LANGKAH JUSTIFIKASI
ATAS PANCASILA DALAM PENDIDIKAN
(Peran PPKN
dalam Pengenalan Nilai-nilai Pancasila bagi “Generasi Bangsa”)
Dalam siding PPKI dirumuskanlah draft
alinea IV, pembukaan UUD yang dikemukakan Soekarno-Hatta, antara lain
disebutkan: “…maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat, dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut dasar Kemanusaian yang Adil dan Beradab, Persatuan
Indonesia… dan seterusnya.” Dengan demikian jelaslah bahwa kata “menurut
dasar” yang diusulkan oleh Ki Bagoes
Hadikoesoemo ini mau menegaskan bahwa Negara Indonesia “menurut dasar”[1]
dari kelima sila Pancasila. Hal ini demi mempertegas segala perdebatan yang ada
dalam menentuan Dasar Negara Indonesia sebelum 1 Juni 1945 dalam pidato
Soekarno dan sampai pada sidang PPKI 18 Agustus 1945. Yang mana kelompok Islam
bersikeras mempertahankan rumusan sila pertama, syarat menjadi presiden dan
pasal 28 ayat 1 (kini pasal 29 ayat 1) seluruhnya memiliki landasan “Ketuhanan
Yang Maha Esa”. [2]
Kita masuk kedalam keadaan situasi
Negara Indonesia yang akhir-akhir ini di rong-rong oleh banyak paham-paham yang
mencoba menghancurkan bahkan menggantikan Pancasila sebagai dasar Negara. Munculnya
terorisme atas Kuasi-Agama[3]
yang sangat mempengaruhi keadaan negara saat ini, yang mengakibatkan
Intoleransi yang mengganggu tatanan demokrasi[4] di
tengah-tengah masyarakat. Masyarakat mengalami keresahan yang cukup untuk
dipikirkan. Seluruh rakyat mengalami keresahan. Bukan hanya yang minoritas,
namun umat muslim sendiri menjadi resah dan bertanya-tanya akan terorisme yang
mengganggu keamanan namun juga selalu dikaitkan dengan Islamisasi.
“Kemana Pergi Penghayatan Pancasila
dalam Jiwa Generasi Bangsa?” Masih hangat dalam ingatan kita berita pengeboman
Gereja dan Makobrimob di Surabaya yang dalam tindakan tersebut (ini pertama
kali terjadi) anak-anak kecil diikutsertakan atau memang ikut serta dalamnya.[5]
Hadirnya anak-anak dalam hal ini perlu menjadi perhatian kita, terlebih ketika
mereka menyatakan bahwa idiologi mereka mendukung ISIS dan terorisme yang tidak
sepaham dengan Pnacasila.[6]
Dalam hal inilah perlunya Justifikasi
Pancasila dalam diri warga Negara Indonesia khususnya para kaum muda yang
menjadi “Generasi Bangsa”. Dalam Tap. MPR. No. IV/MPR/1973, bidang studi PMP
(yang sejak 1975 disebut PPKN) ini diinstruksikan untuk masuk dalam kurikulum
sekolah dari sekolah taman kanak-kanak
sampai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Bidang studi ini
dimaksudkan sebagai ganti dari bidang studi Pendidikan Kewarganegaraan, yang
dikenal dengan singkatan PKN, yang termuat dalam kurikulum 1968.[7]
Hal ini telah dari awal sejak Bangsa Indonesia merdeka dipandang penting untuk
mensosialisasikan dan terlebih menanamkan benih “Jiwa Bangsa Indonesia”[8]
yang tersarikan dalam Pancasila.
Indonesia merupakan satu-satunya Negara
yang Deklarasi Kemerdekaannya tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yang
menempatkan “mencerdaskan kehidupan bangsa”sebagai misi penyelenggaraan
pemerintah Negara dan menempatkan kewajiban Pemerintah “mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan” nasional UUD Negara. Pertanyaan
“Apakah latar belakang dari ditetapkannya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai
salah satu misi penyelenggaraan Negara dan memajukan kebudayaan nasional
Indonesia sebagai kewajiban Pemerintah?” hal ini mau menjawab seluruh
pertanyaan yang implisit dari masa awal Nusantara (abad ke-4M kerajaan Kutai),
masuk ke jaman kemerdekaan dan sampai ke pada masa Jokowi (yang mulai diusik
kembali pernyataan akan Pancasila sebagai Jati Diri Bnagsa Indonesia). Hal
inilah yang menjadi tugas kita bersama menganalisis terhadap Pedagogik yang
Relevan bagi Penyelenggaraan Pendidikan Nasional guna menanamkan Jiwa
Kebangsaan tersebut yang berlandas pada PANCASILA.[9]
Pada masa ini, menjadi tantangan bagi
Pendidikan Indonesia,[10]
untuk melihat kembali dan melanjutkan penanaman nilai-nilai luhur Pancasila
sejak masa PAUD (dengan menyanyikan lagu-lagu kebangsaan) sampai ke pergururan
tinggi (pengaplikasian nilai-nilai Pancasila tersebut) sebagai “Jiwa Bangsa
Indonesia” yang didalamnya termaktub segala hal ikwal ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan dan musyawarah
yang mana semuanya ini adalah kepribadian Bangsa Indonesia sendiri yang telah
ada sejak abad ke-4M yang menandakan sejarah berdirinya Nusantara sanpai saat
ini. Nilai-nilai inilah yang perlu diperkenalkan, diajarkan, dimengerti,
dipahami dan diaplikasiakan dalam kehidupan berbangsa yang “ber-bineka”.
Pluralitas bangsa Indonesia inilah yang menjadi ciri khas bangsa yang berbeda
namun satu, yakni Naionalisme di Era Populisme.[11]
Justifikasi atas Pancasila telah dimulai
oleh Soekarno dalam pidato pembukaannya tanggal 1 Juni 1945. Hal ini pulalah
yang harus kita teruskan. Pembenaran akan nilai-nila Pancasila sebagai nilai
hidup bangsa dan rakyat Indonesia harus terus diwariskan kepada anak cucu
bangsa ini. Karena merekalah yang akan menjadi penerus estafet bangsa ini.
Merekalah yang akan diwarisi dan juga mewarisi kepada generasi selanjutnya,
bahwa Bangsa Indonesia berada pada nilai luhur Pancasila yang bersemboyankan
“Bineka Tunggal Ika”.
Memberantas segala paham yang hendak
merusak dan menggantikan Pancasila sebagai Jati Diri Bangsa Indonesia tidak
bisa hanya oleh pihak pemerintah semata (Presiden, para Wakil Rakyat, POLRI,
dan TNI) namun seluruh elemen masyarakat perlu.[12]
Dan lebih penting lagi kita harus memulai dari pendidikan yang paling dasar.
Demikianlah dapat kita melihat bahwa
sejak akan terbentuknya Pancasila sampai Negara Indonesia telah merdeka,
permasalahan yang harus kita hadapi bukan ancaman dari luar. Kehilangan dan
kematian Jiwa Kebangsaan yang berdasar pada Pancasila akan mempermudah bangsa
ini dihancurkan. Maka marilah kita memulai dari diri kita sendiri untuk
mengembalikan Justifikasi atas Pancasila tersebut, agar kita tetap menjadi
warga Indonesia yang berjiwa kebangsaan atas dasar Pancasila.
[1] Bambang Suteng Sulasmono, Dasar Negara Pancasila, ( Yogyakarta:
Kanisius, 2015), hlm. 32.
[2] Bambang Suteng Sulasmono, Dasar…, hlm. 10-19, bdk. Asep Salahudin,
“Negara Tanpa Rakyat”, dalam Kompas (Jakarta),
Jumat, 8 Besember 2017, hlm. 6, klm. 2-5.
[3] Yongky Karman, “Terorisme Kuasi-Agama”, dalam Kompas
(Jakarta), Rabu 16 Mei 2018, hlm. 6, klm. 2-5.
[4] BOW (red.), “Intoleransi Ganggu Tatanan Demokrasi”, dalam Kompas (Jakarta), Rabu 16 Mei 2018, hlm. 3, klm. 1-3.
[5] You Tube, “Pengakuan
Ketiga Anak Terduga Teroris Saat Ditemui Kapolda Jatim”, dipublikasi: Official
iNews, 15 Mei 2018, bdk. You Tube,
“Anak-anak dan Remaja di Pusaran Terorisme”, dipublikasi: KOMPASTV, 14 Mei 2018, bdk.
You Tube, “Pengakuan Anak Pelaku Bom Surabaya”, dipublikasi: Najwa Sihab, 13 Mei 2018.
[6] You Tube, “Jejak
Bocah ISIS di Kaki Gunung Salak-AIMAN (Bag-1), dipublikasi: KOMPASTV, 6 Oktober 2017, bdk. You Tube,
“Menggunakan Senjata, Anak-anak Bocah ini Latihan Militer ISIS”, dipublikasi: Morning Show NET, 24 November 2016.
[7] M. Daryono et al., Pengantar Pendidikan Pancasila dan Kewartganegaraan, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2011), hlm. 1.
[8] Salahuddin Wahid, “Jiwa Kebangsaan”, dalam Kompas (Jakarta), Sabtu, 19 Mei 2018,
hlm. 6, klm. 2-5.
[9] A. H. R. Tilaar et al., Pegagogi Kritis Pengembangan Substansi, dan Perkembangan di Indonesia,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2011), hlm. 75-86.
[10] Agus Suwignyo, “Tantangan Pendidikan Kita”,
dalam Kompas (Jakarta), Rabu, 2 Mei
20018, hlm.6, klm. 2-5.
[11] Arif Susanto, “Nasionalisme di Era
Populisme”, dalam Kompas (Jakarta),
Selasa, 22 Mei 2018, hlm. 7, klm. 1-3.
[12] REK/NTA/NDY (red.), “Masyarakat Mesti
Terlibat”, dalam Kompas (Jakarta),
Kamis, 17 Mei 2018, hlm. 2, klm. 1-5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar