyakinan kita akan keimanan akan Allah yang berkarya dalam perayaan ibadat ilahi seperti perayaan ekaristi.
Dalam perayaan ekaristi tata gerak atau sikap tubuh seluruh umat dan para pelayan menjadi bagian terpenting dalam simbolisasi kebersamaan dan kesatuan Gereja yang sedang berdoa. Tata gerak dan sikap tubuh imam, diakon, para pelayan, dan jemaat tentu punya maksud. Sikap tubuh yang seragam menandakan kesatuan seluruh jemaat yang berhimpun untuk merayakan Liturgi Suci. Sebab sikap tubuh yang sama mencerminkan dan membangun sikap batin yang sama pula.

3.                 Makna Sikap Tubuh Berlutut dan Membungkukkan Badan

Dalam hal ini kita harus membedakan antara sikap tubuh dalam berhadapan dengan hal yang profan dan spiritual. Dalam perayaan Ekarist kita melakukan sikap tubauh yang diarahkan kepada suatu dimensi spiritual, yakni kepada Allah.
Penghayatan merayakan liturgi merupakan bentukan kegiatan manusiawi yang mengintegrasikan seluruh hidup manusia untuk menghormati dan memuliakan Allah. Hal yang dimaksud adalah integrasi antara artikulasi dan gestikulasi. Artikulasi menyangkut formulasi kata-kata dalam menjawabi ritus-ritus liturgi, sementara gestikulasi lebih menyangkut sikap dan tata gerak tubuh dalam berliturgi. Dalam pembahasan ini, penulis hanya mengangkat satu aspek, yakni gestikulasi, khususnya sikap membungkuk dalam seni merayakan Ekaristi.[6]

Dalam buku Pedoman Umum Misale Romawi di terangkan tentang makna dari sikap berlutut dan membungkuk.
274. Berlutut, yakni tata gerak yang dilakukan dengan menekuk lutut kanan sampai menyentuh lantai, merupakan tanda sembah sujud.
275. Di samping berlutut, ada juga tata gerak membungkuk dan menundukan kepala. Keduanya merupakan tanda penghormatan kepada orang atau barang yang merupakan representasi pribadi tertentu.
a. Menundukkan kepala dilakukan waktu mengucapkan Tritunggal Mahakudus, nama Yesus, nama Santa Perawan Maria, dan nama santo/santa yang diperingati dalam Misa yang bersangkutan.
b. Membungkukkan badan atau membungkuk hikmat dilakukan waktu (1) menghormati … (3) dalam syahadat, waktu mengucapkan kata-kata Ia dikandung dari Roh Kudus…dan menjadi manusia;…
Dalam sikap berlutut juga mau menyatakan seseorang membuat dirinya kecil di hadirat Allah. Ia akan mengakui ketergantungannya pada rahmat Allah.[7]
Sikap Membungkuk atau Menundukkan Kepala?
Pertanyaan mendasar diatas mau mengetengahkan sikap mana yang lebih pantas dalam liturgi, membungkuk atau menundukkan kepala. Secara luas pemahamannya membungkuk lebih terhormat. Namun imam dan umat lebih melakukan sikap menundukkan kepala.
Membungkuk berarti mengerakkan ke bawah bagian tubuh di atas pinggang sedangkan menundukkan kepala berarti mengerakkan tubuh ke bawah hanya sebatas leher Dalam liturgi penyembahan kepada Allah, membungkukkan kepada lebih besar kuantitas liturgisnya dari menundukkan kepala karena penyerahan dan persembahan diri kepada Allah. Membungkuk dilakukan dengan tiga bagian yaitu pikiran, mulut dan hati. Pikiran mengindikasikan pengetahuan kita kepada Allah, mulut mengisyaratkan kita untuk tetap terbuka dan siap menjadi pewarta dan dalam hati kita meresapkan dan mendalami kehendak Allah dalam liturgi. Atas dasar inilah hati menjadi pusat kehendak dan perasaan manusia secara utuh dan sempurna. Hati ikut mengambil bagian yang sangat penting dalam penerimaan nilai sakral liturgi. Kita menundukkan kepala hanya mengandalkan pikiran dan mulut manusia tanpa membawa kesediaan penerimaan yang dilakukan oleh hati. Membungkuk sebagai tanda penyerahan diri secara total yang melibatkan pikiran, mulut, dan hati.
Pada saat Syahadat ada kata-kata suci tertentu yang perlu dan wajib membungkuk dalam syahadat. Kata-kata dan Ia menjadi manusia dan yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria merupakan rumusan yang khidmat dengan sikap membungkuk. Namun imam dan umat tidak menyadari hal-hal ini karena sudah terbiasa tanpa membungkuk dan hampir sebagian besar umat tidak mengetahui sikap liturgi ini. Selain itu ada juga umat yang mengetahui tetapi tidak mau melakukannya karena tidak ingin diperhatikan oleh umat lain yang tidak membungkuk.
Liturgi merupakan kegiatan seluruh umat. Sebagai kegiatan umat, liturgi menuntut partisipasi aktif dari umat secara sadar, semisal gestikulasi membungkuk. Sikap membungkuk sebagai suatu bentuk sikap liturgi berusaha untuk menyatakan penghormatan kepada Allah oleh seluruh umat dalam Ekaristi.
Dalam merayakan Ekaristi bukan hanya terletak pada kekompakan menyanyikan lagu atau menjawab doa, tetapi juga integrasi secara total dengan sikap liturgis. Untuk itu, kesadaran dan keterlibatan dalam melakukan sikap membungkuk dalam liturgi menjadi satu keharmonisan yang tak dapat dipisahkan dengan gestikulasi lainnya yang bertujuan untuk menghormati dan memuji Allah dengan khidmat.


4.                 Penghayatan Credo dalam Sikap Tubuh

“…dan akan satu Tuhan Yesus Kristus,
Putra Allah yang tunggal.
Ia lahir dari Bapa sebelum segala abad,
Allah dari Allah,
Terang dari Terang,
Allah benar dari Allah benar.
Ia dilahirkan, bukan dijadikan,
sehakikat dengan Bapa;
segala sesuatu dijadikan oleh-Nya.
Ia turun dari surga untuk kita manusia
dan untuk keselamatan kita.

Ia dikandung dari Roh Kudus,
Dilahirkan oleh Perawan Maria
dan menjadi manusia…”

dan penggalan
“…Dan akan Yesus Kristus,
PuteraNya yang tunggal, Tuhan kita,
Yang dikandung dari Roh Kudus
Dilahirkan oleh Perawan Maria …”

Roh Kudus adalah Pribadi ketiga dari Allah Tritunggal. Yesus dikandung dari Roh Kudus (lihat mat 1:18-20, Luk 1:35), berarti Yesus berasal dari Allah dan Yesus sungguh Allah. Ke-Allah itu nampak dalam sabda dan karyaNYA. “Sebelum Abraham jadi, aku telah ada (Yoh 8:58). Ya Bapa permuliakanlah Aku padaMU sendiri dengan kemuliaan yang Kumiliki di hadiratMU sebebelum dunia ada (Yoh 17:5)
Rumusan iman yang diungkapkan dalam Syahadat Para Rasul ini adalah kata-kata yang mengandung ungkapan misteri keselamatan Allah yang dijiwai iman umat Allah dahulu, dan sekarang. Dalam kata-kata yang dijiwai dan di-roh-i dimensi Keilahian menjadikan ini unakapan yang tidak lagi semata-mata sebahai kata hurufiah, namun kata-kata ini menjadi kata suci dan kudus yang dalamnya terkandung dimensi keilahian akan karya keselamatan Allah yang tidak cukup hanya dipahami dengan pengertian alam pemikiran manusiawi semata namun manusia dalam pikirannya memaknai kata tersebut dalam terang iman menjadi pengungkapan kenangan akan kesatuan Gereja dahulu dan sekarang menjadi satu keatuan dalam hidupnya yakni kata yang mengandung jiwa dan roh Keilahian menjiwai dan merohi manusia yang mengungkapkannya sehingga dari kedalaman batinnya manusia menunjukan sikap hormat yang tinggi. Akan tetapi siakap manusiawi ini bukan semata sikap hormat seorang manusia semata, namun dalam hal ini manusia yang member hormat adalah manusia yang telah dipersatuakan, dijiwai dan dirohi oleh daya Ilahi yang terkandung di dalam rumusan iman tersebut. Maka dari itulah pemaknaan akan rumusan iman ini menghantar manusia semakin menyadari bahwa ketika ia menhadirkan dirinya dalam peribadatan Ilahi, ia mengungkapkan doa-doa Ilahi. Dalam kebersatuan dirinya dalam peribadatan Ilahi (Ekaristi) ini, manusia bersatu dalam seruan doa-doa Ilahi yang mempersatukan kemanusiannya yakni indrawi, pikiran, hati, batin, jiwa dan rohnya menjadi satu kesatuan dalam sikap dan tindakan yang memampukan manusia sampai kepada penghayatan bahwa ia masuk ke dalam Misteri Ilahi Allah.
Penghayatan dalam sikap menghantar kita kedalam misteri iman akan Allah, Titunggal Mahakudus, dan Inkarnasi Allah. Iman dalam penghayatan akan memampukan kita semakin hidup dalam iman.
Inilah penghayatan manusiawi yang diaplikasikan dalam sikap tubuh di mana manusia berhadapan langsung dengan Misteri Allah dalam ungkapan Iman. Penghayatan ini menjadikan kita semakin bersatu dan mengalami bahwa perayaan ibadat dan ekaristi bukan semata perayaan ibadat manusiawi namun Ekaristi dan peribadatan  ini menjadi peribadatan Ilahi.


[1] Herman Embuiru (ed.), Katekismus Gereja Katoik, (Ende: Arnoldus, 1995), hlm. 58-61.
[2] Herman Embuiru (ed.), Katekismus …, hlm. 96.
[3] Herman Embuiru (ed.), Katekismus …, hlm. 96.
[4] Herman Embuiru (ed.), Katekismus …, hlm. 86.
[5] E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, Makna Sejarah dan Teologi Liturgi, (Yogyakarta; Kanisius, 1999), hlm. 101.
[6] E. Martasudjita, Pengantar Liturgi…, hlm. 109-110.
[7]  Lani et al (ed.), Youcat Indonesia katekismus popular, (Yogyakarta; Kanisius, 2012), hlm. 274.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar