Sabtu, 17 November 2018

PERTAPAAN: ARAH ATURAN HIDUP BAKTI SEJAK MASA GEREJA PERDANAN SAMPAI KEPADA BENEDICTUS NURSIA YANG MEMBAKUKAN ATURAN HIDUP SECARA TERTULIS



ARAH ATURAN HIDUP BAKTI SEJAK MASA GEREJA
PERDANA SAMPAI KEPADA BENEDICTUS NURSIA
YANG MEMBAKUKAN ATURAN HIDUP SECARA
TERTULIS

PENGANTAR

Tulisan ini ingin  mencoba mempelajari bagaimana arah langkah model hidup bakti yang dimulai dari masa Gereja awal sampai kepada Benedictus Nursia[1]. Rentetan cerita hidup dari pelaku model awal hidup bakti yang dimulai dengan para rahib (pertapa) padang gurun sebagai eremit (yang hidup sendiri-sendiri).[2] Demikianlah cara hidup mereka menjadi langkah awal terbentuknya cara hidup umat beriman yang mencoba lebih menghidupi dan mengkhususkan diri dalam menjalani iman tersebut lewat arahan nilai-nilai luhur injili serta permenungan akan pengharapan hidup Ilahi di surga yang mereka hidupi di dunia ini (koinonia). Yang mana dalam cara hidup ini mereka coba jalani dengan cara hidup yang sedemikian baik, benar, murni dan kudus di hadapan Allah[3]. Seolah-olah mereka telah mengalami pengalaman hidup Ilahi di surga, namun mereka masih hidup di dunia ini. Aturan dan pola hidup yang mereka jalankan pada awalnya bersifat pribadi. Namun seturut perkembangan, akhirnya dalam kebersamaan mencoba menjalankan tujuan yang sama. Aturan yang awalnya bersifat pribadi menjadi aturan hidup bersama. Dibentuklah pola hidup bersama. Berlanjut kepada stuktur hidup kebersamaan yang dipimpin oleh seorang Bapa yang menjadi pemimpin (lebih tepat sebagai pembimbing) hidup spiritual kebersamaan mereka. Wejangan dan arahan-arahan yang disampaikan secara verbal dalam kebersamaan coba dijalani dan diwariskan secara turun-temurun, yang coba dituliskan secara bebas. Dan pada akhirnya, kita melihat pola hidup monastik para rahib yang di pimpin oleh Benedictus yang mencoba membuat aturan-aturan hidup monastic itu menjadi aturan hidup yang tertulis secara baik, rapi dan padat. Di dalamnya termaktub segala bentuk aturan hidup monastik yang ada. Inilah menjadi pegangan dan gambaran aturan hidup  dalam menjalani pola ‘Hidup Bakti Kristiani’ untuk selanjutnya.

PERKEMBANGAN AWAL MODEL HIDUP BAKTI

A.    Fenomena Monastik di Luar Kristianitas

Apakah monakeisme merupakan suatu fenomena yang khas Kristen? Terhadap pernyataan ini kita mesti menjawab “Tidak”.  Para rahib sudah ada sebelum Kristianitas. 1500 tahun sebelum Yesus datang, sudah ada rahib di India. Kebanyakan agama-agama non-Kristen mengenal suatu bentuk hidup monastik.
Monakisme tertua, yang dipraktekkan dalam Hinduisme,[4] tidak mengungkapkan diri secara tunggal. Ada banyak anakoret, para eremit yang hidup di hutan, para asket yang berkelana kesana-kemari mengemis untuk makanan mereka[5]. Para eremit kadang kala mempunyai istei yang tinggal bersama di dalam pondok mereka, namum mereka hidup dalam pertarakan. Sedangkan para asket memutuskan semua hubungan dengan masyarakat dan hidup mengemis. Namum ada juga beberapa biara, yang rahib-rahibnya mengenakan jubah khusus, mempraktekkan kemiskinan dan sikap ketidakterikatan dan mengemis untuk makanan mereka. Mereka berada di bawah bimbingan seorang guru dan berkaul untuk tidak membunuh suatu yang hidup, hidup jujur, mendisiplinkan diri dan murah hati.
Dalam Buddhisme, cara hidup monakisme menunjukan suatu tingkatan ketinggian. Buddha memahami keselamatan sebagai suatu pembebasan diri dari penderitaan dan hawa nafsu yang dapat dikejar dengan cara meditasi dan hidup dalam ulatapa yang ketat dengan aturan dan norma hidup yang ketat pula, ini hanya para rahib yang dapat melakukannya dalam pilihan model hidup monakstik. Maka ada rahib-rahib yang mencari ‘Yang Mutlak’ ini lewat meditasi, dan yang bukan rahib memperoleh berkat dengan mendukung kehidupan para rahib. Tidak ada kaul, dan seringkali monakisme mereka bersifat sementara.
Di Eropa, agama-agama Laut Tengah dari Zaman Kuno mempunyai imam-imam wanita perawan. Para pendeta Apollo di Delphi dan para pendeta kuil Romawi yang berkaul pertarakan sekurang-kurangnya untuk sementara, tetapi hal ini lebih dimengerti secara fisik dar pada secara moral. Di antara para filsuf Yunani[6], ada juga cara hidup yang serupa sengan yang dijalani para rahib. Dalam paruh pertama abad VI SM, Pythagoras mendirikan semacam komunitas yang anggota-anggotanya masuk melalui tahap-tahap inisiasi yang berbeda-beda. Namun secara keseluruhan tiada praktek seksualitas.
Bahkan dalam agama-agama Amerika Latin tua, ada komunitas-komunitas para perawan yang ditakdiskan. Kuil-kuil di peru di zaman Inca. Dan banyak peradaban perjalanan hidup spiritual manusia dengan kisah para pencari kekudusan yang tertinggi. Daerah Palestina, Suriah Timur-Mesopotamia, dan Mesir dikatakan sebagai palungan tempat lahirnya gerakan tarekat hidup bakti Kristen[7].


B.     Sumber Hidup Monakisme Kristen

1.        Model Hidup Monakisme Menurut Perjanjian Lama

Ada beberapa kutipan dari Kitab Suci Perjanjian Lama yang menunjukkan bahwa bangsa Yahudi pada masa itu menunjukan adanya bentuk-bentuk kehidupan yang amat dekat dengan monakisme.[8] Kita membaca bahwa anak perempuan Yefta ‘menangisi kegadisannya’ [Hak 11:38]. Pada kisah lain, beberapa jejak, tentang hidup yang ditakdiskan di antara kaum Lewi yang memiliki ide bahwa Allah sebagi warisannya [Bil 8:14; Ul 18:2], para nazir (sebutan yang berarti ditakdiskan), untuk seumur hidup atau sementara waktu yang menjalani aturan hidup yang memiliki banyak batasan-batasan atau pantangan. Simson adalah seorang nazir, namun petualangannya dengan Delila menunjukkan bahwa perkawinan tidak termasuk dalam batasan-batasan atau pantangan di dalamnya. Dalam kitab Perjanjian Lama juga ada ditunjukan kelompok-kelompok asket di sekeliling Elia yang disebut ‘rombongan Nabi’ atau ‘anak-anak Nabi’ [1Raj20:35; 2Raj 3]. Dan di antara mereka juga ada yang menikah [2Raj4:1].
Nabi-nabi seperti Amos, Hosea, Yeremia menghidupi pola hidup eremit para pertapa dengan mengidealkan hidup padang gurun tempat Allah membuat perjanjian dengan umatnya [Am 2:10; Hos 2:13; Yer 2:2]. Yesaya berseru kepada umat “persiapkanlah jalan lurus di padang gurun bagi Tuhan” [Yes 40:3]. Dalam mazmur diserukan petunjuk samar tentang kesuburan wanita yang mandul dan perawan.
Yohanes Pembaptis di ambang Perjanjian Baru untuk mewartakan Yesus, ia tidak menikah, tinggal di padang gurun, berpuasa, berdoa, merenungkan hukum Taurat dan terutama membuktikan kerendahan hatinya, “Dia harus semakin besar, tetapi aku harus semakin kecil” [Yoh 3:30]. Kemudian Maria yang menjaga keperawanannya dan di dalam dirinya, gererasi selanjutnya selalu melihatnya sebagai model bagi para perawan yang ditakdiskan yang sederhana seperti dia, membiarkan Sabda Allah masuk dan menghasilkan buah di dalam diri mereka.
Dan dalam kemasyarakatan bangsa Yahudi ada kelompok asket yakni: kaum Esseni yang tinggal di daerah Qumran yang merupakan kelompok konservatif yang memisahkan diri dari kemerosotan Israel yang mempertahankan harapan akan ide Mesianis dalam tatanan hidup yang khusus untuk menjaga kekudusan.

2.      Panggilan Injili

Kita dapat meyakini bahwa tuntutan-tuntutan  dalam kisah Kotbah di bukit [Mat 5-7], contoh keperawanan dalam diri Yesus dan Maria, serta nasihat Paulus kepada uamat Korintus tentang selibat[1Kor 7] dan kasih yang besar dari Tuhan yang mati demi para pendosa [2 Kor 5] segera membangkitkan kerinduan di antara pria dan wanita untuk memberikan kasih demi kasih dan mentakdiskan hidup mereka kepada Allah dalam keperawanan.
Paulus menceritakan tentang anak-anak Filipus yang adalah para perawan dan nabiah [Kis 21:9].

3.      Masa Awal Gereja

Perjalanan panjang panggilan hidup kristiani dimulai setelah Kristus dinyatakan naik ke surga dan pengalaman turunnya Roh Kudus atas para rasul. Gereja berjalan dan mebawa warna baru bagi dunia Yahudi, Yunani dan Romawi. Muncul pergolakan di tengah-tengah perkembangan iman umat Kristiani. Dalam masa awal Gereja mengalami penolakan dan dijadikan ‘Kambing Hitam’ untuk dipersalahkan dan dibenci oleh yang lainnya.[9] Gereja mengalami penolakan, pengejaran dan sampai penumpahan darah para ‘Martir’[10] awal, yang dianggap sebagai penyubur iman awali orang Kristiani. Sampai akhirnya nama Kristen hadir dan dibenci. Namun, disamping banyaknya ancaman terhadap  penggunaan nama Kristen,[11] ada saja orang-orang yang bertahan di tempat tinggalnya dan tetap mempertahankan imannya secara teguh. Seperti halnya Origenes,[12] yang tetap setia mempertahankan kebenaran imannya akan Kristus[13]. Ada yang lari ke padang gurun (sering disebut anakorit atau eremit).[14] Selain itu, ada pula orang-orang yang melarikan diri ke gua-gua demi menyelamatkan diri dan imannya. Mereka hidup berkelompok-kelompok dan membangun hidup doa di gua-gua yang aman bagi tempat persembunyian mereka. Orang-orang seperti ini bukanlah para monastik yang kita kenal sekarang ini, tetapi mereka adalah cikal bakal terbentuknya ajaran monastik seperti sekarang ini. Ajaran monastik atau juga biasa disebut ascese[15] baru mulai terbentuk pada akhir abad ketiga. Pria maupun wanita, yang mengabdikan diri untuk hidup lebih sempurna dengan menjaga hawa nafsu dalam diri, mulai mengasingkan diri ke padang gurun dan membentuk kelompok-kelompok. Mereka mencoba untuk menghidupi keutamaan-keutamaan seperti halnya kesucian, kemiskinan, berdoa, berpuasa serta bermatiraga[16]
Pada awalnya, orang pergi ke padang gurun karena berbagai macam alasan yakni: menghindari pajak yang dibuat oleh kaisar pada masa itu, menghindari dinas militer pada masa itu bersifat wajib dan amat berat. Sejumlah lain pergi ke sana dengan maksud baik yakni untuk menghindari keharusan menyembah dewa-dewi kafir dan melarikan diri untuk menghindari penganiayaan.[17]

4.      Awal Terbentuknya Monakisme dalam Gereja

Pada masa Kaisar Konstantinus Agung  (272-337) yang bertobat dari kekafiran Roma dan menjadi Kaisar Kristen yang pertama, di tahun 313 dia mengeluarkan Edikt Milan yang menjadikan agama Kristen sebagai agama resmi untuk seluruh kekaiseran atau menjadi agama negara.
Sejak itu gereja sangat berkembang, jumlah umat berlipat ganda, tokoh-tokoh Kristen menjadi pejabat-pejabat negara, para uskup dan imam-imam menjadi orang-orang yang sangat berpengaruh dan kaya. Kekuasaan Gereja berkolusi dengan kekuasaan negara dan dengan itu semangat keduniawian merasuki Gereja. Gereja menjadi mapan, kaya dan berkuasa, tetapi penghayatan iman merosot. Di tengah situasi seperti itu ada kerinduan pada sejumlah umat kristiani untuk mengikuti semangat hidup Yesus secara radikal dan konsekuen. Mereka membaktikan diri kepada Tuhan dengan cara penyangkalan diri dan kontemplasi di padang gurun dan tempat-tempat sunyi lainnya sebagai petapa atau rahib. Mereka membentuk kelompok-kelompok dan membentuk suatu komunitas kecil dengan pemimpin masing-masing. Kebanyakan dari mereka memilih hidup di gua-gua, dan perlahan-lahan mereka mulai membangun rumah-rumah atau biara untuk menampung anggota baru yang bergabung bersama mereka. Di masa ini belum ada sejenis aturan-aturan cara hidup yang ditetapkan secara tetap atau permanen. Suatu ketetapan dalam hidup mereka digembleng oleh pengaruh pribadi dan perkataan pemimpin (abbas).[18] Hidup seperti ini biasanya diberi nama monik atau monastik (hidup dalam keheningan).

5.      Gambaran Model Hidup Bakti Dalam Cara Hidup Pertapa Awal dan Bentuk Aturan Hidup Sederhana Mereka

a.      Antonius

Atanasius menulis riwayat hidup Antonius[19] dan darinya kita dapat melihat dua aspek yang ditonjolkan dalam kisah hidup Antonius dan pergulatannya dengan si Iblis[20] dalam rupa-rupa mahluk jelek yakni: pertama ada aspek yang agak pesimistis. Banyak berkisah tentang Iblis. Ia melukiskannya sebagai penguasa padang gurun. Di zaman itu, ketika Kristianitas tersebar, padang gurun tampaknya menjadi satu-satunya tempat yang tersisa baginya. Padang gurun menyajikan pertempuran bagi rahib yang datang untuk hidup di sana. Perjuangan rahib melawan Iblis ditempatkan dalam kerangka kisah Yesus yang dicobai. Rahib melanjutkan karya penebusan. Hal ini merupakan salah satu aspek dari padang gurun. Kedua yakni aspek yang lebih optimistis. Walaupun orang pergi ke padang gurun untuk berperang melawan Iblis, seperti Antonius, motivasi yang jauh lebih kuat adalah pergi ke situ untuk menjumpai Allah. Jika orang meninggalkan kota tempat tinggal manusia, maksudnya adalah untuk mengintegrasikan hidup orang yang bersangkutan; orang meninggalkan hal-hal yang mengalihkan perhatian dari usaha untuk menjaga agar “roh mengarah pada satu tujuan.” Motiasinya bersifat positif; orang meninggalkan kota tempat tinggal manusia untuk menuju ke kota Allah.
Demikianlah, kisah Antonius mau mengatakan darinya tidak ada terdapat aturan hidup atau tata hidup yang menjadi gambaran cara hidup bakti. Namun dari kisah di atas yang ditulis Athanasius tentang peperangan Antonius dan Iblis, kita dapat menemukan gambaran motiasi awal orang-orang pada masa itu menjadi rahib atau orang yang mengkhususkan diri bagi Allah.


b.      Aturan Hidup Pachomius (292-346)

Setelah mengenal Antonius, yang pertama dari para eremit agung, kini kita akan mengenal Pachomius yang pertama dari para senobit agung. Bentuk pertama dari para pertapa senobit yang didirikan oleh Pachomius.
Pada tahun 312, Pachomius dipaksa dengan para pemuda sekampungnya untuk menjalani wajib militer tersebut. Saat di bawa ke Alexandria ia terkesan dengan pelayanan orang-orang Kristen yang memberikan makanan dan pendampingan bagi mereka. Terkesan akan cintakasih orang-orang Kristen tersebut, Pachomius yang masih kafir ini terkesan dan membekas di hatinya sepanjang hidupnya. Baginya seorang Kristen berbuat baik kepada setiap orang ini menjadi konsep tentang hidup monastik yang di dalamnya ide melayani Allah dan para saudara menduduki tempat yang teramat penting.
Pakhomius memulai cara hidup eremit di Seneset dan pindah ke Tebennesi.  Kenyataannya, orang-orang berdatangan, Pachomius memiliki talenta mengumpulkan mereka di sekelilingnya. Dalam pengalaman hidup pertapaan senobit yang mulai ia bangun ia berlandas pada pengalamannya tentang orang Kristen yang melayani. Ini juga yang ia lakukan bersama para rahib muda dalam kebersamaan. Mulai dari sini, koinonia Pachomius betul-betul dimulai, dan amat cepat. Empat biara pertama di Tabennisi dan Phbew. Ia juga membentuk komunitas para rubiah (pertapa wanita).
Struktur seluruh komunitas ini mengembangkan kehidupan koinonia yang dipimpin seorang abas, yang diwakili di tiap rumah oleh superior, yang hidup di bawah abas dan juga di bawah sebuah peraturan. Pachomius sudah membuat aturan yang ia ambil dari Kitab Suci. Seiring perkembangn, perlulah memberikan  aturan secara detail untuk merincikan peraturan-peraturan. Hal inilah yang nantinya menjadi peraturan-peraturan Pachomius. Ada empat bagian besar  peraturan tersebut, yakni; (a) Aturan-aturan (bagian terpanjang), (b) Aturan dan Tata Kelembagaan, (c) Atuan dan keputusan-keputusan, (d) Aturan-aturan dan Hukum-hukum. Jelaslah ada kumpulan perintah dalam aturan tersebut. Semua berasal dari kebiasaan-kebiasaan yang menjadi aturan didasarkan pada Kitab Suci.[21]
Pachomius meninggal pada tahun 346 saat ada wabah pes di daerahnya.
Bersama Pachomius kita mendapati bahwa lahirnya sebuah komunitas senobit sebenarnya sudah ada sejak permulaan monakisme.

c.       Para Bapa Padang Gurun

Literatur para Bapa Padang Gurun sangat beragam. Kisah para pertapa dan murid yang bertanya. Segala wejangan, hidup di samping Bapa dengan suatu cinta yang besar menganggap Bapa adalah ‘aturan yang hidup’, sehingga rahib muda yang berada di ‘samping’ Bapa, hidup dalam ketaatan yang penuh cinta kasih, karena segala pertanyaan tentang “Katakanlah kepadaku bagaimana aku diselamatkan?” menjadi aksi esketis awal mengejar tujuan hidup para rahib dan segala wejangan yang keluar dari mulut Bapa adalah kebenaran yang harus dilakukan oleh rahib muda. Inilah kisah indah dari para Bapa Padang Gurun ‘ Vita Patrum’.
Perkataan para Bapa Padang Gurun ini sering disebut,’ Apophthegmata Patrum[22]. Sesuai dengan katanya (apo=datang dari, phthegmamai=berbicara), merupakan perkataan-perkataan dari Bapa Padang Gurun yang sampai pada kita.
Apophthegmata berasal dari perkataan personal (Bapa/rahib tua yang menjadi pembimbing) yang disampaikan kepada seseorang (rahib muda). Kemudian di dasari dari perkataan-perkataan pribadi ini dapat berguna bagi orang lain. Pada kesempatan sebuah pembicaraan, suatu pertemuan, kurang lebih terjadilah bahwa satu atau lain perkataan-perkataan yang dialamatkan pada seorang saudara tertentu akan disampaikan kepada saudara-saudara lain, yang pada gilirannya dipelihara demi keperluan mereka.
Semua perkataan-perkataan itu disampaikan secara lisan. Tradisi lisan ini kemudian segera menjadi bentuk tertulis. Ada kumpulan-kumpulan Apophthegmata yang berbeda-beda. Kemudian jumlahnya bertambah terus sampai pada batas tertentu, mungkin dalam pertengahan abad kelima, seseorang mengumpulkan semua tulisan-tulisan yang berbeda-beda itu dalam satu buku.
Apophthegmata semuanya yang ditulis amat berbeda-beda dan berbicara tentang berbagai tema bebas dalam lingkup hidup pertapaan dan jalan menuju keselamatan yang dituju. Tapi semuanya sama dalam hal penyajiannya yakni aturan hidup monastik, kehidupan kristiani dan terlebih lagi tujuan tertinggi dalam hidup asketis di pertapaan yakni kesempurnaan. Kita berkesempatan untuk memahami bahwa tidak semuanya riil; tetapi apa yang mereka katakan kepada kita adalah benar[23].

d.      Evagrius Pontikus (345-399)

Evagrius lahir pada tahun 345 di provinsi Pontus di sebelah utara Turki. Dalam kisah hidupnya ia menjadi murid dari Gregorius Nazianze dan pergi ke konstantinopel, ia jatuh cinta kepada istri seoarang pejabat tinggi sampai pada kisah ia jatuh sakit. Ia memutuskan untuk menjadi rahib. Evagrius tinggal di Nitria dan kemudian masuk lebih jauh lagi ke dalam padang  gurun dan tinggal di Cells. Ia mendapat tugas untuk menyalin manuskrip-manuskrip seraya mengarang bukunya sendiri.
Evagrius adalah seorang terdidik dan seorang psikolog yang cerdas. Evagrius menulis surat-surat, tafsiran-tafsiran kitab suci dan sebuah risalah yang disebut Antirheticos yang berisi kutipan-kutipan kitab suci untuk pengusiran  iblis. Ada 3 buku yang dikelompokan oleh Evagrius, yakni; Praktikos, yang juga disebut Monakos[24]. Sebuah buku yang terdiri dari 100 pasal-pasal singkat. Buku ini berisikan ajaran asketisme. Kemudian Gnostikos, seperti yang pertama, terdiri dari 50 pasal-pasal singkat. Buku ini berisikan nasihat-nasihat yang dilalami oleh para gnostik (guru rohani). Dan yang ketiga adalah Kephalaia Gnostika, yang artinya ‘Pasal-pasal Tentang Pengetahuan’. Buku ini berisikan 600 pasal, tetapi masing-masing berisikan 90 pasal. Satu risalah tentang doa yang ditulis Evagrius yang paling penting dan amat kaya. Risalah ini berbentuk suatu surat yang terdiri dai 153 pasal. Dari risalah ini kita jumpai Evagrius sebagai mistikus, dan melalui karyanya inilah ia menjadi pendiri mistisisme monastik[25].

e.       Yohanes Cassianus (365-435)

Cassianus dilahirkan sekitar tahun 360 di suatu tempat. Dikatakan suatu tempat sebab sampai saat ini belum ada kepastian tentang tempat kelahirannya.[26] Ia tinggal selama dua tahun di sebuah biara di Betlehem. Setelah itu ia melanjutkan perjalanan dan mengikuti pendidikan yang di buat oleh para rahib di Mesir, serta menghabiskan delapan atau sembilan tahun di pertapaan Tebaide. Dengan ini ia membangun hubungan dengan para rahib senior,  melihat dan mengetahui praktek hidup doa dan kontemplasi yang begitu keras dalam kesendirian serta keheningan di padang gurun memberikan dasar yang kuat bagi Cassianus untuk melangkah maju melaksanakan tugas yakni merancang, mendirikan biara-biara, dan menjadi seorang guru rohani yang nasehat- nasehatnya dicari orang. Pada tahun 399 Cassianus meninggalkan Mesir ke Constantinopel untuk mohon bantuan Yohanes Cristostomus, yang kemudian berperan sebagai guru dan pelindungnnya. Di Constantinopel inilah ia memperoleh tahbisan diakonat dari tangan Christostomus. Ada kemungkinan sangat besar bahwa pada tahun 404 ia ditahbiskan menjadi imam oleh paus Innocentius I di Roma.  Ia wafat pada tahun 435.
Dua karya Casianus yang sangat berperan dalam hidup rohani para rahib yakni  Instituta Coenobia,[27] yang artinya ‘cara hidup para senobit’, dan Collationes,[28] yang berarti ‘percakapan-percakapan’, di uraikan secara mengagumkan. Dalam kedua karangan ini Casianus menuangkan pemikiran dan permenungannya akan idealism hidup yang diperuntukan kepada Allah yang dibuat dalam perkataan-perkataan dalam pertemuan bersama para pengikutnya.[29] Demikianlah Casianus memberi inspirasi kepada banyak orang yang mencoba menanggapi panggilannya.[30]


f.       Aturan Hidup Basilius (328-378)

Basilius Agung saudara kandung Gregorius Nyssa dan Petrus Macrina. Ia lahir di Neocaesarea (Ponto) antara tahun 329-330. Dia menempuh hidup membiara di Sebaste, dalam perjalanan sepanjang Rusia, Palestina, Mesir, dan Mesopotamia, dia mengunjungi para rahib, ingin mengetahui aturan hidup membiara.[31] Namun hidup yang ia jalani di pertapaan tidak begitu lama karna ia dipanggil oleh uskup Eusebeus. Dan pada tahun 370 ia di pilih menjadi uskup menggantikan Eusebeus. Panggilan hidup yang baru ini dia jalani dengan setia sampai di wafat. Gelar agung yang di berikan kepadanya itu di sebabkan karena ketekunan hidup yang dia jalani. Cita-cita hidup yang dijalani oleh Basilius ini yakni hidup dalam persaudaraan tanpa membedakan di antara yang satu dengan yang lain sehingga yang sudah menikah pun ikut bergabung, namun tidak diperkenan untuk berhubungan lagi layaknya suami isteri bahkan  imam pun tidak ada yang di istimewahkan semuanya sama sebagai saudara. Sehingga panggilan  dalam hidup bersama ini mengandaikan kepribadian yang kuat dan pendidikan yang teguh.
Tiga aturan hidup yang ditulis oleh Basilius semasa hidupnya diantaranya Regula Morales yang di dalamnya ia menganalisa prilaku seorang Kristen; Minor Asceticon untuk komunitas-komunitas kecil Kristen yang bersemangat; Major Asceticon untuk digunakan oleh komunitas-komunitas yang telah berkembang dan nyatanya menjadi komunitas-komunitas manastik.

g.      Aturan Hidup Agustinus (354-430)

Agustinus dilahirkan di Tagesta.[32] Pada tahun 395 Augustinus ditahbiskan menjadi uskup dan sejumlah tema kerjanya yang berasal dari biara kebun belakang secara bertahap menyibukkan diri dalam kegiatan imamat.
Berbicara tentang biara imami, uskup Hippo mengatakan bahwa kekayaan bersama dari mereka yang hidup dalam komunitas Allah siapa yang ingin hidup bersama saya, ia memiliki Allah sebagai kekayaan[33]. Jadi  Kesatuan dalam hidup bersama itu diungkapkannya sebagai: in unum, unanisme, animauna, cor unum. Di dalam kesatuaan inilah Klerus (imam) yang hidup di dalam biara menanggung 2 (dua) tugas utama: kekudusan yang diungkapkan dalam hidup bersama dan tugas pelayanan. Dan juga pada kerja tangan dan kontempelasi.  Augustinus mengharuskan kewajiban bekerja tangan dan menunjukan kekerasan misalnya badan sakit, tugas tugas kegerejaan dan eruditio doktrinae salutaris. Dari peraturan ini tampak manakah aktivitas lain, disamping kerja tangan dan kontempelasi, yang Augustinus tekankan dan kehendaki, yakni agar para rahib belajar demi hidup imamat.
Lama dipertanyakan manakah Peraturan St. Agustinus? Sebenarnya ada tiga teks, yakni; Ordo Monasterii, Praeceptum, dan Surat 211. Praeceptum kini dianggap sebagai Peraturan St. Agustinus.

 ATURAN HIDUP BENEDICTUS  NURSIA
(Ditulis dan Menjadi Inspirasi Banyak Atruran Hidup Bakti di Masa-masa Selanjutnya)

A.    Riwayat Hidup Benediktus Nursia

Benediktus adalah seorang pendiri ordo kentemplatif yang terkenal di Eropa. Dia lahir sekitar tahun 480 di Nursia, daerah Umbria.[34]
Setelah lama tinggal di Umbria, Benediktus memutuskan pergi ke kota Roma untuk studi namun, dia melihat begitu banyak perilaku-perilaku duniawi sehingga membuatnya pergi ke tempat yang lebih sunyi untuk mencari cara hidup sebagai seorang pertapa. Ia tiba di suatu tempat sekitar empat puluh mil jauhnya dari Roma di Subiaco, dan disitu ia mulai hidup  alam sebuah gua.
Dalam kesunyian, Benediktus hidup di dalam gua hingga pada suatu ketika Bendiktus  menyadari bahwa memuji Tuhan adalah kebahagiaan dan panggilan hidupnya. Walaupun begitu banyak godaan dalam tapanya, dia tetap mampu menghadapi dan melawan godaan-godaan itu. Pada suatu peristiwa, Benediktus diminta untuk menjadi seorang pemimpin biara karena pimpinan salah satu biara meninggal dunia. Benediktus menerima tawaran itu dan bersedia menjadi pimpinan biara itu.[35] Akan tetapi ketika Benediktus mulai menuntut dengan tegas supaya aturan-aturan hidup ditaati dengan sungguh-sungguh dan mulai mengajak mereka baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan untuk bertobat, mereka mencari cara untuk membunuh Benediktus. Cara yang mereka lakukan untuk membunuh Benediktus adalah mencampur anggur yang akan diminum Benediktus dengan racun. Namun menurut ceritanya, Benediktus terhindar dari rencana pembunuhan itu karena campur tangan Tuhan di dalamnya. Piala tempat anggur yang hendak diminum Benediktus pecah ketika Bendiktus membuat tanda salib pada piala itu. Peristiwa ini membuat Benediktus kembali pada kebiasaanya yakni bertapa ke tempat yang sunyi walaupun tidak selamanya. Benediktus merasa gagal dalam usaha untuk memasukkan cara hidup dan hikmat pengalamannya ke dalam biara yang dipimpinnya. Sejak peristiwa itu, Benediktus mulai mendirikan biara-biara.[36] Adapun jumlah biara yang didirikannya adalah dua belas biara di mana tiap-tiap biara dipimpin oleh seorang abas.

B.     Benediktus Mulai Menuliskan Aturan Hidup yang Baku

Membutuhkan suatu pedoman hidup dimana pusat pedoman hidup itu adalah Doa Pujian dan Syukur.
Atas dasar itu, Benediktus menuliskan sebuah pedoman hidup yang bersumber dari kitab suci, tradisi kuno para rahib dan pengalaman rohaninya.

Benediktus menyusun pedoman hidupnya dalam 73 bab. Tetapi di antara 73 bab itu, tidak ada pedoman hidup tentang Ekaristi. Sebaliknya, Benediktus memberikan banyak perhatian kepada doa-doa yang sesuai dengan dokumen-dokumen gereja yang baru yang merupakan unsur-unsur hakiki dari Ekaristi yakni pujian, syukur, kenangan akan peristiwa keselamatan, doa kemuliaan dan antisipasi kemuliaan surgawi.[37]

Pada bab 1-7, aturan hidup ini berisikan prinsip-prinsip umum hidup monastikat senobit. Pada bab 8-20 berisikan tentang doa dan ibadat. Sedangkan pada bab 21-30 berisikan tentang struktural kehidupan dalam pertapaan dan hokum-hukum. Pada bab 31-57 berisikan hidup harian para rahib dan pertapaan. Pada bab 58-61 berisikan tentang formasio hidup kerahiban dan pertapaan. Pada bab 62-72 berisikan  tentang ketentuan hirarki di pertapaan dan tugas-tugas para rahib. Pada bab 73 berisiskan peneguhan tentang rahman menjalani aturan hidup ini.[38]

C.    Latar Belakang Penulisan Aturan Hidup

Dari pengalaman hidup tapa dan tradisi-tradisi serta dari aturan-aturan hidup yang pernah ada dalam gereja (para rahib awal) memiliki pengaruh dalam aturan hidup yang dibuat oleh Benediktus.[39] Tulisan tulisan dan cerita-cerita hidup para rahib awal memberi bayangan indah atas pilihan hidup yang membaktikan diri pada Allah ini. Biara Monte Cassino biara awal yang ia bangun membutuhkan peraturan-peraturan yang lebih teratur. Dalam kebersamaan dan dapat dikatakan pembentukan awal kelembagaan sangat dibutuhkan aturan hidup itu. Inilah menjadi latar belakang hadirnya aturan hidup (Regula Santo Benediktus) yang menjadi benang pengukur aturan hidup banyak pola hidup bakti selanjutnya.

D.    Spiritualitas Aturan Hidup yang Ditulis Benediktus

Menurut Benediktus, Pokok utama dalam sejarah spiritualitas Kristen adalah susunan anggaran dasar hidup membiara. Penyusunan anggaran dasar disesuaikan dengan lingkungan yang asketis. Anggaran dasar yang disusun Benediktus ditujukan kepada para rahib dan secara khusus para senobit. Komunitas para rahib yang hendak dibangun Benediktus bukanlah  imami melainkan kesempurnaan hidup dalam bidang rohani. Dan oleh karena itu, komunitas tidak memperhatikan gerak ke luar dalam bidang pastoral, ekonomi, atau budaya.[40]
Dari aturan hidup yang dituliskan Benediktus, dia menemukan bahwa pokok utama dalam anggaran dasarnya adalah menjadi seorang rahib yang sungguh merendahkan diri demi pengabdian  kepada  Allah. Segala aktivitas yang dilakukan seperti berdoa, kerja, makan hingga istirahat adalah supaya Allah dimuliakan. Dalam penyusunan anggaran dasarnya, Benediktus sungguh memanfaatkan jasa Regula Magistri[41]. Melalui anggaran dasar ini Benediktus hendak memperbaiki dan melengkapi tatanan hidup berkenaan dengan masalah disiplin dan kelembagaan.[42] 
Dari anggaran dasar yang telah disusun Benediktus, ada tiga profesi yang mesti dilakukan oleh para rahib yakni stabilitas[43], conversatio morum yang diartikan sebagai perubahan hidup untuk meninggalkan segala kebiasaan duniawi demi mengikuti segala kebiasaan baik dari pengikut Injil. Sikap mengubah kebiasaan-kebiasaan duniawi ini mengacu pada perubahan mendalam yang harus dilaksanakan sepanjang kehidupannya di pertapaan.[44] Kemudian, profesi ketiga yang diinginkan Benediktus adalah ketaatan. Hanya dengan ketaatan seorang rahib dibentuk menjadi seseorang yang rendah hati. Bahkan ditegaskan dalam semua doktrin benediktin bahwa kemajuan hidup rohani didasarkan pada ajaran yang berisikan tingkatan-tingkatan kerendahan hati. Kerendahan hati, yang berarti keterbukaan pada rahmat Allah, disponibilitas (kesiapsediaan) sempurna pada kehendak ilahi, diungkapkan dalam setiap hal menjadi “bunda” dari kesempurnaan itu sendiri dan “ibu” yang mengembangkan kasih sejati.[45] 
Pertapaan bagi Benediktus merupakan sekolah dimana seorang abbas adalah guru dan para rahib sebagai murid yang datang untuk mendengarkan abbas dan taat kepadanya. Dalam konteks ini, ketaatan kepada pimpinan diartikan sebagai  pemenuhan hukum Allah dan mengikuti Kristus. Jadi, dapat dikatakan bahwa pola hidup membiara Benediktin lebih bersifat horizontal dan komuniter dimana menjadi seorang rahib berarti berkumpul disekeliling bapa rohani yang memberikan bimbingan kepada para rahib menuju jalan kesempurnaan. Relasi antara bapa dan murid merupakan hal yang konstitutif (tidak bisa tidak) bagi kehidupan eremit.[46]
Berkenaan dengan hidup berkomunitas, Benediktus melihat dan memperhatikan bagaimana Cassianus menunjukkan gagasannya dimana para rahib adalah ahli waris dan penerus asli komunitas Kristen yang pertama. Namun kenyataannya, Pakhomeus, Basilius dan Agustinus mengambil inspirasi cita-cita kerohanian dari gereja perdana. Komunitas benediktin adalah komunitas yang dipimpin oleh awam dan menampakkan suatu komunitas para beriman. Di dalam komunitas itu injil diperdengarkan dan dihayati serta dijawab dengan madah pujian. Hingga pada akhirnya Benediktus menemukan suatu nilai dalam komunitas untuk mencari dan menemukan Allah.




PENUTUP

Kesimpulan

Suatu rentetan peristiwa akan menuntun kita kepada pemahaman  yang lebih tampak mengisahkan lahirnya dan apa yang terjadi dalam perjalanan kisah yang diceritakan tersebut. Demikianlah juga dengan pemaparan yang penulis coba sampaikan tentang rentetan peristiwa kisah tentang bagaimana munculnya cara hidup bakti yang sudah dimulai dari sebelum adanya gereja, kemudian pada masa gereja awali, dilanjut oleh para pengaku iman yang mencoba sendiri-sendiri sampai kepada kelompok dan membentuk aturan kebersamaan yang menggagasi hadirnya aturan Hidup Bakti yang dituliskan oleh Benediktus sebagai Regula Benediktus (yang seyogianya diperuntukkan atas hidup monastikat), namun di dalamnya tersarika aturan hidup yang lengkap untuk bagaimana cara menjalani cara Hidup Bakti yang ditujukan untuk nilai-nilai kebersamaan, penghidupan, norma aturan, dan terpenting nilai-nilai kerohanian yang menuntun setiap pemakainya untuk sampai kepada tujuan yang sejati atas cara hidup itu sendiri.













DAFTAR KEPUSTAKAAN

1.      Embuiru, H. Gereja Sepanjang Masa. Flores: Nusa Indah.
2.      Heuken, A. Spiritualitas Kristiani. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Karya, 2002.
3.       
4.      J, Hermans. Orang-Orang Kudus Sekeliling Altar. Flores: Nusa Indah, 1991.
5.      Kristiyanto,Eddy. Sahabat-sahabat Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
6.      Kristiyanto, Eddy. Gagasan yang Menjadi Peristiwa.Yogyakarta: Kanisius, 2006.
7.      Luke, Eberle. The Rule of The Master. Michigan: Cistercian Publication Inc, 1977.
8.      L, Helwig, W. Sejarah Gereja Kristus. Yogyakarta: Kanisius, 1974.
9.      Ramsey, Boniface (ed.). John Cassian The Conferences. New York: Paulist Press, 1997.
10.  Thornton, John F (ed.). Desert Fathers. New York:Vintage Spiritual Classics, 1998


[1]  Eddy Kristiyanto, Sahabat-sahabat Tuhan, (Yogyakarta:Kanisius, 2001), hlm.125.
[2]  Eddy Kristiyanto, Sahabat…, hlm. 21; bdk. A. Heuken, Spiritualitas Kristiani, ( Jakarta: Yayasan Cipta Loka Karya, 2002), hlm.48-49.
[3]  Eddy Kristiyanto, Sahabat…, hlm. 17.
[4]  Eddy Kristiyanto, Sahabat…, hlm. 30-34.
[5]  Eddy Kristiyanto, Sahabat…, hlm. 18.
[6]  Eddy Kristiyanto, Sahabat…, hlm. 34-36; bdk. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 44
[7]  Eddy Kristiyanto, Sahabat…, hlm. 18-19; bdk. Hieronimus, Vita Pauli, V; Dionigius Alexandria dalam Eusebius, op. cit., 6. [42]; P. de Labriolle, La Vie de Paul de Thebes et la Vie d’Hilarion, dll, bdk.  W.L. Helwig, Sejarah Gereja Kristus, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1974), hlm.52.
 [8]  Eddy Kristiyanto, Sahabat…, hlm.36-40.
[9]  Eddy Kristianto, Gagasan yang Menjadi Peristiwa, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 49-52.
[10]  Eddy Kristianto, Gagasan…, hlm. 48-49
[11]  Eddy Kristianto, Gagasan…, hlm. 43-45.
[12]  H. Berkhof, Sejarah Gereja, ( Jaakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), hlm. 41; bdk. TH. Van Den End, Harta Dalam Bejana, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), hlm. 44
[13]  H.Embuiru, Geredja ... , hlm 26-27
[14]  A. Heuken, Spiritualitas Kristiani, ( Jakarta: Yayasan Cipta Loka Karya, 2002), hlm. 48.
[15]  A. Heuken, Spiritualitas…, hlm. 42.
[16]  H.Embuiru, Geredja ... , hlm 33-34; bdk. A. Heuken, Spiritualitas, hlm.48-49.
[17]  A. Heuken, Spiritualitas…, hlm. 48; bdk. Eddy Kristianto, Gagasan yang…, hlm.
[18]  A. Heuken, Spiritualitas…, hlm. 48-50.
[19]  John F Thornton (ed.), Desert Fathers, (New York:Vintage Spiritual Classics, 1998), hlm. 7.
[20]  John F Thornton (ed.), Desert…, hlm. 15.
[21]   Armand  Veilleux (ed.), Pachomian Koinonia, (Michigan: Cistercian Publications Inc, 1981), hlm. 144-167.
[22]  Armand  Veilleux (ed.), Pachomian, hlm. 137-138.
[23]  Eddy  Kristiyanto, Sahabat..., hlm.  72-76.
[24]  Eddy Kristiyanto, Sahabat…, hlm. 15.
[25]  Eddy Kristiyanto, Sahabat..., hlm. 88-90.
[26]  Eddy Kristiyanto, Sahabat..., hlm. 91-92; bdk. Boniface Ramsey (ed.), John Cassian The Conferences, (New York: Paulist Press, 1997), hlm. 5; bdk. A. Heuken, Spiritualitas, hlm.72-73.
[27]  Boniface Ramsey (ed.), John Cassian The Conferences, (New York: Paulist Press, 1997), hlm. 663-665.
[28]  Boniface Ramsey (ed.), John Cassian, hlm. 44-64.
[29]  Boniface Ramsey (ed.), John Cassian, hlm. 14.
[30]  Eddy Kristiyanto, Sahabat..., hlm. 95-96
[31]  Eddy Kristiyanto, Sahabat, hlm 79-81.
[32]  G. Van Schie, Rangkuman Sejarah Gereja Kristiani Dalam Konteks Sejarah Agama-Agama Lain, (Jakarta: Obor, 1994), hlm. 58; bdk. H. berkhof, Sejarah Gereja, ( Jaakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), hlm. 62-63; bdk. TH. Van Den End, Harta Dalam Bejana, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), hlm. 84-85; bdk. H. Embuiru, Gereja Sepanjang Masa, ( Flores: Nusa Indah, ), hlm. 47; bdk.  A. Heuken, Spiritualitas, hlm. 68-72.
[33]  Eddy Kristiyanto, Sahabat..., hlm. 107; bdk. Sermones 355, 6, hlm.56.
[34]  W.L. Helwig, Sejarah Gereja Kristus, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1974), hlm.52; bdk. J. Hermans, Orang-Orang Kudus di Sekeliling Altar, hlm. 161; bdk. H. Embuiru, Gereja Sepanjang Masa, ( Flores: Nusa Indah, ), hlm. 60; bdk. A. Heuken, Spiritualitas, hlm.74-75.

[35]  W.L. Helwig, Sejarah...,hlm.54.
[36]  W.L. Helwig, Sejarah...,hlm.54.
[37]  Eddy Kristiyanto, Sahabat..., hlm.130-131.
[38]  Eddy Kristiyanto, Sahabat..., hlm. 131-133; bdk. A. Heuken, Spiritualitas, hlm. 74.
[39]  Eddy Kristiyanto, Sahabat..., hlm. 129-130.
[40]  Eddy Kristiyanto, Sahabat, hlm. 133.
[41]  Suatu karya penulis anonim, yang ditulis puluhan tahun sebelum anggaran dasar Benediktin.
[42]  Eddy Kristiyanto, Sahabat, hlm. 135.
[43]  Identik dengan ketekunan atau ketabahan yang melibatkan seluruh diri secara total. Stabilitas juga mempertegas aspek sosiologis sebab selain sebagai aspek umum pertapaan, stabilitas juga menjadi ketetapan bagi masyarakat agar berhenti berkeliaran dan menyudahi aksi militer sehingga masyarakat bisa menetap di tempat yang pasti. Jadi, stabilitas bisa dikatakan sebagai semangat damai Benediktin yang sangat releven bagi masyarakat. 
[44]  Eddy Kristiyanto, Sahabat, hlm. 135.

[45]  Eddy Kristiyanto, Sahabat, hlm. 136.
[46]  Eddy Kristiyanto, Sahabat, hlm. 136-137.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar