Makna
Sikap Berlutut dan Membungkukkan Badan Saat Mengucapkan “Iman Kepercayaan”
(Credo) dalam Perayaan Ekaristi.
Pendahuluan
“Mengapa kita menunduk saat pengungkapan ‘Iman
Kepercayaan’ dalam kalimat “Yang dikandung dari Roh
Kudus, dilahirkan oleh perawan Maria” pada
saat perayaan ekaristi?” Ini menjadi pertanyaan yang sering diungkapkan dan
timbul dalam benak umat yang mencoba mencari tahu ‘mengapa?’ dan makna apa yang
dikandung dalam sikap berlutut dan membungkukkan badan tersebut. Dalam
pembahasan ini kami mencoba memaparkan secara ringkas sejarah dari Credo, makna dari sikap berlutut dan
membungkukan badan dalam pedoman umum Misale Romawi dalam gereja Katolik serta
apa yang menjadi penghayatan kita saat pengungkapan Credo tersebut dengan sikap tubuh demikian. Inilah yang coba kami
paparkan dalam pembahasan ini.
Tujuan Pembahasan
Dalam melengkapi tugas mata kuliah Ilmu Kataketik yang membahas
mengenai Metode Berkatakese ini kami mencoba memaparkan mengenai “Makna sikap
berlutut dan membungkukkan badan saat mengucapkan “Iman Kepercayaan” (Credo)
dalam Perayaan Ekaristi.
Dalam pembahasan ini, kami menunjuk sasaran pembahasan ini untuk
anak SMU Katolik. Mengapa anak SMU Katolik? Yakni persiapan mengajar dan
pembelajaran berkatekese yang akan dilaksanakan di semester ganjil selanjutnya.
Objek sasaran yakni anak SMU itu sendiri dalam pengandaian kami mengenai materi
yang akan kami sampaikan merupakan pembahasan tentang penghayatan iman. Sikap
diri atas pernyataan iman itu sendiri merupakan materi yang lebih tepatnya
diberikan kepada mereka yang telah berumur 15 tahun ke atas.
Tujuan pemaparan ini mencoba menyampaikan 3 (tiga) poin penting
dalam pembahasan ini yakni pertama mengenai sejarah dari Credo itu sendiri. Yang mana dalam pembahasan ini kami mencoba
memberi gambaran historis dari Credo
agar setidaknya mengetahui apa, mengapa dan bagaimana Credo itu hadir sehingga kita lebih mengetahui dan terlebih
memaknai apa yang kita ucapkan dalam setiap bait dari Credo itu. Kedua yakni makna sikap tubuh pada saat pengungkapan Credo tersebut, dan yang ketiga yakni apa yang kita hayati dalam
pengungkapan Credo dengan sikap tubuh
demikian. Ini kira-kira garis besar dari apa yang akan kami sampaikan.
Credo dan Penghayatannya
1.
Sejarah Singkat
Credo
Credo (Aku
Percaya) yang merupakan rumusan Syahadat Para Rasul menjadi rumusan singkat
yang memuat pokok-pokok iman kepercayaan orang Kristen. Rumusan ini tidak
disebutkan langsung oleh Yesus dan tidak ditemukan dalam Alkitab, namun rumusan
iman ini mulai dirumuskan oleh dalam perkembangan Gereja setelah Yesus naik
ke surga dan para Rasul menerima Roh Kudus untuk mewartakan iman akan Yesus
Kristus.[1]
Dalam terang Roh Kudus para Rasul mengungkapkan Syahadat (pengakuan) atas iman
yang mengandung 12 butir pengakuan, yang
menjadi symbol pengakuan dari setiap Rasul.
1.
Aku percaya akan Allah,
Bapa Yang Mahakuasa
Pencipta langit dan bumi
2. Dan
akan Yesus Kristus,
PuteraNya yang tunggal, Tuhan kita,
3.
Yang
dikandung dari Roh Kudus
Dilahirkan
oleh Perawan Maria (Membungkukan badan)
4. Yang
menderita sengsara
Dalam pemerintahan Ponsius Pilatus
Disalibkan, wafat dan dimakamkan
5. Yang
turun ke tempat penantian
Pada hari ke tiga bangkit
Dari antara orang mati
6. Yang
naik ke surga
Duduk di sebelah kanan Allah Bapa
Yang Mahakuasa
7. Dari
situ Ia akan datang
Mengadili orang hidup dan mati
8. Aku
percaya akan Roh Kudus
9.
Gereja Katolik yang kudus
Persekutuan para kudus
10. Pengampunan
dosa
11. Kebangkitan
badan
12. Kehidupan
kekal. Amin
a.
Butir 1. Mengenai Allah, Bapa dan KaryaNya.
b.
Butir 2 – 7 mengenai Yesus Kristus (Firman Allah) dan KaryaNya.
c.
Butir 8 -12 mengenai Roh Kudus (Roh Allah) dan KaryaNya.
Dalam masa
perkembangan Gereja pada abat IV dan V muncul beberapa bidaah yang mencoba
meragukan iman akan Tritunggal Mahakudus, ke-Allah-an Yesus dan inkarnasi Allah
dalam Yesus.
1.
Ajaran sesat Arianisme
Arius, adalah seorang imam Aleksandria. Ia mengajarkan bahwa
Yesus bukanlah Tuhan Allah Sejati.
ia menyangkal keilahian Yesus. Untuk melawan ajaran sesat ini diadakan konsili
ekumenis pertama, yaitu konsili Nicea I tahun 325.
Syahadat Eusebius kalau kita lihat
memang ortodoks, sesuai dengan ajaran Gereja , Tetapi Syahadat ini tidak secara
eksplisit melawan bidah Arianisme (ajaran Arius). Oleh karena itu, konsili
memakai syahadat Eusebius sebagai dasar pembicaraan saja, lalu mengusulkan
perbaikan, dengan penambahan-penambahan pada syahadat dari Kaesarea.
2.
Ajaran sesat Macedonius
Ajaran Macedonius melawan menyangkal keilahian Roh Kudus,
sehingga diperlukan pertian khusus, terutama dibahas pada konsili
Konstantinoel, tahun 381[2],
diselenggarakan untuk melawan Bidaah Macedonius.
3.
Ajaran Sesat Nestorius
Nestorius adalah seorang uskup dari
Konstantinopel. beliau mengajarkan bahwa Yesus
memiliki 2 kodrat dan 2 pribadi, yaitu Allah dan manusia. Ajaran nestorius
ini ditentang keras oleh Cyrilius seorang uskup dari Aleksandria. Konsili Efesus berhasil menyelesaikan perselisihan paham ini, dan mengutuk
ajaran Nestorius dan membenarkan ajaran Cyrilius. Konsili Efesus ini
menenkankan kesatuan Pribadi Yesus dan juga konsili ini menyetujui apa yang
telah dirumuskan dalam konsili-konsili sebelumnya.
4.
Ajaran Sesat Eutyches
Eutyches mengajarkan bahwa ke dua Kodrat Yesus itu, Allah dan manusia
tercampur dan tek terbedakan. Untuk melawan ajaran Eutyches ini maka
diadakanlah konsili Kalcedon, tahun 451[3].
Konsili ini mengambil keputusan tegas untuk meyingkirkan semua ajaran sesat dan
menegaskan kembali iman yang benar. Dimana konsili ini menegaskan bahwa kodrat
keallahan dan kemanusiaan Yesus tetap terbedakan. Yesus sungguh-sungguh Allah dan
sungguh-sungguh manusia. Dalam
konsili Kalcedon inilah secara resmi disahkannya syahadat iman, yang terkenal
dengan Syahadat Niceani atau lebih dikenal dengan Syahadat Nicea-Konstantinopel
(syahadat panjang).[4]
tapi nama resminya adalah syahadat Niceani
Dalam sejarah perumusan Credo, semua
ajaran sesat ini mengkondisikan Gereja untuk merumuskan imannya. Maka dari
sejarah ini kita mau melihat dan menyadari bahwa sejak dari masa para Rasul,
para Bapa-Bapa Gereja dan para pemikir gereja berusaha untuk membahasakan
misteri iman dalam pembahasaan manusiawi dalam rupa bahasa-bahasa simbolik
untuk dapat dipahami dan meneguhkan iman umat.
Gereja katolik Roma saat ini memakai
2 versi Credo yakni Syahadat panjang (hasil
Konsili Nikea Konstantinopel) dan Syahadat pendek.
Pengakuan Iman
(Panjang)
Hasil Konsili Nikea Konstantinopel
Hasil Konsili Nikea Konstantinopel
Aku percaya akan satu Allah,
Bapa yang mahakuasa,
pencipta langit dan bumi,
dan segala sesuatu yang kelihatan
dan tak kelihatan;
dan akan satu Tuhan Yesus Kristus,
Putra Allah yang tunggal.
Ia lahir dari Bapa sebelum segala abad,
Allah dari Allah,
Terang dari Terang,
Allah benar dari Allah benar.
Ia dilahirkan, bukan dijadikan,
sehakikat dengan Bapa;
segala sesuatu dijadikan oleh-Nya.
Ia turun dari surga untuk kita manusia
dan untuk keselamatan kita.
Ia dikandung dari Roh Kudus,
Dilahirkan oleh Perawan Maria
Bapa yang mahakuasa,
pencipta langit dan bumi,
dan segala sesuatu yang kelihatan
dan tak kelihatan;
dan akan satu Tuhan Yesus Kristus,
Putra Allah yang tunggal.
Ia lahir dari Bapa sebelum segala abad,
Allah dari Allah,
Terang dari Terang,
Allah benar dari Allah benar.
Ia dilahirkan, bukan dijadikan,
sehakikat dengan Bapa;
segala sesuatu dijadikan oleh-Nya.
Ia turun dari surga untuk kita manusia
dan untuk keselamatan kita.
Ia dikandung dari Roh Kudus,
Dilahirkan oleh Perawan Maria
dan menjadi manusia.
Ia pun disalibkan untuk kita, waktu Pontius Pilatus;
Ia menderita sampai wafat dan dimakamkan.
Pada hari ketiga Ia bangkit menurut Kitab Suci.
Ia naik ke surga, duduk di sisi Bapa.
Ia akan kembali dengan mulia,
mengadili orang yang hidup dan yang mati;
kerajaan-Nya takkan berakhir.
aku percaya akan Roh Kudus,
Ia Tuhan yang menghidupkan;
Ia berasal dari Bapa dan Putra,
disembah dan dimuliakan;
Ia bersabda dengan perantaraan para nabi.
aku percaya akan Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolic.
aku mengakui satu pembaptisan
akan penghapusan dosa.
aku menantikan kebangkitan orang mati
dan hidup di akhirat.
Ia pun disalibkan untuk kita, waktu Pontius Pilatus;
Ia menderita sampai wafat dan dimakamkan.
Pada hari ketiga Ia bangkit menurut Kitab Suci.
Ia naik ke surga, duduk di sisi Bapa.
Ia akan kembali dengan mulia,
mengadili orang yang hidup dan yang mati;
kerajaan-Nya takkan berakhir.
aku percaya akan Roh Kudus,
Ia Tuhan yang menghidupkan;
Ia berasal dari Bapa dan Putra,
disembah dan dimuliakan;
Ia bersabda dengan perantaraan para nabi.
aku percaya akan Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolic.
aku mengakui satu pembaptisan
akan penghapusan dosa.
aku menantikan kebangkitan orang mati
dan hidup di akhirat.
Pengakuan
Iman (Pendek)
Aku percaya akan Allah,
Bapa Yang Mahakuasa
Pencipta langit dan bumi
Dan akan Yesus Kristus,
PuteraNya yang tunggal, Tuhan kita,
Yang dikandung dari Roh
Kudus
Dilahirkan oleh Perawan
Maria (Membungkukan badan)
Yang menderita sengsara
Dalam pemerintahan Ponsius Pilatus
Disalibkan, wafat dan dimakamkan
Yang turun ke tempat penantian
Pada hari ke tiga bangkit
Dari antara orang mati
Yang naik ke surga
Duduk di sebelah kanan Allah Bapa
Yang Mahakuasa
Dari situ Ia akan datang
Mengadili orang hidup dan mati
Aku percaya akan Roh Kudus
Gereja Katolik yang kudus
Persekutuan para kudus
Pengampunan dosa
Kebangkitan badan
Kehidupan kekal. Amin
Demikianlah sejarah singkat
perumusan Iman Kepercayaan kita yang dirumuskan dalam Syahadat Para Rasul
(Credo). Dari semuanya itu mau mengatakan Gereja meneguhkan syahadat Imannya
dari segala kesesatan dan keragu-raguan yang ditimbulkan untuk menghancurkan
Kekristenan yang mulai tunmbuh dan berkembang.
Dalam Syahadat Para Rasul ini kita
akan melihat betapa isi iman kita akan Allah Pencipta dalam ke-TritunggalanNya
menghadirkan karya Keselamatan dalam kesatuan Bapa, Putera dan Roh Kudus.
Inkarnasi Allah dalam Yesus yang adalah Allah dan Manusia hadir dalam rahim
perawan Maria dan karya keselamatan ini juga yang diteruskan dalam Gereja Kudus
yang berziarah di dunia dan kesatuan kekal surgawi.
Syahadat Para Rasul sarat makna dan
symbol iman.[5]
Darinya kita tidak akan cukup merenung tentang kepenuhan iman kita. Namun saat
mengungkapkannya kita mengenangkan kembali iman yang hadir dalam kisah bangsa
Israel dalam Perjanjian Lama, karya keselamatan Yesus menyempurnakan dulu,
sekarang dan terus terlaksana lewat karya Roh Kudus.
Hal inilah yang harus benar-benar
kita sadari akan inti esensi dari “Credo” itu sendiri. Ketika kita semakin
memahami apa dan bagaimana “Credo” itu dirumuskan serta apa yang menjadi makna
dari setiap perumusan yang sarat makna dan symbol-simbol iman yang kita hidupi
ini maka kita akan menyadari bahwa ketika kita mengungkapkan Syahadat Para
Rasul ini sebagai Iman Kepercayaan, kita memasuki dimensi iman yang
terkenangkan dan menjiwai kita yang mengungkapkannya untuk bersatu dan ikut
dalam kesatuan karya keselamatan itu yang terus dan masih berkarya.
Hal-hal Inilah yang harus kita
sadari. Ketika kita mengungkapkan, kita masuk dalam satu dimensi misteri iman
dan dalamnya kita dijiwai oleh daya iman yang kita ungkapkan itu sebagai hidup
keimanan kita dan kita akan hidup seturut iman itu.
2.
Sikap
Tubuh dalam Liturgi
Ada beberapa macam bentuk
sikap tubuh dalam liturgi. Membuat tanda
salib, perarakan, berjalan, berdiri, duduk, berlutut dengan satu kaki,
membungkukkan badan, dan banyak bentuk sikap tubuh yang mau menunjukan
keikutsertaaan kita seutuhnya dalam perayaan yang sedang kita rayakan. Sikap
tubuh ini mau menunjukan representasi dari ungkapan iman yang ada dalam diri
kita. Sikap tubuh akan terungkapkan atas keyakinan kita akan keimanan akan
Allah yang berkarya dalam perayaan ibadat ilahi seperti perayaan ekaristi.
Dalam
perayaan ekaristi tata gerak atau sikap tubuh seluruh umat dan para pelayan
menjadi bagian terpenting dalam simbolisasi kebersamaan dan kesatuan Gereja
yang sedang berdoa. Tata gerak dan sikap tubuh imam, diakon, para pelayan, dan
jemaat tentu punya maksud. Sikap tubuh yang seragam menandakan kesatuan seluruh
jemaat yang berhimpun untuk merayakan Liturgi Suci. Sebab sikap tubuh yang sama
mencerminkan dan membangun sikap batin yang sama pula.
3.
Makna Sikap
Tubuh Berlutut dan Membungkukkan Badan
Dalam hal ini
kita harus membedakan antara sikap tubuh dalam berhadapan dengan hal yang
profan dan spiritual. Dalam perayaan Ekarist kita melakukan sikap tubauh yang
diarahkan kepada suatu dimensi spiritual, yakni kepada Allah.
Penghayatan merayakan liturgi merupakan bentukan kegiatan manusiawi yang mengintegrasikan seluruh hidup manusia
untuk menghormati dan memuliakan Allah. Hal yang dimaksud adalah integrasi
antara artikulasi dan gestikulasi. Artikulasi menyangkut formulasi kata-kata dalam menjawabi
ritus-ritus liturgi, sementara gestikulasi lebih menyangkut sikap dan tata gerak tubuh dalam berliturgi. Dalam
pembahasan ini, penulis hanya mengangkat satu aspek, yakni gestikulasi,
khususnya sikap membungkuk dalam seni merayakan Ekaristi.[6]
Dalam buku
Pedoman Umum Misale Romawi di terangkan tentang makna dari sikap berlutut dan
membungkuk.
274. Berlutut, yakni tata gerak yang dilakukan
dengan menekuk lutut kanan sampai menyentuh lantai, merupakan tanda sembah
sujud.
275. Di samping berlutut, ada juga tata gerak
membungkuk dan menundukan kepala. Keduanya merupakan tanda penghormatan kepada
orang atau barang yang merupakan representasi pribadi tertentu.
a. Menundukkan
kepala dilakukan waktu mengucapkan Tritunggal Mahakudus, nama Yesus, nama Santa
Perawan Maria, dan nama santo/santa yang diperingati dalam Misa yang
bersangkutan.
b. Membungkukkan
badan atau membungkuk hikmat dilakukan waktu (1) menghormati … (3) dalam
syahadat, waktu mengucapkan kata-kata Ia
dikandung dari Roh Kudus…dan menjadi manusia;…
Dalam sikap
berlutut juga mau menyatakan seseorang membuat dirinya kecil di hadirat Allah.
Ia akan mengakui ketergantungannya pada rahmat Allah.[7]
Sikap Membungkuk atau Menundukkan
Kepala?
Pertanyaan mendasar diatas mau mengetengahkan sikap mana
yang lebih pantas dalam liturgi, membungkuk atau menundukkan kepala. Secara
luas pemahamannya membungkuk lebih terhormat. Namun imam dan umat lebih
melakukan sikap menundukkan kepala.
Membungkuk berarti mengerakkan ke bawah bagian tubuh di atas
pinggang sedangkan menundukkan kepala berarti mengerakkan tubuh ke bawah hanya
sebatas leher Dalam liturgi penyembahan kepada Allah, membungkukkan kepada
lebih besar kuantitas liturgisnya dari menundukkan kepala karena penyerahan dan
persembahan diri kepada Allah. Membungkuk dilakukan dengan tiga bagian yaitu
pikiran, mulut dan hati. Pikiran mengindikasikan pengetahuan kita kepada Allah,
mulut mengisyaratkan kita untuk tetap terbuka dan siap menjadi pewarta dan
dalam hati kita meresapkan dan mendalami kehendak Allah dalam liturgi. Atas
dasar inilah hati menjadi pusat kehendak dan perasaan manusia secara utuh dan
sempurna. Hati ikut mengambil bagian yang sangat penting dalam penerimaan nilai
sakral liturgi. Kita menundukkan kepala hanya mengandalkan pikiran dan mulut
manusia tanpa membawa kesediaan penerimaan yang dilakukan oleh hati. Membungkuk
sebagai tanda penyerahan diri secara total yang melibatkan pikiran, mulut, dan
hati.
Pada saat Syahadat ada kata-kata
suci tertentu yang perlu dan wajib membungkuk dalam syahadat. Kata-kata dan Ia
menjadi manusia dan yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan
Maria merupakan rumusan yang khidmat dengan sikap membungkuk. Namun imam dan
umat tidak menyadari hal-hal ini karena sudah terbiasa tanpa membungkuk dan
hampir sebagian besar umat tidak mengetahui sikap liturgi ini. Selain itu ada
juga umat yang mengetahui tetapi tidak mau melakukannya karena tidak ingin
diperhatikan oleh umat lain yang tidak membungkuk.
Liturgi merupakan kegiatan seluruh
umat. Sebagai kegiatan umat, liturgi menuntut partisipasi aktif dari umat
secara sadar, semisal gestikulasi membungkuk. Sikap membungkuk sebagai suatu
bentuk sikap liturgi berusaha untuk menyatakan penghormatan kepada Allah oleh
seluruh umat dalam Ekaristi.
Dalam merayakan Ekaristi bukan hanya
terletak pada kekompakan menyanyikan lagu atau menjawab doa, tetapi juga
integrasi secara total dengan sikap liturgis. Untuk itu, kesadaran dan
keterlibatan dalam melakukan sikap membungkuk dalam liturgi menjadi satu
keharmonisan yang tak dapat dipisahkan dengan gestikulasi lainnya yang
bertujuan untuk menghormati dan memuji Allah dengan khidmat.
4.
Penghayatan
Credo dalam Sikap Tubuh
“…dan akan satu Tuhan Yesus Kristus,
Putra Allah yang tunggal.
Ia lahir dari Bapa sebelum segala abad,
Allah dari Allah,
Terang dari Terang,
Allah benar dari Allah benar.
Ia dilahirkan, bukan dijadikan,
sehakikat dengan Bapa;
segala sesuatu dijadikan oleh-Nya.
Ia turun dari surga untuk kita manusia
dan untuk keselamatan kita.
Ia dikandung dari Roh Kudus,
Dilahirkan oleh Perawan Maria
Putra Allah yang tunggal.
Ia lahir dari Bapa sebelum segala abad,
Allah dari Allah,
Terang dari Terang,
Allah benar dari Allah benar.
Ia dilahirkan, bukan dijadikan,
sehakikat dengan Bapa;
segala sesuatu dijadikan oleh-Nya.
Ia turun dari surga untuk kita manusia
dan untuk keselamatan kita.
Ia dikandung dari Roh Kudus,
Dilahirkan oleh Perawan Maria
dan
menjadi manusia…”
dan penggalan
“…Dan akan Yesus Kristus,
PuteraNya yang tunggal, Tuhan kita,
Yang dikandung dari Roh
Kudus
Dilahirkan oleh Perawan
Maria …”
Roh Kudus adalah Pribadi ketiga dari Allah Tritunggal. Yesus
dikandung dari Roh Kudus (lihat mat 1:18-20, Luk 1:35), berarti Yesus berasal
dari Allah dan Yesus sungguh Allah. Ke-Allah itu nampak dalam sabda dan
karyaNYA. “Sebelum Abraham jadi, aku telah ada (Yoh 8:58). Ya Bapa
permuliakanlah Aku padaMU sendiri dengan kemuliaan yang Kumiliki di hadiratMU
sebebelum dunia ada (Yoh 17:5)
Rumusan iman
yang diungkapkan dalam Syahadat Para Rasul ini adalah kata-kata yang mengandung
ungkapan misteri keselamatan Allah yang dijiwai iman umat Allah dahulu, dan
sekarang. Dalam kata-kata yang dijiwai dan di-roh-i dimensi Keilahian
menjadikan ini unakapan yang tidak lagi semata-mata sebahai kata hurufiah,
namun kata-kata ini menjadi kata suci dan kudus yang dalamnya terkandung
dimensi keilahian akan karya keselamatan Allah yang tidak cukup hanya dipahami
dengan pengertian alam pemikiran manusiawi semata namun manusia dalam
pikirannya memaknai kata tersebut dalam terang iman menjadi pengungkapan
kenangan akan kesatuan Gereja dahulu dan sekarang menjadi satu keatuan dalam
hidupnya yakni kata yang mengandung jiwa dan roh Keilahian menjiwai dan merohi manusia
yang mengungkapkannya sehingga dari kedalaman batinnya manusia menunjukan sikap
hormat yang tinggi. Akan tetapi siakap manusiawi ini bukan semata sikap hormat
seorang manusia semata, namun dalam hal ini manusia yang member hormat adalah
manusia yang telah dipersatuakan, dijiwai dan dirohi oleh daya Ilahi yang
terkandung di dalam rumusan iman tersebut. Maka dari itulah pemaknaan akan
rumusan iman ini menghantar manusia semakin menyadari bahwa ketika ia
menhadirkan dirinya dalam peribadatan Ilahi, ia mengungkapkan doa-doa Ilahi.
Dalam kebersatuan dirinya dalam peribadatan Ilahi (Ekaristi) ini, manusia
bersatu dalam seruan doa-doa Ilahi yang mempersatukan kemanusiannya yakni
indrawi, pikiran, hati, batin, jiwa dan rohnya menjadi satu kesatuan dalam sikap
dan tindakan yang memampukan manusia sampai kepada penghayatan bahwa ia masuk
ke dalam Misteri Ilahi Allah.
Penghayatan
dalam sikap menghantar kita kedalam misteri iman akan Allah, Titunggal
Mahakudus, dan Inkarnasi Allah. Iman dalam penghayatan akan memampukan kita
semakin hidup dalam iman.
Inilah
penghayatan manusiawi yang diaplikasikan dalam sikap tubuh di mana manusia
berhadapan langsung dengan Misteri Allah dalam ungkapan Iman. Penghayatan ini
menjadikan kita semakin bersatu dan mengalami bahwa perayaan ibadat dan
ekaristi bukan semata perayaan ibadat manusiawi namun Ekaristi dan
peribadatan ini menjadi peribadatan
Ilahi.
[1]
Herman Embuiru (ed.), Katekismus Gereja
Katoik, (Ende: Arnoldus, 1995), hlm. 58-61.
[2]
Herman Embuiru (ed.), Katekismus …,
hlm. 96.
[3]
Herman Embuiru (ed.), Katekismus …,
hlm. 96.
[4]
Herman Embuiru (ed.), Katekismus …,
hlm. 86.
[5] E.
Martasudjita, Pengantar Liturgi, Makna
Sejarah dan Teologi Liturgi, (Yogyakarta; Kanisius, 1999), hlm. 101.
[6] E.
Martasudjita, Pengantar Liturgi…,
hlm. 109-110.
[7] Lani et al (ed.), Youcat Indonesia katekismus popular, (Yogyakarta; Kanisius, 2012),
hlm. 274.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar