Ontologi
Dalam Cabang-Cabang Ilmu Filsafat
1.
Filsafat
Manusia/Antropologi
Siapakah
Manusia?
Pertanyaan ini
adalah sebuah pertanyaan yang menuntun kita pada pemahaman yang sangat mendalam
menembus sisi kemanusiawian manusia itu sendiri untuk sampai kepada
keber-ada-an yang khas dari manusia itu sendiri dan dari keber-ada-an yang khas
tersebut kita masuk kepada sisi peng-ada-an dan ada-nya manusia.
Manusia adalah
mahluk yang bertanya. Manusia melakukan sesuatu dari sebuah pertanyaan dan
pilihan pada tindakan. Dari bertanya akan segala hal inilah manusia memiliki
perbedaan dari mahluk hewani sebangsanya yakni primata. Pertanyaan yang hadir
dalam pikiran manusia dan terealisasi dalam sebuah tindakan yang menuntut
pertimbangan dan aktifitas sepenuhanya dari jasmaniah, jiwa dan roh manusia itu
sendiri untuk sampai kepada keputusan. Pertanyaan juga yang menghantar manusia
pada tingkatan yang lebih tinggi yakni memahami lebih mendalam. Karena dari
pertanyaan itulah manusia mencapai tindakan yang lebih dalam yakni memahami dan
menguasai kehidupan dan kemanusiawian dirinya di alam semesta ini.
Manusia adalah
mahluk bereksistensi. Manusia dengan dirinya, sesamanya dan lingkungannya
memiliki kemampuan pembentukan keberlangsungan hidupnya. Eksistensi manusia
dengan dirinya dipertanyakan dan memberi jawaban akan siapa dirinya yang adalah
subjek dan objek dari dirinya. Eksistensi manusia dengan manusia lain/sesamanya
adalah jawaban akan kesosialan manusia dalam keberlangsungan kehidupan yang
saling melengkapi dan membangun. Eksistensi manusia dengan
lingkungannya/semesta yang di dalamnya ada hewan sebagai mahluk hayati yang dari
padanya manusia menjawab perbedaan hidup dan berpikir. Sedangkan dari tumbuhan
ia menberdayakan tumbuhan untuk keberlangsungan hidupnya. Darinya manusia punya
sandang pangan dan papan. Semuanya itu demi eksistensi manusia itu sendiri
dalam hidupnya.
Manusia adalah
mahluk yang eksentrik dan paradoksal. Jawaban manusia atas pertanyaan akan
dirinya dan sekitarnya akan ditemukan manusia bukan dari dalam dirinya
melainkan dari luar dirinya sendiri. Manusia menemukan dirinya dari manusia
lain. Manusia akan menjadi manusia seutuhnya ketika ia berada dalam lingkungan
manusia lainnya. Dalam kehidupan kesehariannya manusia semakin menemukan banyak
pemahaman dan penghidupan akan kemanusiaannya atas dirinya, sesamanya dan
lingkungannya serta sampai kepada Allah-nya. Namun dalam menjalani kehidupan
ini, manusia tak akan lepas dari keparadoksalannya. Manusia itu terikat dan
bebas, jasmaniah dan rohaniah, duniawi dan ilahi, terbatas dan tidak terbatas,
dan lain sebagainya. Keparadoksalan kehidupan manusia inilah membedakan manusia
itu dari mahluk lainnya. Dan dari keparadoksalan ini pulalah manusia sampai
kepada satu tangga pemahaman akan kehidupan keilahian manusia menuju pada
pengalaman keilahian kemanusiawiannya yakni Allah sebagai peng-ada dan Ada
utama dari manusia itu sendiri.
Manusia adalah
mahluk yang dinamis dan multidimensional. Manusia tidak tinggal hanya pada
kemanusiaan dan kehidupan pribadinya semata. Manusia tidak hanya berpikir dan
bertindak hanya untuk kehidupan kesendiriannya. Namun manusia berkembang dan
bengerak. Manusia yang dinamis membangun dan mengembangkan kehidupannya dan
kemanusiaannya. Kedinamisan manusia memampukan manusia untuk bersama-sama
dengan manusia lain dan lingkungannya hidup bensama berkembang dan menguasai
dunia ini untuk hidup dan berkembang. Manusia dalam keberadaan yang khasnya ada
dalam bermacam-macam keberadaan lain/dimendi kehidupan. Kemultidimensionalan
yang ada pada manusia ini sangat mempengaruhi manusia untuk masuk kepada
pemahaman yang mendalam akan keberadaan dirinya yang seutuhnya bahwa ada pada
kehidupan yang khas dan bukan hanya berpusat pada dunia pribadi/kemanusiaannya
semata namun kompleksitas dimensi kehidupan ada di hadapannya dan manusia tahu
cara berada dan memfungsionalkan keberadaan yang di luar dirinya untuk sampai
kepada “manusia seutuhnya”.
Filsafat manusia
bukan hanya mendalami manusia lebih dari sekedar apa yang bisa ditangkap indra
akan ke-objek-an manusia tersebut. Namun dalam hal melihat dan merefleksikan
metafissika/ontologi dari manusia itu, kita harus menempatkan manusia dalam
keobjekannya sebagai pengamatan dan sebagai subjek yang bertindak dalam
keeksistensiannnya dan cara ber-ada yang khas tersebut. Bukan hanya itu saja,
namun sangat menarik untuk lebih mendalaminya ketika kita dihadapkan pada
pertanyaan-pertanyaan yang menghantar kita ke titik terdalam yang utama akan
ke-ada-an dan ke-mungkinada-an manusia itu yang menghadapkan kita pada
metafisika/ontolog manusia itu sendiri.
“Siapakah
manusia?”, “dari manakah dan kemanakah tujuan manusia?”, “apakah manusia bebas
dan terikat?”, “ manusia itu roh atau materi atau keduanya?” dan banyak lagi
pertanyaan yang akan membawa pemikiran kita kepada alam liar tentang pemahaman
akan manusia dalam ke-berada-an dan ke-mungkinanada-annya sebagai manusia seadanya
“MANUSIA”. Dalam hal ini manusia tidak mempertanyakan hanya tentang
lingkungannya, tetapi juga dirinya dan keberadaannya yang sangat khas yang
berbeda dari mahluk hidup lainnya. Keberadaaan yang khas antara dirinya dengan
alam ia tinggal, keberadaan yang khas dirinya dengan tumbuhan dan hewan yang
ada di sekitarnya, keberadaan yang khas dirinya dengan sesamanya manusia yang
walaupun sama-sama manusia namun memiliki perbedaan dalam menanggapi,
merefleksikan dan bertindak akan pilihan hidupnya, dan yang terakhir ialah
keberadaan yang khas diri kemanusiaannya untuk sampai kepada dirinya sendiri
sebagai manusia seutuhnya dan selalu mencari dan mengarahkannya kepada peng-Ada
awal yakni Allah.
2.
Filsafat
Pengetahuan/Epistemologi
Apa dan dari
manakah pengertahuan itu?
Pengetahuan
adalah sumber kebiaksanaan yang menjembatani manusia dengan “Ada”. Manusia
dikatakan hidup dan berada ketika ia berpikir. Manusia yang memiliki pemikiran
yang liar dan tak terarah kepada maksudnya mencoba diungkapkan dalam pemahaman
yang sederhana. Hal inilah yang dilakukan para pemikir. Para pemikir awal/Sofis mencoba mengungkapkan
pertanyaan-pertanyaan yang mempertanyakan suatu pertanyaan sederhanya akan apa peng-ada
awal dari kehidupan ini. Pertanyaan-pertanyaan awal ini menjadi bibit-bibit
pemikiran dan pengendapan akan keber-ada-an banyak hal di dunia ini. Pemikiran
yang menimbulkan pertanyaan dicoba dipikirkan dan diuji untuk sampai kepada
kesimpulan yang dibahasakan secara sederhana yakni “pengetahuan”.
Pengetahuan-pengetahuan inilah bahasa/simbol paling sederhana dari “Ada” itu
sendiri.
Manusia dalam
keberadaannya telah menghidupi pengetahuan yang telah ada dari kehidupan
sebelum keberadaannya ditambah dengan pengetahuan-pengetahuan yang ia terima
menjadi pengetahuan terlekat dalam dirinya. Pengetahuan-pengetahuan tersebut
terlengkapi kembali ketika manusia menjejaki dan menguasai hidupnya. Dari
dirinya dan sekitarnya ia melihat segalanya dan mempertanyakan segalanya.
Pertanyaan-pertanyaan ini memperdalam dan mematangkan pengetahuan dirinya yang
telah ada untuk sampai kepada pengetahuan yang lebih mendalam. Manusia mencoba
berekspresi dan menguji. Manusia bertindak mencari tahu dan sampai kepada
refleksi terdalam untuk masuk kepada pemahaman terdalam. Bukan hanya dari apa
yang ia lihat dan uji, bukan pula dari apa yang ia ketahui dan pelajari, namun dari
pengendapan dan refleksi akan pertanyaan-pertanyaan inilah manusia mencoba
menjawab segala abstraksi pemikiran-pemikiran mentah tersebut sampai kepada
pemikiran-pemikiran yang lebih matang. Pemikiran-pemikiran yang lebih matang
inilah yang ia kontemplasikan dan dihidupi dalam aksinya. Inilah
pemikiran-pemikiran yang telah matang betul dan terasa manis, yakni
pemikiran-pemikiran yang tidak sebatas tinggal pada pemikiran empirik dan
definisi semata menjadi buah pengetahuan kebenaran yang dapat dipegang dan
dipercaya. Pengetahuan-pengetahuan inilah menjadi peemikiran yang dipahami
dalam lingkup pemahaman “ADA” yang sepenuhnya dan dihidupi dalam hidupnya.
Karena pengetahuan yang sebatas pengetahuan mentah semata adalah pengetahuan
awal. Namun ketika manusia sampai kepada refleksi dan pengendapan dalam
hidupnya serta menghidupinya maka pengetahuan itu bukan tinggal pada suatu
objek pemikiran semata namun pengetahuan itu aktif dan hidup/berdistansi dalam
suatu kemanusiaan yang menyatu untuk dihidupi sebagai “Pengetahuan yang Benar”.
Pengetahuan inilah yang menjadi pengetahuan kebijaksanaan yang telah dihidupi
dan akan hidup sampai kapanpun. Karena pengetahuan sebatas pengetahuan dan
pemikiran adalah mati. Namun pemikiran yang dihidupi dan menghidupi kehidupan
itulah pengetahuan kebenaran sejati.
3.
Filsafat
Alam/Kosmologi
Dari manakah
datangnya angin?, kemanakah air mengalir?, apakah api tercipta?, dan daya
tumbuh apa ada pada tanah?
Alam tempat
segalanya hidup dan ber-ada menjadi panggung kehidupan tersebut. “ADA” manjadi
suteradara utama yang mengatur dan memainkan peran mengaksikan ada-ada yang
lainnya. Pikiran dan jiwa sutradara utama yang adalah ADA itu me-roh-i semua
ada-ada yang menjadi.
Alam semesta
yang menjadi tempat kediam seluruh alam fisik yang dalam keberadaannya dan
seadanya keteraturan. Keteraturan inilah yang mencadi cirri kahas keberadaan
yang kahas dari alam semesta ini. Keberadaan kehidupan, benda-benda alam dan
jagat raya dalam cakrawala kesemestaan ini berada dalam keseimbangan dan
keteraturannya. Di dalamnya segalanya berproses, hidup dan berada. Tiada kematian selain perubahan. Semua melebur
dan menyatu dalam keberadaan fisik. Namun alam memiliki kekuatan dan daya dalam
keteraturannya. Angin, api, tanah dan air menjadi elemen dasar pembentuk dari
seluruh keadaan fisik ciptaan. Namun semua keberadan kehidupan tidak lepas dari
daya berada dan daya pengada dari semuanya. Daya dan kekuatan inilah yang
menjadikan elemen-elemen fisik ini menjadi adaan-adaan insani dan benda
seluruhnya. Namun daya-daya itu pula yang manjadikan semuanya kembali kepada
keberadaan asali elemen-elemen tersebut. Alam adalah makrokosmis dari
keberadaan fisik yang dalamnya terdapat daya makrokosmis penggerak dan penggada
seluruh. Seluruh berada dan bergerak.
4.
Filsafat Sosial
Siapakah
sesamaku bagi kemanusiaan dan hidupku?
Manusia adalah
mahluk sosial. Manusia akan menjadi manusia ketika ia berada ditengah-tengah
dan bersama dengan manusia lainnya. Manusia tak dapat hidup sendiri, tanpa
orang lain dan lingkungannya. Kesosialan manusia sangat menentukan eksistensi
manusia sebagai mahluk hidup yang membutuhkan temannya. Mausia dan mausia
lainnya berperan sebagai subjek dan sekaligus
sebagai objek dalam kebersamaan mereka. Manusia baru menemukan dirinya
ketika ia berhadapan dengan manusia lain. Dengan melihat manusia lain ia
melihat gambaran kemanusiaannya.
Orang lain
sebagai objek bagi manusia. Manusia membutuhkan sesamanya untuk digunakan dalam
banyak hal kehidupannya. Peran orang lain sebagai objek dalam hal ini sebatas
ia dibutuhkan. Keobjekan manusia di sini membentuk peran pasif dari manusia
yang diobjekkan. Demikian orang lain menjadi subjek bagi manusia. Peran subjek
dan subjek ini menghadirkan komunikasi intersubjektifitas diantara keduanya.
Mereka saling membutuhkan dan sling melengkapi. Ada kata ‘kita’ di antara
komunikasi mereka. Kebersatuan diantara keduanya membangun kehidupan
kemanusiaan itu. Keduanya benar-benar manjadi manusia karena mereka diposisikan
sebagai subjek yang aktif dan saling melebur satu sama lain. Dari pertemuan
intersubjektifitas ini manusia mengalami kemanusiaan orang lain dan menjadi
refleksi akan kemuasiaannya.
Filsafat sosial mau membentangkan
pemikiran dan gagasan-gagasan manusia yang hidup dengan manusia lain.
Demikaianlah gagasan formal dari filsafat ini yakni bagaimana manusia dapat
hidup dengan manusia lainnya dan dari hubungan intersubjektifitas ini manusia
menemukan kediriannya dan kemanusiaannya yang ternyata hanya dapat ia temukan
ketika berhadapan dengan manusia lainnya.
5.
Filsafat
Kebudayaan
Apakah tindakan manusia tersebut telah
memanusiakan manusia?
Pembentukan kehidupan, perkembangan dan
kemajuan pola kehidupan dan pemikiran manusia dalam kebersamaannya dengan
manusia lain menghasilkan suatu tingkat peradapan dan cara bertindak dari
manusia tersebut untuk menjadikan dirinya dan orang lain sebagai manusia yang
seutuhnya adalah manusia.
Manusia yang dalam kehidupannya
membentuk dan menghasilkan semua hal yang berkaitan dengan agama, ekonomi,
sosial, politik, teknologi dan lainnya, memampukan manusia mengeksploitaasi
alam dan lingkungannya untuk dipakai sebagai pemenuhan kebutuhan jasmani dan
rohaninya. Dalam pengolahan ini manusia memproses semuanya dengan akal dan
pikirannya untuk menghasilkan suatu perkembangan kehidupan yang bukan hanya
terarah kepada hal yang manusia semata namun sampai kepada hal yang transenden.
Keinginan manusia sampai kepada jati diri yang luhur dan ilahi menjadi kekhasan
manusia dari mahluk lain dan cara benrtindak manusia untuk memanusiakan manusia
inilah yang menjadi dasar pemikiran filsafat kebudayaan (Humanisasi)
6.
Filsafat Politik
Apa yang lebih penting, Negara atau
pribadi?
Filsafat politik berbicara mengenai
kumpulan manusia yang dalam kebersamaannya membentuk suatu keteraturan dan
kebersamaan yang disepakati menuju arah idealnya masyarakat dan negara. Dalam
negara ada kumpulan masyarakat yang diatur oleh aturan dan norma yang
ditentukan untuk mengharmoniskan keberlangsungan kebersamaan yang diatur oleh
seorang pemimpin yang mengepalai kesatuan tersebut.
Pada dasarnya pribadi manusia adalah
baik dan akan mengarah kepada kebaikan ketika ia berhadapan pada tujuan
pribadinya dan pengungkapan pribadinya. Namun ketika sudah berhadapan dengan
dua atau tiga orang bahkan dalam kumpulan kemasyarakatan maka pribadi-pribadi
ini akan saling bersinggungan. Maka dari itu dalam kebersamaan itu mereka
membentuk aturan dan norma yang mereka sepakati dan janjikan akan dilakukan.
Ketika aturan dan norma itu dilanggar maka ia akan dikenai hukuman. Kebebasan
manusia diatur dan sampai dapat dikatakan dipenjara oleh aturan dan kebersamaan
demi kebaikan bersama. Tujuannya adalah demi kebaiakan bersama karena berengkat
dari kebaikan pribadi. Demikianlah kesatuan dan kebersamaan manusia ini yang
menjadi suatu kemasyarakatan bukan hanya mengatur norma dan aturan kehidupan
bersama, namun memilih oaring-orang yang dianggap cakap untuk menyelenggarakan roda
kemasyarakatan/pemerintahan/negara yang dipimpin oleh seorang pemimpin.
Demikianlah negara dalam lingkup suatu negara sampai kepada kebersaamaan dengan
negara-negara lain dalam lingkup yang sangat luas. Semua ini adalah kesatuan
dan kebersamaan yang dilandaskan pada tujuan kebaikan bersama dengan didasari
oleh kebaikan pribadi manusia-manusia yang ada di dalamnya. Namun politik
perbicara dalam cakupan yang lebih dalam yakni cara dan pengadaan situasi yang
dipolitisir oleh orang-orang yang diangkat sebagai pemegang kuasa untuk menata
dan menuntun kebersamaan kemasyarakatan/Negara tersebut sampai kepada
kesejahteraan dan kebahagiaan bersama. Hal inilah yang menjadi tujuan suatu
politik.
7.
Filsafat
Keindahan/Estetika
Apakah jiwa dan
roh dari dimensi-dimensi keindahan?
Estetika adalah
cabang felsafat yang berbicara mengenai “perepsi”, yakni pengungkapan suatu
hasil pengamatan yang mendalam akan banyak hal, baik itu berkaitan dengan seni
suara, seni rupa dan bentuk, seni tulis dan lukis dan ide-ide keindahan dan
kecitraan dari suatu pencerapan dari dimensi berwujud yang dipandang mata dan
dimensi konseptual imajinasi dan intusi menjadi sebuah perwujutan karya cipta
yang baru yang merepresentasikan dimensi-dimensi tersebut kedalam pola baru
dalam bentuk karya cipta berjiwa keindahan.
Ketika seseorang
duduk di pinggiran danau Toba dalam kesendirian dan keheningannya, jiwanya
mengalami ketenangan dan kedamaian. Ia memandang danau Toba dan sekitarnya.
Namun saat ia lama mengamati dan mencoba mencerap perasaan jiwa yang tenang dan
bahagia, bukan hanya karena ia melihat keindahan sekitarnya. Namun lebih
mendalam ia mencoba menutup mata ingin bersetubuh dengan keindahan yang
membangkitkan gairah ketenangan dan kekaguman. Ia menyatu dengan jiwa dari suatu
dimensi terdalam keindahan pemandangan yakni estetika. Namun tidak sampai
disitu saja, ia kembali membuka mata dan mencoba meleburkan persatuan yang
sangat ia kagumi kembali kepada alam sekitarnya. Mata yang memandang danau Toba
dan sekitarnya, pikirannya sampai kepada masa-masa indah dalam hidupnya,
perasaan indah, tenang dan kagum melebur kepenuhan batinya. Demikianlah ia
menikmati semuanya dalam refleksi jiwa akan semuanya. Ia sampai kepada ingatan
dan konsep baru akan keindahan danau Toba, walaupun ia tidak menjamah seluruh
bagian dari danau dan sekitarnya. Namun semua itu telah ia rasakan dalam
kebersatuan antara dirinya dan objek pandangannya karena perasaan indah, tenang
dan kagum. Perasaan ini menyemen semuanya dan menjadi satu kesatuan yakni pengalaman
akan keindahan danau Toba yang tak terlupakan. Persepsi akan keindahan yang ia
alami itulah esensi dari suatu estetika keindahan.
8.
Etika
Apakah kesantunan hadir dari
kemanusiawian?
Etika yang berbicara mengenai tingkah
laku manusia yang direfleksikan kepada penilaian baik buruknya dalam ketentuan
norma-norma dan aturan yang dipandang dan disepakati manusia sebagai ketentuan
umum dan kenormalan dan kesopanan untuk sampai kepada pendefenisian manusia
sebagai mahluk yang beradab. Hal inilah yang titunjukan dalam etika
kemanusiaan. Tata hidup dan penghidupan dalam keseluruhan kehidupan manusia
yang menjadikan manusia dikatakan hidup dalam kebaikan dan kenormalan.
Kebaikan dan keburukan disepakati dalam
norma. Norma ini menjadikan tolak ukur dalam menentukan taraf kebaikan dan
diterimanya sikap dan tindakan kehidupan manusia dalam kehidupannya. Esensi
manusia yang adalah pada kehendak bebasnya dan didasarkan pada pilihan
bebasnya, dalam kebersamaan untuk satu tujuan kebaikan kebersamaan di antara
manusia dengan manusia dan lingkungannya maka kehendak dan pilihan bebas harus
berjalan pada norma dan aturan yang telah ditentukan oleh keputusan kebersamaan
yang dipandang baik yakni etika manusia yang beradab.
Tindakan baik buruk inilah yang menjadi
dua kaki yang selalu berjalan beersama dalam satu pengatur yakni norma etika.
9.
Logika
Apakah berpikir baik sudah berpikir
benar?
Logika yang merupakan study proses
pembentukan pola pemikiran yang baik dan benar. Cara berpikir dan menyimpulkan
dari suatu permasalahan atau gagasan yang disimpulkan inilah menjadi logika
berpikir benar.di dalamnya ada banyak proses untuk sampai kepada kesimpulan dan
keputusan yang menghasilkan opini dan pemikiran murni dari manusia itu dalam
menanggapi permasalahan dan gagasan yang dihadapkan padanya. Perkembangan
pengetahuan melalui penalaran manusia lewat cara melihat, berpikir, menguji,
mengabstraksi menarik kesimpulan dan membahasakan opini yang dihasilkan.
Dalam hal ini harus diingat bahwa cara
berpikir yang baik dan benarlah yang disebut logika berpikir. Jika tidak baik
dan benar itu bukan logika. Akal manusia dapat sampai kepada kebenaran ralitas
asali jika ia mengikuti proses dan cara berpikir yang baik dan benar.
10. Filsafat Ketuhanan/Teologia
Apakah belajar atau mengalami pengalami
pengalaman akan Allah?
Manusia yang dalam pencarian panjangnya
mencoba ingin mengetahui asal-muasal dari semua ada dan pengada yang ada di
dunia ini. Manuisa dengan segala kemampuannya dan dengan segala bidang ilmu dan
pengetahuannya mencoba menelusuri tentang keberadaan Allah. Namun semakin
manusia mencari dimana Allah belajar tentang Allah, semakin manusia merasa jauh
dan tak menemukannya. Keber-ADA-an dan ADA-an Allah dipangang dan dicoba
dimengerti dengan sudut pandang dan kajian manusiainilah yang membuat semakin
manusia tidak sampai kepada apa yang hendak di ketahui. Manusia sebatas belajar
dari kitab-kitab yang merupakan pengalaman adikodrati manusia. Mencoba
menelitinya, namun kemampuan ilmu dan uji yang ada terbatas pada manusiawi dan
fisik semata.
Lalu apa peran teologi/filsafat
ketuhanan, dalam menanggapi ini. Demikianlah kajian mengenai ada dan pengada
serta cara berada dari setiap hal yang coba ditelaah oleh metafisik/ontologi
membukakan mata manusia bahwa semuanya itu hanya menyenggol atau hampir
menyentuh ADA-an utama dan pertama yakni “ALLAH” yang dalam filsafat ketuhannan
sebagai pencipta dan peng-ada yang pertama, utama, awal dan akhir.
Pemikiran manusia yang dengan
pengetahuan kemanusiawiannya mencoba mengalami apa itu Allah. Ketika orang
hendak mengalami satu gagasan atau peristiwa ia coba terlebur didalamnya dan
mengalaminya. Hal ini dialami ketika orang masuk kepada reflesi yang mendalam
untuk sampai kepada kontemplasi.
Kontemplasi adalah keadaan kepenuhan
kemanusiawian dan keilahian dari situasi manusiawi kepada kazanah adikodrati
yang teraktifkan dalam keterjagaan manusia yang dalam samadinya yang merenung
dan berefleksi akan suatu pengalaman hidup manusiawi dari kacamata rohani
mengenai kehidupan sehari-hari akan semua hal dan mengarahkannya sebagai
“pengalaman akan Allah.” Manusia sampai kepada paham akan Allah ketika ia telah
mengkontemplasikan iman dan pengalaman jasmani serta rohaninya kepada dan
kedalam “pengalaman akan Allah.” Manusia sampai kepada pemahaman akan Allah
hanya kerena Allah, yakni lewat pengalaman kontemplasi yang mendalam.
Kontemplasi yang mendalam ini pulalah yang akan dialami ketika hal itu
diaktifkan oleh manusia namun terberkati oleh Allah, sebagai penga-ADA itu
sendiri. Dari pengalaman kontemplasi ini manusia sampai kepada ke-bersehadap-an
dan ke-berse-roh-an antara manuisa yang di-ada-kan dengan peng-ADA mutlak, yang
dari padanya manuisa menemukan pengetahuan kebenaran tentang ketuhanan dan dari
pengetahuan ini ia mengalami dalam hidupnya yakni pengalaman akan Allah. Karena
daya kontemplasi terdalam dan tertinggi adalah daya dan pengetahuan kebenaran
tertinggi dan terdalam akan awal dari segala dan semuanya yakni ADA akan
terjadi ketika ADA-an itu yang meng-ada-kannya pada manusia itu.
Kontemplasi ditopang oleh pemahaman dan
pengetahuan tentang Allah. Pemahaman dan pengetahuan ini di-jiwa-i oleh iman
dan di-roh-i oleh karunia yang berasal dari ADA. Semuanya ini menjadi
pembelajaran yang mendalam dan tak akan pernah habis dari filsafat
ketuhanan/teologi, yang hendak berbicara tentang Tuhan sebagai ada dan pengada
yang pertama dan utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar