Sabtu, 17 November 2018

BUDAYA: MARANGGIR



MARANGGIR

“ Hal yang suci itu bukan merupakan aspek dunia empiris tetapi berada di atasnya. Disamping itu ia merupakan suatu aspek yang bukan secara nyata dan jelas serta bisa membantu kita bertindak menghadapi kekuatan alam dan benda – benda. Hal yang suci itu bukan pula berpautan dengan pengetahuan yang bertumpu pada pengetahuan inderawi.”
(Durkheim)

Pengalaman manusiawi dan rohani masyarakat Batak, dalam kehidupan sehari-hari masih sering diikuti baik sengaja atau tidak oleh tindak budayanya, walaupun telah menjadi pemeluk agama yang “sah” secara pemerintah. Salah satu contoh menjadi seorang Katolik  bagi seorang Batak, tidak dengan sendirinya ia tidak akan melakukan ke-batak-annya, baik dalam segi adat atau pun hidup spiritualitas “habatahon”, yang tidak ada dalam ajaran agama yang dianutnya. Tindakan spiritual ke-batak-an (selanjutnya akan lebih sering kita sebut “habatahon”) memiliki nilai luhur tersendiri bagi hidup personal seseorang yang terhidupi atau bahkan masih dijalani. Hal inilah yang hendak kita mengerti akan nilai yang terkandung dari tindakan “maranggir” dari sudut pandang habatahon dengan nilai spiritual yang mirip dalam paham pemikiran spiritual pada umumnya (dalam posisi manusia yang terikat pada satu kelembagaan agama namun ia tetap menghidupi kebudayaannya) dan sampai kepada pandangan sosial yang dihadirkan di dalam kehidupan kemasyarakatan pada umumnya.

·         Arti Maranggir
Kata maranggir berasal dari kata dasar anggir/jeruk purut. Kata maranggir sendiri dalam masyarakat Batak sering juga disebut  marpangir. Maranggir adalah ritual bermandi jeruk purut yang telah didoakan demi membersihkan, mengobati, menyucikan dan bahkan sampai kepada paham menguduskan orang, barang atau tempat yang dikenai oleh air yang telah dicampur dengan perasan jeruk purut tersebut. Dalam makna menyucikan dan menguduskan kata “pangurason” memiliki arti yang sangat tepat dalam bahasa Batak untuk memaknai dan memberi esensi terdalam dari tindakan tersebut. Maka dari itulah kata maranggir/marpangir tidak boleh lepas dari kedua makna dan nilai tersebut yakni menyucikan dan menguduskan.

·         Ritual
Ada tiga media utama dalam maranggir yakni, anggir/jeruk purut, air dan cawan putih. Tiga media ini memiliki sarat makna dalam habatahon.
a.       Anggir yang dipercaya adalah buah “sakral” dari hau tumbur tua (pohon tunas bahagia) yang dipercaya dapat menjadi tawar/obat dan pembuat parpangiron (air recikan untuk menyucikan dan menguduskan). Yang mana dalam literatur Batak, pohon memiliki gambaran fungsional simbolik adikodrati. Dalam mitologinya pohon Sangkamadeha/Ari Ara Sundung Dilangit adalah pohon yang ujung tunasnya sampai ke Banua Ginjang, sedangkan batangnya ada di Banua Tonga dan akarnya di Banua Toru. Pohon ini menjadi pohon mitis yang menyatukan ketiga mikrokosmis dalam makrokosmis di mana Debata tinggal. Pohon inilah yang menjadi “pengantara” antara ketiga banua. Demikianpun manusia selalu mengadakan ritual di dekat pohon Ari Ara dan selalu dikatkan dengan pohon tersebut. Pohon Ari Ara menjadi pengantara manusia dan Debata, ketiga banua serta tangga pemanjatan doa dan permohonan manusia. Diandaikan anggir/jeruk purut adalah buah pohon tersebut. Buah pohon inilah yang dipercaya sebagai bagian penting material ritual.
b.      Air murni dan bersih (yang berasal dari mata air yang dipercaya sedari asalnya memiliki kekuatan “penghidup” awal mula segala) menjadi lambang pembersihan, penguraian, penyuburan, pembawa nilai hidup dan pembaharuan (mengobati). Dan lebih dalam lagi, air disakralkan dengan ritual lewat doa-doa yang ditujukan untuk menyucikan dan menguduskan.
c.       Cawan putih adalah mangkok porselin putih bundar. Dalam cawan inilah nilai penyucian dan pengudusan tersimbolkan lewat warna putih dan bibir cawan yang bundar.
Dari ketiga media yang sarat makna ini di-jiwa-i dan di-roh-i oleh doa-doa sakral yang menjadikannya parpangiron, difungionalkan bukan semata mandi untuk membersihkan dari kekotoran badani, namun telah ditujukan pada nilai yang lebih dalam lagi yakni membersihkan jiwa dan roh, pengobati/menolak bala dari kejahatan magis, menyucikan dan menguduskan.

·         Kebiasaan Habatahon
Saat kapan saja orang Batak maranggir?
Ø  Saat Mengusir Kejahatan
Dalam kepercayaan Batak, hal magis yang membawa kejahatan (back magic) akan menjadikan orang dikuasai oleh yang kekuatan jahat yang berasal dari roh jahat, kekuatan gaib, kutuk, santet, dll. Dipercaya juga tikus, pipit, cacing yang mengganggu pertanian dilihatsebagai daya perusak. Membuat penjagaan badan dan tempat dalam rupa jimat dan mantraan.
Ø  Saat Memohon Pemurnian
Dalam banyak situasi kehidupan benda, tempat dan kejadian sering dipercaya diganggu atau dikuasai oleh kuasa si jahat
Ø  Saat Ditujukan Untuk Mengobati
Sakit lepra, kolera dan banyak sakit yang dianggap sebagai perbuatan dari yang jahat.
Ø  Saat Menyucian dari Dosa
Ketika seseorang melakukan dosa (pelanggaran kesusilaan)yang dipercaya akan berpengaruh buruk bagi sekitarnya, seperti menggagahi anak perawan, melakukan hubungan kelamin dengan anggota marga sendiri, penculikan terhadap perembuan, persundalan di antara orang-orang muda. Anggapan “kotor” saat datang bulan bagi  perempuan atau ‘mimpi basah’ bagi laki-laki yang menjadikan orang tersebut tidak boleh masuk kedalam langgatan penyembahan.
Ø  Saat Perayaan Tahun Baru
Acara Mangase Taon/ Perayaan Tahun Baru, dalamnya ritual diadakan bagi bumi bahari untuk pemulihan, pensakralan, pemurnian dan perawan seperti awalnya, yang dihayati sebagai penciptaan-ulang Banua Tonga. Yang mana setiap tahunnya kehidupan di Banua Tonga dipulihkan dari segala kejahatan dan kenegatifan.
Seluruh keadaan ini akan meminta diadakan pangurason, agar darinya segala yang jahat dibersihkan dan menjadi pulih kembali. Tindakan penyucian, pengudusan, penyembuh, dan pembaharuan dilakukan dalam tindakan pangurason.


·         Tonggo-tonggo/Doa
Makna dan nilai luhur habatahon dari maranggir/marpangir ini akan sangat nampak dari inisiasi tonggo-tonggo/doa sakral yang dilantunkan dan dipanjatkan mengangkat paranggiran tersebut naik kepada tatanan dari nilai naturalisnya menjadi nilai sakral/spiritual, dari kodrati manjadi adikodrati, dari manusiawi manjadi ilahi.

Salah satu contoh doa yang dipakai dalam maranggir.

Doa Maranggir

Kumohon, kuseru, engkau, Ompung!
Mulajadi Nabolon, Pemula langit dan bumi. Pencipta alam semesta dan segala isinya.
Dan, Ompung, Dewa trimurti, nan tiga suku, nan tiga kerajaan, pamong langit dan bumi, dan kami manusia.
Dan roh nenek moyang kami, dari generasi awal, nan mulia-bahagia, penyandang kuasa adi kodrati, menguduskan adat, aturan dan hukum bagi kami keturunannya.
Semoga ompung menatap-murah, mendengar-simak, akan isi permohonanku!
Disini, ya Ompung, saya tatang persucian: air bening, pembening penglihatan, hati dan jiwa. Juga buah jeruk purut, pengetahuan akan yang indah dan baik, dan bane-bane nan harum, ranting beringin, dalam cawan putih, yang tak ternoda dan tak tercela angin, agar menjadi penyuci, ya Ompung, dan keselamatan bagi kami.
Tatang-berkatilah ya Ompung, menyucikan tubuh dan jiwa kami ke masa depan. Agar kami bermata air keindahan, mata air di jam Sembilan, bahagia karena indah, bersama isteri nanceria; berilah kepada kami putera-putera berwibawa!
Semoga menjadi tawar, ya Ompung, menjadi jimat dan obat, pertahanan dan perlindungan serta kekebalan bagi kami. Agar jangan terlewati, ternajis dan ketakutan dan ternoda dari yang indah dan baik, dari persucian yang tak bercela, dan tak ternoda angin!
Lagi ya Ompung, bila terdapat yang kurang dan yang lebih di kata, nampak dan kelakuan serta perbuatan kami, terlalu mini atau panjang, seperti busana yang bodoh, terlalu depan atau belakang, seperti lenggang orang ke pasar, semoga terdapat kundur, ya Ompung, Wibawa Moyang Kami tampil mendamaikan!
Lindungi kami dengan perisai samping, payungi dari atas lapiki kami dari bawah, menangkal segala mara bahaya penyerang kami!
Usirlah pipit kesarangnya, kejarlah tikus kelubangnya, kembalikan ulat ketanah kediamannaya; agar kami jangan cemas menjunjung daya-bahagia berkatmu untuk kami; selamatkan dan berilah kesejukan kepada kami, rohani dan jasmani!
Jauhkanlah, ya Ompung, halangan dan hambatan, agar berkat yang kami mohonkan engkau berikan kepada jiwa-raga kami, pada hidup sehari – hari, menjadi benderang seperti siang, terang seperti bulan, jelas seperti kumpulan benang di galah, jernih seperti sumber air. Agar murni tak tercela, suci tak ternoda angin, berkatmu kami terima di masa depan!
Agar kami berpisau pengibas didepan, berpisau pengibas dibelakang, mengibas roh jauh, roh toba, roh wabah keriting, black magic nan tujuh. Bila terdapat black magic pria dan black magic wanita, terarah kepada kami, cegah dan jauhkanlah, ya Ompung, dari kami. Selamatkanlah kami, bugari. Kami pinta, ya Ompung, berilah daya kepahlawanan, daya kekayaan, daya kerajaan dan daya kemuliaan, agar kami mulia dan bahagia ke masa depan!
Sianjur Mula-mula, Sianjur Muatoppa;
Tempat air terpisah, nafas jadi sentosa.
Pancuran dari kuningan, Beringin pancar airnya;
Pagi bercuci muka, sore mersuci atma.
Hariara cidong kebawah, condong kearah akar;
Turun daya bahagia, limpah wibawa raja.
Semoga Ompung sipareme, pangulosi,
Melindungi, menjagai dan memelihara kami.
Hukum yang seimbang dan aturan yang maha adil
Menghubungkan kami dengan Ompung mulajadi
Perahu sudah labuh di tambatan bontean,
Moga usia lanjut, makmur berkelimpahan.



·         Nilai Spiritual yang Terkandung
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan nilai dan makna spiritual dari maranggir ini adalah membersihkan, mengobati, membaharui, menyucikan dan bahkan sampai kepada paham menguduskan

·         Nilai Sosial yang Terkandung
Kehidupan kemasyarakatan Batak yang dalam kenbiasaan sehari-hari dapat ditampakkan dari pandangan dan pola pemikiran bahwa segala hal ikhwal kehidupan manusia, sesama dan alam tempat tinggal meyakini dapat dikuasai oleh kejahatan. Untuk mengembalikan keadaan tersebut menjadi baik kembali mereka melakukan ritual penyucian dan pengudusan lewat maranggir atau pangurason. Namun dalam tindakan alamiahnya, ketika orang melakukan mandi anggir/jeruk purut, hal tersebut pada dasarnya tindakan pembersihan (fungsi alamiah air dan asam). Tindakan manusiawi inilah yang bagi masyarakat Batak diangkat dari nilai manusiawi kepada ilahi dan dari tingkat kodrati kepada adikodrati.
Nilai sosial kemasyarakatan Batak yang bersandar pada nilai-nilai alam semesta selalu berharap segala kejahatan dibersihkan untuk mengembalikan nilai kebaikan yang adalah asal semuanya.

·         Refleksi Kritis
Pada masa sekarang ini tak jarang, seorang Batak yang menyandang status “beragama” namun tetap melakukan kebiasaan habatahon-nya. Salah satunya adalah maranggir. Tindakan ini dipandang bukan sebagai pencampur adukan antara kepercayaan hahomion Batak dan agamanya. Bagaimanakah kita harus menanggapi hal tersebut dari sudut pandang sosial keagamaannya?
Sulit untuk berdiri pada satu pandangan pembenaran. Namun saya hanya dapat mengatakan bahwa, harus dipertanyakan terlebih dahulu kepada orang per orang yang melakukan kebiasaan budayanya namun ia ada dalam status beragama yakni; apakah pemahamannya tentang maranggir benar-benar meletakkan tindakan maranggir/pangurason tersebut dalam pengendapan nilai penyucian dan pengudusan? Serta ia tidak mencampur adukkan keyakinan kepercayaan hahomion habatahon dengan iman Agama-nya! Nilai-nilai luhur sosial budaya diangkat pada tatanan iman yang tertinggi dan dikembalikan kepada Allah yang adalah asal semua dan segalanya.
Demikianlah juga, dalam beberapa kegiatan gereja, imam dan uskup menggunakan anggir/jeruk purut saat melakukan acara penyucian dan pengudusan yang dalam beberapa kegiatan rohani yang berkaitan dengan orang atau situasai habatahon. Hal penyucian dan pengudusan yang diyakini orang batak pada masa lampau diangkat dan diletakkan pada tatanan keimanan kekatolikan yang tepat.

Buku yang dipakai:
1.      Anicetus B. Sinaga, Allah Tinggi Batak Toba, (Yogyakarta: Kanisius, 2014)
2.      Leo Josten, Kamus Batak Toba Indonesia, (Medan: BMP, 2012)
3.      M. A. Marbun, Kamus Budaya Batak Toba, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987)
4.      T. M. Sihombing, Filsafat Batak, (Jakarta: Balai Pustaka, 2017)
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar