ARAH ATURAN HIDUP BAKTI SEJAK MASA GEREJA
PERDANA SAMPAI KEPADA BENEDICTUS NURSIA
YANG MEMBAKUKAN ATURAN HIDUP SECARA
TERTULIS
PENGANTAR
Tulisan ini ingin mencoba mempelajari bagaimana arah langkah model
hidup bakti yang dimulai dari masa Gereja awal sampai kepada Benedictus Nursia[1].
Rentetan cerita hidup dari pelaku model awal hidup bakti yang dimulai dengan
para rahib (pertapa) padang gurun sebagai eremit (yang hidup sendiri-sendiri).[2]
Demikianlah cara hidup mereka menjadi langkah awal terbentuknya cara hidup umat
beriman yang mencoba lebih menghidupi dan mengkhususkan diri dalam menjalani
iman tersebut lewat arahan nilai-nilai luhur injili serta permenungan akan
pengharapan hidup Ilahi di surga yang mereka hidupi di dunia ini (koinonia). Yang
mana dalam cara hidup ini mereka coba jalani dengan cara hidup yang sedemikian
baik, benar, murni dan kudus di hadapan Allah[3].
Seolah-olah mereka telah mengalami pengalaman hidup Ilahi di surga, namun
mereka masih hidup di dunia ini. Aturan dan pola hidup yang mereka jalankan pada
awalnya bersifat pribadi. Namun seturut perkembangan, akhirnya dalam
kebersamaan mencoba menjalankan tujuan yang sama. Aturan yang awalnya bersifat
pribadi menjadi aturan hidup bersama. Dibentuklah pola hidup bersama. Berlanjut
kepada stuktur hidup kebersamaan yang dipimpin oleh seorang Bapa yang menjadi pemimpin (lebih tepat
sebagai pembimbing) hidup spiritual kebersamaan mereka. Wejangan dan
arahan-arahan yang disampaikan secara verbal dalam kebersamaan coba dijalani
dan diwariskan secara turun-temurun, yang coba dituliskan secara bebas. Dan
pada akhirnya, kita melihat pola hidup monastik para rahib yang di pimpin oleh
Benedictus yang mencoba membuat aturan-aturan hidup monastic itu menjadi aturan
hidup yang tertulis secara baik, rapi dan padat. Di dalamnya termaktub segala
bentuk aturan hidup monastik yang ada. Inilah menjadi pegangan dan gambaran aturan
hidup dalam menjalani pola ‘Hidup Bakti
Kristiani’ untuk selanjutnya.
PERKEMBANGAN AWAL MODEL HIDUP BAKTI
A. Fenomena Monastik di Luar Kristianitas
Apakah monakeisme merupakan suatu
fenomena yang khas Kristen? Terhadap pernyataan ini kita mesti menjawab
“Tidak”. Para rahib sudah ada sebelum Kristianitas.
1500 tahun sebelum Yesus datang, sudah ada rahib di India. Kebanyakan
agama-agama non-Kristen mengenal suatu bentuk hidup monastik.
Monakisme tertua, yang dipraktekkan
dalam Hinduisme,[4]
tidak mengungkapkan diri secara tunggal. Ada
banyak anakoret, para eremit yang hidup di hutan, para asket yang berkelana
kesana-kemari mengemis untuk makanan mereka[5].
Para eremit kadang kala mempunyai istei yang tinggal bersama di dalam pondok
mereka, namum mereka hidup dalam pertarakan. Sedangkan para asket memutuskan
semua hubungan dengan masyarakat dan hidup mengemis. Namum ada juga beberapa
biara, yang rahib-rahibnya mengenakan jubah khusus, mempraktekkan kemiskinan
dan sikap ketidakterikatan dan mengemis untuk makanan mereka. Mereka berada di
bawah bimbingan seorang guru dan
berkaul untuk tidak membunuh suatu yang hidup, hidup jujur, mendisiplinkan diri
dan murah hati.
Dalam Buddhisme, cara hidup monakisme
menunjukan suatu tingkatan ketinggian. Buddha memahami keselamatan sebagai
suatu pembebasan diri dari penderitaan dan hawa nafsu yang dapat dikejar dengan
cara meditasi dan hidup dalam ulatapa yang ketat dengan aturan dan norma hidup
yang ketat pula, ini hanya para rahib yang dapat melakukannya dalam pilihan
model hidup monakstik. Maka ada rahib-rahib yang mencari ‘Yang Mutlak’ ini
lewat meditasi, dan yang bukan rahib memperoleh berkat dengan mendukung
kehidupan para rahib. Tidak ada kaul, dan seringkali monakisme mereka bersifat
sementara.
Di Eropa, agama-agama Laut Tengah dari
Zaman Kuno mempunyai imam-imam wanita perawan. Para pendeta Apollo di Delphi
dan para pendeta kuil Romawi yang berkaul pertarakan sekurang-kurangnya untuk
sementara, tetapi hal ini lebih dimengerti secara fisik dar pada secara moral.
Di antara para filsuf Yunani[6],
ada juga cara hidup yang serupa sengan yang dijalani para rahib. Dalam paruh
pertama abad VI SM, Pythagoras mendirikan semacam komunitas yang
anggota-anggotanya masuk melalui tahap-tahap inisiasi yang berbeda-beda. Namun
secara keseluruhan tiada praktek seksualitas.
Bahkan dalam agama-agama Amerika Latin
tua, ada komunitas-komunitas para perawan yang ditakdiskan. Kuil-kuil di peru di
zaman Inca. Dan banyak peradaban perjalanan hidup spiritual manusia dengan
kisah para pencari kekudusan yang tertinggi. Daerah Palestina, Suriah Timur-Mesopotamia, dan Mesir dikatakan sebagai
palungan tempat lahirnya gerakan tarekat hidup bakti Kristen[7].
B.
Sumber Hidup
Monakisme Kristen
1.
Model Hidup Monakisme Menurut Perjanjian Lama
Ada beberapa kutipan dari Kitab Suci
Perjanjian Lama yang menunjukkan bahwa bangsa Yahudi pada masa itu menunjukan
adanya bentuk-bentuk kehidupan yang amat dekat dengan monakisme.[8]
Kita membaca bahwa anak perempuan Yefta ‘menangisi kegadisannya’ [Hak 11:38].
Pada kisah lain, beberapa jejak, tentang hidup yang ditakdiskan di antara kaum
Lewi yang memiliki ide bahwa Allah sebagi warisannya [Bil 8:14; Ul 18:2], para
nazir (sebutan yang berarti ditakdiskan), untuk seumur hidup atau sementara
waktu yang menjalani aturan hidup yang memiliki banyak batasan-batasan atau
pantangan. Simson adalah seorang nazir, namun petualangannya dengan Delila
menunjukkan bahwa perkawinan tidak termasuk dalam batasan-batasan atau
pantangan di dalamnya. Dalam kitab Perjanjian Lama juga ada ditunjukan
kelompok-kelompok asket di sekeliling Elia yang disebut ‘rombongan Nabi’ atau
‘anak-anak Nabi’ [1Raj20:35; 2Raj 3]. Dan di antara mereka juga ada yang
menikah [2Raj4:1].
Nabi-nabi seperti Amos, Hosea, Yeremia
menghidupi pola hidup eremit para pertapa dengan mengidealkan hidup padang
gurun tempat Allah membuat perjanjian dengan umatnya [Am 2:10; Hos 2:13; Yer
2:2]. Yesaya berseru kepada umat “persiapkanlah jalan lurus di padang gurun
bagi Tuhan” [Yes 40:3]. Dalam mazmur diserukan petunjuk samar tentang kesuburan
wanita yang mandul dan perawan.
Yohanes Pembaptis di ambang Perjanjian
Baru untuk mewartakan Yesus, ia tidak menikah, tinggal di padang gurun, berpuasa,
berdoa, merenungkan hukum Taurat dan terutama membuktikan kerendahan hatinya,
“Dia harus semakin besar, tetapi aku harus semakin kecil” [Yoh 3:30]. Kemudian
Maria yang menjaga keperawanannya dan di dalam dirinya, gererasi selanjutnya
selalu melihatnya sebagai model bagi para perawan yang ditakdiskan yang
sederhana seperti dia, membiarkan Sabda Allah masuk dan menghasilkan buah di
dalam diri mereka.
Dan dalam kemasyarakatan bangsa Yahudi
ada kelompok asket yakni: kaum Esseni yang tinggal di daerah Qumran yang
merupakan kelompok konservatif yang memisahkan diri dari kemerosotan Israel
yang mempertahankan harapan akan ide Mesianis dalam tatanan hidup yang khusus
untuk menjaga kekudusan.
2. Panggilan Injili
Kita dapat meyakini bahwa
tuntutan-tuntutan dalam kisah Kotbah di
bukit [Mat 5-7], contoh keperawanan dalam diri Yesus dan Maria, serta nasihat
Paulus kepada uamat Korintus tentang selibat[1Kor 7] dan kasih yang besar dari
Tuhan yang mati demi para pendosa [2 Kor 5] segera membangkitkan kerinduan di antara
pria dan wanita untuk memberikan kasih demi kasih dan mentakdiskan hidup mereka
kepada Allah dalam keperawanan.
Paulus menceritakan tentang anak-anak
Filipus yang adalah para perawan dan nabiah [Kis 21:9].
3. Masa Awal Gereja
Perjalanan panjang panggilan hidup
kristiani dimulai setelah Kristus dinyatakan naik ke surga dan pengalaman
turunnya Roh Kudus atas para rasul. Gereja berjalan dan mebawa warna baru bagi
dunia Yahudi, Yunani dan Romawi. Muncul pergolakan di tengah-tengah
perkembangan iman umat Kristiani. Dalam masa awal Gereja mengalami penolakan
dan dijadikan ‘Kambing Hitam’ untuk dipersalahkan dan dibenci oleh yang
lainnya.[9]
Gereja mengalami penolakan, pengejaran dan sampai penumpahan darah para
‘Martir’[10]
awal, yang dianggap sebagai penyubur iman awali orang Kristiani. Sampai
akhirnya nama Kristen hadir dan dibenci. Namun, disamping banyaknya ancaman
terhadap penggunaan nama Kristen,[11]
ada saja orang-orang yang bertahan di tempat tinggalnya dan tetap
mempertahankan imannya secara teguh. Seperti halnya Origenes,[12]
yang tetap setia mempertahankan kebenaran imannya akan Kristus[13]. Ada
yang lari ke padang gurun (sering disebut anakorit atau eremit).[14] Selain
itu, ada pula orang-orang yang melarikan diri ke gua-gua demi menyelamatkan
diri dan imannya. Mereka hidup berkelompok-kelompok dan membangun hidup doa di
gua-gua yang aman bagi tempat persembunyian mereka. Orang-orang seperti ini
bukanlah para monastik yang kita kenal sekarang ini, tetapi mereka adalah cikal
bakal terbentuknya ajaran monastik seperti sekarang ini. Ajaran monastik atau
juga biasa disebut ascese[15]
baru mulai terbentuk pada akhir abad ketiga. Pria maupun wanita, yang
mengabdikan diri untuk hidup lebih sempurna dengan menjaga hawa nafsu dalam
diri, mulai mengasingkan diri ke padang gurun dan membentuk kelompok-kelompok.
Mereka mencoba untuk menghidupi keutamaan-keutamaan seperti halnya kesucian,
kemiskinan, berdoa, berpuasa serta bermatiraga[16]
Pada awalnya,
orang pergi ke padang gurun karena berbagai macam alasan yakni: menghindari
pajak yang dibuat oleh kaisar pada masa itu, menghindari dinas militer pada
masa itu bersifat wajib dan amat berat. Sejumlah lain pergi ke sana dengan
maksud baik yakni untuk menghindari keharusan menyembah dewa-dewi kafir dan
melarikan diri untuk menghindari penganiayaan.[17]
4. Awal Terbentuknya Monakisme dalam Gereja
Pada masa Kaisar
Konstantinus Agung (272-337) yang bertobat dari kekafiran Roma dan
menjadi Kaisar Kristen yang pertama, di tahun 313 dia mengeluarkan Edikt
Milan yang menjadikan agama Kristen sebagai agama resmi untuk seluruh
kekaiseran atau menjadi agama negara.
Sejak itu gereja
sangat berkembang, jumlah umat berlipat ganda, tokoh-tokoh Kristen menjadi
pejabat-pejabat negara, para uskup dan imam-imam menjadi orang-orang yang
sangat berpengaruh dan kaya. Kekuasaan Gereja berkolusi dengan kekuasaan negara
dan dengan itu semangat keduniawian merasuki Gereja. Gereja menjadi mapan, kaya
dan berkuasa, tetapi penghayatan iman merosot. Di tengah situasi seperti itu
ada kerinduan pada sejumlah umat kristiani untuk mengikuti semangat hidup Yesus
secara radikal dan konsekuen. Mereka membaktikan diri kepada Tuhan dengan cara
penyangkalan diri dan kontemplasi di padang gurun dan tempat-tempat sunyi
lainnya sebagai petapa atau rahib. Mereka membentuk kelompok-kelompok dan
membentuk suatu komunitas kecil dengan pemimpin masing-masing. Kebanyakan dari
mereka memilih hidup di gua-gua, dan perlahan-lahan mereka mulai membangun
rumah-rumah atau biara untuk menampung anggota baru yang bergabung bersama
mereka. Di masa ini belum ada sejenis
aturan-aturan cara hidup yang ditetapkan secara tetap atau permanen. Suatu
ketetapan dalam hidup mereka digembleng oleh pengaruh pribadi dan perkataan
pemimpin (abbas).[18]
Hidup seperti ini biasanya diberi nama monik atau monastik (hidup dalam
keheningan).
5. Gambaran Model Hidup Bakti Dalam Cara Hidup Pertapa
Awal dan Bentuk Aturan Hidup Sederhana Mereka
a. Antonius
Atanasius
menulis riwayat hidup Antonius[19]
dan darinya kita dapat melihat dua aspek yang ditonjolkan dalam kisah hidup
Antonius dan pergulatannya dengan si Iblis[20]
dalam rupa-rupa mahluk jelek yakni: pertama ada aspek yang agak pesimistis.
Banyak berkisah tentang Iblis. Ia melukiskannya sebagai penguasa padang gurun.
Di zaman itu, ketika Kristianitas tersebar, padang gurun tampaknya menjadi
satu-satunya tempat yang tersisa baginya. Padang gurun menyajikan pertempuran
bagi rahib yang datang untuk hidup di sana. Perjuangan rahib melawan Iblis
ditempatkan dalam kerangka kisah Yesus yang dicobai. Rahib melanjutkan karya
penebusan. Hal ini merupakan salah satu aspek dari padang gurun. Kedua yakni
aspek yang lebih optimistis. Walaupun orang pergi ke padang gurun untuk
berperang melawan Iblis, seperti Antonius, motivasi yang jauh lebih kuat adalah
pergi ke situ untuk menjumpai Allah. Jika orang meninggalkan kota tempat
tinggal manusia, maksudnya adalah untuk mengintegrasikan hidup orang yang
bersangkutan; orang meninggalkan hal-hal yang mengalihkan perhatian dari usaha
untuk menjaga agar “roh mengarah pada satu tujuan.” Motiasinya bersifat
positif; orang meninggalkan kota tempat tinggal manusia untuk menuju ke kota
Allah.
Demikianlah,
kisah Antonius mau mengatakan darinya tidak ada terdapat aturan hidup atau tata
hidup yang menjadi gambaran cara hidup bakti. Namun dari kisah di atas yang
ditulis Athanasius tentang peperangan Antonius dan Iblis, kita dapat menemukan
gambaran motiasi awal orang-orang pada masa itu menjadi rahib atau orang yang
mengkhususkan diri bagi Allah.
b. Aturan Hidup Pachomius (292-346)
Setelah mengenal
Antonius, yang pertama dari para eremit agung, kini kita akan mengenal
Pachomius yang pertama dari para senobit agung. Bentuk pertama dari para
pertapa senobit yang didirikan oleh Pachomius.
Pada tahun 312, Pachomius
dipaksa dengan para pemuda sekampungnya untuk menjalani wajib militer tersebut.
Saat di bawa ke Alexandria ia terkesan dengan pelayanan orang-orang Kristen
yang memberikan makanan dan pendampingan bagi mereka. Terkesan akan cintakasih
orang-orang Kristen tersebut, Pachomius yang masih kafir ini terkesan dan
membekas di hatinya sepanjang hidupnya. Baginya seorang Kristen berbuat baik
kepada setiap orang ini menjadi konsep tentang hidup monastik yang di dalamnya
ide melayani Allah dan para saudara menduduki tempat yang teramat penting.
Pakhomius
memulai cara hidup eremit di Seneset dan pindah ke Tebennesi. Kenyataannya, orang-orang berdatangan,
Pachomius memiliki talenta mengumpulkan mereka di sekelilingnya. Dalam
pengalaman hidup pertapaan senobit yang mulai ia bangun ia berlandas pada
pengalamannya tentang orang Kristen yang melayani. Ini juga yang ia lakukan
bersama para rahib muda dalam kebersamaan. Mulai dari sini, koinonia Pachomius
betul-betul dimulai, dan amat cepat. Empat biara pertama di Tabennisi dan
Phbew. Ia juga membentuk komunitas para rubiah (pertapa wanita).
Struktur seluruh
komunitas ini mengembangkan kehidupan koinonia yang dipimpin seorang abas, yang
diwakili di tiap rumah oleh superior, yang hidup di bawah abas dan juga di
bawah sebuah peraturan. Pachomius sudah membuat aturan yang ia ambil dari Kitab
Suci. Seiring perkembangn, perlulah memberikan
aturan secara detail untuk merincikan peraturan-peraturan. Hal inilah
yang nantinya menjadi peraturan-peraturan Pachomius. Ada empat bagian besar peraturan tersebut, yakni; (a) Aturan-aturan (bagian
terpanjang), (b) Aturan dan Tata Kelembagaan, (c) Atuan dan
keputusan-keputusan, (d) Aturan-aturan dan Hukum-hukum. Jelaslah ada kumpulan
perintah dalam aturan tersebut. Semua berasal dari kebiasaan-kebiasaan yang
menjadi aturan didasarkan pada Kitab Suci.[21]
Pachomius
meninggal pada tahun 346 saat ada wabah pes di daerahnya.
Bersama
Pachomius kita mendapati bahwa lahirnya sebuah komunitas senobit sebenarnya
sudah ada sejak permulaan monakisme.
c. Para Bapa Padang Gurun
Literatur para
Bapa Padang Gurun sangat beragam. Kisah para pertapa dan murid yang bertanya.
Segala wejangan, hidup di samping Bapa dengan suatu cinta yang besar menganggap
Bapa adalah ‘aturan yang hidup’,
sehingga rahib muda yang berada di ‘samping’
Bapa, hidup dalam ketaatan yang penuh cinta kasih, karena segala pertanyaan
tentang “Katakanlah kepadaku bagaimana aku diselamatkan?” menjadi aksi esketis
awal mengejar tujuan hidup para rahib dan segala wejangan yang keluar dari
mulut Bapa adalah kebenaran yang harus dilakukan oleh rahib muda. Inilah kisah
indah dari para Bapa Padang Gurun ‘ Vita
Patrum’.
Perkataan para
Bapa Padang Gurun ini sering disebut,’ Apophthegmata
Patrum’[22].
Sesuai dengan katanya (apo=datang dari, phthegmamai=berbicara), merupakan
perkataan-perkataan dari Bapa Padang Gurun yang sampai pada kita.
Apophthegmata
berasal dari perkataan personal (Bapa/rahib tua yang menjadi pembimbing) yang
disampaikan kepada seseorang (rahib muda). Kemudian di dasari dari perkataan-perkataan pribadi ini dapat
berguna bagi orang lain. Pada kesempatan sebuah pembicaraan, suatu pertemuan,
kurang lebih terjadilah bahwa satu atau lain perkataan-perkataan yang
dialamatkan pada seorang saudara tertentu akan disampaikan kepada
saudara-saudara lain, yang pada gilirannya dipelihara demi keperluan mereka.
Semua
perkataan-perkataan itu disampaikan secara lisan. Tradisi lisan ini kemudian
segera menjadi bentuk tertulis. Ada kumpulan-kumpulan Apophthegmata yang
berbeda-beda. Kemudian jumlahnya bertambah terus sampai pada batas tertentu,
mungkin dalam pertengahan abad kelima, seseorang mengumpulkan semua
tulisan-tulisan yang berbeda-beda itu dalam satu buku.
Apophthegmata
semuanya yang ditulis amat berbeda-beda dan berbicara tentang berbagai tema
bebas dalam lingkup hidup pertapaan dan jalan menuju keselamatan yang dituju.
Tapi semuanya sama dalam hal penyajiannya yakni aturan hidup monastik,
kehidupan kristiani dan terlebih lagi tujuan tertinggi dalam hidup asketis di
pertapaan yakni kesempurnaan. Kita berkesempatan untuk memahami bahwa tidak
semuanya riil; tetapi apa yang mereka katakan kepada kita adalah benar[23].
d. Evagrius Pontikus (345-399)
Evagrius lahir
pada tahun 345 di provinsi Pontus di sebelah utara Turki. Dalam kisah hidupnya
ia menjadi murid dari Gregorius Nazianze dan pergi ke konstantinopel, ia jatuh
cinta kepada istri seoarang pejabat tinggi sampai pada kisah ia jatuh sakit. Ia
memutuskan untuk menjadi rahib. Evagrius tinggal di Nitria dan kemudian masuk
lebih jauh lagi ke dalam padang gurun
dan tinggal di Cells. Ia mendapat tugas untuk menyalin manuskrip-manuskrip
seraya mengarang bukunya sendiri.
Evagrius adalah
seorang terdidik dan seorang psikolog yang cerdas. Evagrius menulis
surat-surat, tafsiran-tafsiran kitab suci dan sebuah risalah yang disebut Antirheticos
yang berisi kutipan-kutipan kitab suci untuk pengusiran iblis. Ada 3 buku yang dikelompokan oleh Evagrius,
yakni; Praktikos, yang juga disebut Monakos[24].
Sebuah buku yang terdiri dari 100 pasal-pasal singkat. Buku ini berisikan
ajaran asketisme. Kemudian Gnostikos, seperti yang pertama, terdiri dari 50
pasal-pasal singkat. Buku ini berisikan nasihat-nasihat yang dilalami oleh para
gnostik (guru rohani). Dan yang
ketiga adalah Kephalaia Gnostika, yang artinya ‘Pasal-pasal Tentang
Pengetahuan’. Buku ini berisikan 600 pasal, tetapi masing-masing berisikan 90
pasal. Satu risalah tentang doa yang ditulis Evagrius yang paling penting dan
amat kaya. Risalah ini berbentuk suatu surat yang terdiri dai 153 pasal. Dari
risalah ini kita jumpai Evagrius sebagai mistikus, dan melalui karyanya inilah
ia menjadi pendiri mistisisme monastik[25].
e. Yohanes Cassianus (365-435)
Cassianus
dilahirkan sekitar tahun 360 di suatu tempat. Dikatakan suatu tempat sebab
sampai saat ini belum ada kepastian tentang tempat kelahirannya.[26]
Ia tinggal selama dua tahun di sebuah biara di Betlehem. Setelah itu ia
melanjutkan perjalanan dan mengikuti pendidikan yang di buat oleh para rahib di
Mesir, serta menghabiskan delapan atau sembilan tahun di pertapaan Tebaide.
Dengan ini ia membangun hubungan dengan para rahib senior, melihat dan mengetahui praktek hidup doa dan
kontemplasi yang begitu keras dalam kesendirian serta keheningan di padang
gurun memberikan dasar yang kuat bagi Cassianus untuk melangkah maju melaksanakan
tugas yakni merancang, mendirikan biara-biara, dan menjadi seorang guru rohani
yang nasehat- nasehatnya dicari orang. Pada tahun 399 Cassianus meninggalkan
Mesir ke Constantinopel untuk mohon bantuan Yohanes Cristostomus, yang kemudian
berperan sebagai guru dan pelindungnnya. Di Constantinopel inilah ia memperoleh
tahbisan diakonat dari tangan Christostomus. Ada kemungkinan sangat besar bahwa
pada tahun 404 ia ditahbiskan menjadi imam oleh paus Innocentius I di
Roma. Ia wafat pada tahun 435.
Dua karya
Casianus yang sangat berperan dalam hidup rohani para rahib yakni Instituta
Coenobia,[27]
yang artinya ‘cara hidup para senobit’, dan Collationes,[28]
yang berarti ‘percakapan-percakapan’, di uraikan secara mengagumkan. Dalam
kedua karangan ini Casianus menuangkan pemikiran dan permenungannya akan
idealism hidup yang diperuntukan kepada Allah yang dibuat dalam
perkataan-perkataan dalam pertemuan bersama para pengikutnya.[29]
Demikianlah Casianus memberi inspirasi kepada banyak orang yang mencoba
menanggapi panggilannya.[30]
f. Aturan Hidup Basilius (328-378)
Basilius Agung saudara kandung Gregorius Nyssa dan
Petrus Macrina. Ia lahir di Neocaesarea (Ponto) antara tahun 329-330. Dia
menempuh hidup membiara di Sebaste, dalam perjalanan sepanjang Rusia,
Palestina, Mesir, dan Mesopotamia, dia mengunjungi para rahib, ingin mengetahui
aturan hidup membiara.[31] Namun hidup
yang ia jalani di pertapaan tidak begitu lama karna ia dipanggil oleh uskup
Eusebeus. Dan pada tahun 370 ia di pilih menjadi uskup menggantikan Eusebeus.
Panggilan hidup yang baru ini dia jalani dengan setia sampai di wafat. Gelar
agung yang di berikan kepadanya itu di sebabkan karena ketekunan hidup yang dia
jalani. Cita-cita hidup yang dijalani oleh Basilius ini yakni hidup dalam
persaudaraan tanpa membedakan di antara yang satu dengan yang lain sehingga
yang sudah menikah pun ikut bergabung, namun tidak diperkenan untuk berhubungan
lagi layaknya suami isteri bahkan imam
pun tidak ada yang di istimewahkan semuanya sama sebagai saudara. Sehingga
panggilan dalam hidup bersama ini mengandaikan
kepribadian yang kuat dan pendidikan yang teguh.
Tiga aturan
hidup yang ditulis oleh Basilius semasa hidupnya diantaranya Regula Morales yang di dalamnya ia
menganalisa prilaku seorang Kristen; Minor
Asceticon untuk komunitas-komunitas kecil Kristen yang bersemangat; Major Asceticon untuk digunakan oleh
komunitas-komunitas yang telah berkembang dan nyatanya menjadi
komunitas-komunitas manastik.
g. Aturan Hidup Agustinus (354-430)
Agustinus dilahirkan di Tagesta.[32]
Pada tahun 395 Augustinus ditahbiskan menjadi uskup dan sejumlah tema kerjanya
yang berasal dari biara kebun belakang
secara bertahap menyibukkan diri dalam kegiatan imamat.
Berbicara tentang biara imami, uskup
Hippo mengatakan bahwa kekayaan bersama dari mereka yang hidup dalam komunitas
Allah siapa yang ingin hidup bersama
saya, ia memiliki Allah sebagai kekayaan[33].
Jadi Kesatuan dalam hidup bersama itu
diungkapkannya sebagai: in unum,
unanisme, animauna, cor unum. Di dalam kesatuaan inilah Klerus (imam) yang
hidup di dalam biara menanggung 2 (dua) tugas utama: kekudusan yang diungkapkan
dalam hidup bersama dan tugas pelayanan. Dan juga pada kerja tangan dan
kontempelasi. Augustinus mengharuskan
kewajiban bekerja tangan dan menunjukan kekerasan misalnya badan sakit, tugas
tugas kegerejaan dan eruditio doktrinae
salutaris. Dari peraturan ini tampak manakah aktivitas lain, disamping
kerja tangan dan kontempelasi, yang Augustinus tekankan dan kehendaki, yakni
agar para rahib belajar demi hidup imamat.
Lama dipertanyakan manakah Peraturan St.
Agustinus? Sebenarnya ada tiga teks, yakni; Ordo
Monasterii, Praeceptum, dan Surat 211. Praeceptum kini dianggap
sebagai Peraturan St. Agustinus.
ATURAN HIDUP BENEDICTUS NURSIA
(Ditulis dan Menjadi Inspirasi Banyak Atruran Hidup
Bakti di Masa-masa Selanjutnya)
A. Riwayat Hidup Benediktus Nursia
Benediktus
adalah seorang pendiri ordo kentemplatif yang terkenal di Eropa. Dia lahir
sekitar tahun 480 di Nursia, daerah Umbria.[34]
Setelah
lama tinggal di Umbria, Benediktus memutuskan pergi ke kota Roma untuk studi namun,
dia melihat begitu banyak perilaku-perilaku duniawi sehingga membuatnya pergi
ke tempat yang lebih sunyi untuk mencari cara hidup sebagai seorang pertapa. Ia
tiba di suatu tempat sekitar empat puluh mil jauhnya dari Roma di Subiaco, dan
disitu ia mulai hidup alam sebuah gua.
Dalam
kesunyian, Benediktus hidup di dalam gua hingga pada suatu ketika
Bendiktus menyadari bahwa memuji Tuhan
adalah kebahagiaan dan panggilan hidupnya. Walaupun begitu banyak godaan dalam
tapanya, dia tetap mampu menghadapi dan melawan godaan-godaan itu. Pada suatu
peristiwa, Benediktus diminta untuk menjadi seorang pemimpin biara karena
pimpinan salah satu biara meninggal dunia. Benediktus menerima tawaran itu dan
bersedia menjadi pimpinan biara itu.[35]
Akan tetapi ketika Benediktus mulai menuntut dengan tegas supaya aturan-aturan
hidup ditaati dengan sungguh-sungguh dan mulai mengajak mereka baik dengan
perkataan maupun dengan perbuatan untuk bertobat, mereka mencari cara untuk
membunuh Benediktus. Cara yang mereka lakukan untuk membunuh Benediktus adalah
mencampur anggur yang akan diminum Benediktus dengan racun. Namun menurut
ceritanya, Benediktus terhindar dari rencana pembunuhan itu karena campur
tangan Tuhan di dalamnya. Piala tempat anggur yang hendak diminum Benediktus
pecah ketika Bendiktus membuat tanda salib pada piala itu. Peristiwa ini
membuat Benediktus kembali pada kebiasaanya yakni bertapa ke tempat yang sunyi
walaupun tidak selamanya. Benediktus merasa gagal dalam usaha untuk memasukkan
cara hidup dan hikmat pengalamannya ke dalam biara yang dipimpinnya. Sejak
peristiwa itu, Benediktus mulai mendirikan biara-biara.[36]
Adapun jumlah biara yang didirikannya adalah dua belas biara di mana tiap-tiap
biara dipimpin oleh seorang abas.
B. Benediktus Mulai Menuliskan Aturan Hidup yang Baku
Membutuhkan
suatu pedoman hidup dimana pusat pedoman hidup itu adalah Doa Pujian dan
Syukur.
Atas
dasar itu, Benediktus menuliskan sebuah pedoman hidup yang bersumber dari kitab
suci, tradisi kuno para rahib dan pengalaman rohaninya.
Benediktus menyusun pedoman hidupnya dalam 73 bab. Tetapi di
antara 73 bab itu, tidak ada pedoman hidup tentang Ekaristi. Sebaliknya,
Benediktus memberikan banyak perhatian kepada doa-doa yang sesuai dengan
dokumen-dokumen gereja yang baru yang merupakan unsur-unsur hakiki dari
Ekaristi yakni pujian, syukur, kenangan akan peristiwa keselamatan, doa
kemuliaan dan antisipasi kemuliaan surgawi.[37]
Pada bab 1-7, aturan hidup ini berisikan prinsip-prinsip
umum hidup monastikat senobit. Pada bab 8-20 berisikan tentang doa dan ibadat.
Sedangkan pada bab 21-30 berisikan tentang struktural kehidupan dalam pertapaan
dan hokum-hukum. Pada bab 31-57 berisikan hidup harian para rahib dan
pertapaan. Pada bab 58-61 berisikan tentang formasio hidup kerahiban dan
pertapaan. Pada bab 62-72 berisikan
tentang ketentuan hirarki di pertapaan dan tugas-tugas para rahib. Pada
bab 73 berisiskan peneguhan tentang rahman menjalani aturan hidup ini.[38]
C. Latar Belakang Penulisan Aturan Hidup
Dari pengalaman hidup tapa dan
tradisi-tradisi serta dari aturan-aturan hidup yang pernah ada dalam gereja
(para rahib awal) memiliki pengaruh dalam aturan hidup yang dibuat oleh
Benediktus.[39]
Tulisan tulisan dan cerita-cerita hidup para rahib awal memberi bayangan indah
atas pilihan hidup yang membaktikan diri pada Allah ini. Biara Monte Cassino
biara awal yang ia bangun membutuhkan peraturan-peraturan yang lebih teratur.
Dalam kebersamaan dan dapat dikatakan pembentukan awal kelembagaan sangat
dibutuhkan aturan hidup itu. Inilah menjadi latar belakang hadirnya aturan
hidup (Regula Santo Benediktus) yang menjadi benang pengukur aturan hidup
banyak pola hidup bakti selanjutnya.
D. Spiritualitas Aturan Hidup yang Ditulis Benediktus
Menurut
Benediktus, Pokok utama dalam sejarah spiritualitas Kristen adalah susunan
anggaran dasar hidup membiara. Penyusunan anggaran dasar disesuaikan dengan
lingkungan yang asketis. Anggaran dasar yang disusun Benediktus ditujukan
kepada para rahib dan secara khusus para senobit. Komunitas para rahib yang
hendak dibangun Benediktus bukanlah
imami melainkan kesempurnaan hidup dalam bidang rohani. Dan oleh karena
itu, komunitas tidak memperhatikan gerak ke luar dalam bidang pastoral,
ekonomi, atau budaya.[40]
Dari aturan
hidup yang dituliskan Benediktus, dia menemukan bahwa pokok utama dalam
anggaran dasarnya adalah menjadi seorang rahib yang sungguh merendahkan diri
demi pengabdian kepada Allah. Segala aktivitas yang dilakukan
seperti berdoa, kerja, makan hingga istirahat adalah supaya Allah dimuliakan.
Dalam penyusunan anggaran dasarnya, Benediktus sungguh memanfaatkan jasa Regula Magistri[41].
Melalui anggaran dasar ini Benediktus hendak memperbaiki dan melengkapi
tatanan hidup berkenaan dengan masalah disiplin dan kelembagaan.[42]
Dari anggaran
dasar yang telah disusun Benediktus, ada tiga profesi yang mesti dilakukan oleh
para rahib yakni stabilitas[43], conversatio morum yang diartikan sebagai
perubahan hidup untuk meninggalkan segala kebiasaan duniawi demi mengikuti
segala kebiasaan baik dari pengikut Injil. Sikap mengubah kebiasaan-kebiasaan
duniawi ini mengacu pada perubahan mendalam yang harus dilaksanakan sepanjang
kehidupannya di pertapaan.[44]
Kemudian, profesi ketiga yang diinginkan Benediktus adalah ketaatan. Hanya
dengan ketaatan seorang rahib dibentuk menjadi seseorang yang rendah hati.
Bahkan ditegaskan dalam semua doktrin benediktin bahwa kemajuan hidup rohani
didasarkan pada ajaran yang berisikan tingkatan-tingkatan kerendahan hati.
Kerendahan hati, yang berarti keterbukaan pada rahmat Allah, disponibilitas
(kesiapsediaan) sempurna pada kehendak ilahi, diungkapkan dalam setiap hal
menjadi “bunda” dari kesempurnaan itu sendiri dan “ibu” yang mengembangkan
kasih sejati.[45]
Pertapaan bagi
Benediktus merupakan sekolah dimana seorang abbas adalah guru dan para rahib
sebagai murid yang datang untuk mendengarkan abbas dan taat kepadanya. Dalam
konteks ini, ketaatan kepada pimpinan diartikan sebagai pemenuhan hukum Allah dan mengikuti Kristus.
Jadi, dapat dikatakan bahwa pola hidup membiara Benediktin lebih bersifat
horizontal dan komuniter dimana menjadi seorang rahib berarti berkumpul
disekeliling bapa rohani yang memberikan bimbingan kepada para rahib menuju
jalan kesempurnaan. Relasi antara bapa dan murid merupakan hal yang konstitutif
(tidak bisa tidak) bagi kehidupan eremit.[46]
Berkenaan dengan
hidup berkomunitas, Benediktus melihat dan memperhatikan bagaimana Cassianus
menunjukkan gagasannya dimana para rahib adalah ahli waris dan penerus asli
komunitas Kristen yang pertama. Namun kenyataannya, Pakhomeus, Basilius dan
Agustinus mengambil inspirasi cita-cita kerohanian dari gereja perdana.
Komunitas benediktin adalah komunitas yang dipimpin oleh awam dan menampakkan
suatu komunitas para beriman. Di dalam komunitas itu injil diperdengarkan dan
dihayati serta dijawab dengan madah pujian. Hingga pada akhirnya Benediktus
menemukan suatu nilai dalam komunitas untuk mencari dan menemukan Allah.
PENUTUP
Kesimpulan
Suatu rentetan peristiwa akan menuntun
kita kepada pemahaman yang lebih tampak
mengisahkan lahirnya dan apa yang terjadi dalam perjalanan kisah yang
diceritakan tersebut. Demikianlah juga dengan pemaparan yang penulis coba
sampaikan tentang rentetan peristiwa kisah tentang bagaimana munculnya cara
hidup bakti yang sudah dimulai dari sebelum adanya gereja, kemudian pada masa
gereja awali, dilanjut oleh para pengaku iman yang mencoba sendiri-sendiri
sampai kepada kelompok dan membentuk aturan kebersamaan yang menggagasi
hadirnya aturan Hidup Bakti yang dituliskan oleh Benediktus sebagai Regula
Benediktus (yang seyogianya diperuntukkan atas hidup monastikat), namun di
dalamnya tersarika aturan hidup yang lengkap untuk bagaimana cara menjalani
cara Hidup Bakti yang ditujukan untuk nilai-nilai kebersamaan, penghidupan,
norma aturan, dan terpenting nilai-nilai kerohanian yang menuntun setiap
pemakainya untuk sampai kepada tujuan yang sejati atas cara hidup itu sendiri.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
1.
Embuiru, H. Gereja Sepanjang Masa. Flores: Nusa Indah.
2.
Heuken,
A. Spiritualitas Kristiani. Jakarta:
Yayasan Cipta Loka Karya, 2002.
3.
4.
J, Hermans. Orang-Orang Kudus Sekeliling Altar. Flores: Nusa Indah, 1991.
5.
Kristiyanto,Eddy. Sahabat-sahabat Tuhan. Yogyakarta: Kanisius,
2005.
6.
Kristiyanto, Eddy. Gagasan yang Menjadi Peristiwa.Yogyakarta:
Kanisius, 2006.
7.
Luke, Eberle. The Rule of The Master. Michigan: Cistercian Publication Inc, 1977.
8.
L, Helwig, W. Sejarah Gereja Kristus. Yogyakarta: Kanisius, 1974.
9.
Ramsey, Boniface (ed.). John Cassian The Conferences. New York:
Paulist Press, 1997.
10.
Thornton,
John F (ed.). Desert Fathers. New
York:Vintage Spiritual Classics, 1998
[2] Eddy
Kristiyanto, Sahabat…, hlm. 21; bdk.
A. Heuken, Spiritualitas Kristiani, (
Jakarta: Yayasan Cipta Loka Karya, 2002), hlm.48-49.
[6] Eddy
Kristiyanto, Sahabat…, hlm. 34-36;
bdk. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 44
[7] Eddy
Kristiyanto, Sahabat…, hlm. 18-19;
bdk. Hieronimus, Vita Pauli, V; Dionigius Alexandria dalam Eusebius, op.
cit., 6. [42]; P. de Labriolle, La Vie de Paul de Thebes et la Vie d’Hilarion,
dll, bdk. W.L.
Helwig, Sejarah Gereja Kristus, (Yogyakarta:
Yayasan Kanisius, 1974), hlm.52.
[12] H. Berkhof, Sejarah Gereja, ( Jaakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), hlm. 41; bdk. TH.
Van Den End, Harta Dalam Bejana,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), hlm. 44
[21] Armand Veilleux (ed.), Pachomian Koinonia, (Michigan: Cistercian
Publications Inc, 1981), hlm. 144-167.
[26] Eddy Kristiyanto, Sahabat..., hlm. 91-92; bdk. Boniface Ramsey
(ed.), John Cassian The Conferences, (New York: Paulist Press,
1997), hlm. 5; bdk. A. Heuken, Spiritualitas, hlm.72-73.
[27] Boniface Ramsey (ed.), John Cassian The Conferences, (New York: Paulist
Press, 1997), hlm. 663-665.
[32] G. Van Schie, Rangkuman Sejarah
Gereja Kristiani Dalam Konteks Sejarah Agama-Agama Lain, (Jakarta: Obor, 1994), hlm. 58; bdk. H. berkhof, Sejarah Gereja,
( Jaakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), hlm. 62-63; bdk. TH. Van Den End, Harta Dalam Bejana, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1990), hlm. 84-85; bdk. H. Embuiru, Gereja Sepanjang Masa, ( Flores: Nusa Indah, ),
hlm. 47; bdk. A. Heuken, Spiritualitas,
hlm. 68-72.
[34] W.L. Helwig, Sejarah Gereja Kristus, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1974),
hlm.52; bdk. J. Hermans, Orang-Orang Kudus di Sekeliling Altar, hlm. 161; bdk. H. Embuiru,
Gereja Sepanjang Masa, ( Flores: Nusa Indah, ), hlm. 60; bdk. A. Heuken, Spiritualitas, hlm.74-75.
[43] Identik dengan ketekunan
atau ketabahan yang melibatkan seluruh diri secara total. Stabilitas juga
mempertegas aspek sosiologis sebab selain sebagai aspek umum pertapaan,
stabilitas juga menjadi ketetapan bagi masyarakat agar berhenti berkeliaran dan
menyudahi aksi militer sehingga masyarakat bisa menetap di tempat yang pasti.
Jadi, stabilitas bisa dikatakan sebagai semangat damai Benediktin yang sangat
releven bagi masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar