MARANGGIR
“ Hal yang suci itu bukan merupakan aspek dunia
empiris tetapi berada di atasnya. Disamping itu ia merupakan suatu aspek yang
bukan secara nyata dan jelas serta bisa membantu kita bertindak menghadapi
kekuatan alam dan benda – benda. Hal yang suci itu bukan pula berpautan dengan
pengetahuan yang bertumpu pada pengetahuan inderawi.”
(Durkheim)
Pengalaman manusiawi dan rohani
masyarakat Batak, dalam kehidupan sehari-hari masih sering diikuti baik sengaja
atau tidak oleh tindak budayanya, walaupun telah menjadi pemeluk agama yang
“sah” secara pemerintah. Salah satu contoh menjadi seorang Katolik bagi seorang Batak, tidak dengan sendirinya
ia tidak akan melakukan ke-batak-annya, baik dalam segi adat atau pun hidup
spiritualitas “habatahon”, yang tidak
ada dalam ajaran agama yang dianutnya. Tindakan spiritual ke-batak-an (selanjutnya
akan lebih sering kita sebut “habatahon”)
memiliki nilai luhur tersendiri bagi hidup personal seseorang yang terhidupi atau
bahkan masih dijalani. Hal inilah yang hendak kita mengerti akan nilai yang
terkandung dari tindakan “maranggir” dari
sudut pandang habatahon dengan nilai
spiritual yang mirip dalam paham pemikiran spiritual pada umumnya (dalam posisi
manusia yang terikat pada satu kelembagaan agama namun ia tetap menghidupi
kebudayaannya) dan sampai kepada pandangan sosial yang dihadirkan di dalam
kehidupan kemasyarakatan pada umumnya.
·
Arti Maranggir
Kata maranggir
berasal dari kata dasar anggir/jeruk purut. Kata maranggir sendiri dalam masyarakat Batak sering juga disebut marpangir.
Maranggir adalah ritual bermandi
jeruk purut yang telah didoakan demi membersihkan, mengobati, menyucikan dan
bahkan sampai kepada paham menguduskan orang, barang atau tempat yang dikenai
oleh air yang telah dicampur dengan perasan jeruk purut tersebut. Dalam makna
menyucikan dan menguduskan kata “pangurason”
memiliki arti yang sangat tepat dalam bahasa Batak untuk memaknai dan memberi
esensi terdalam dari tindakan tersebut. Maka dari itulah kata maranggir/marpangir tidak boleh lepas
dari kedua makna dan nilai tersebut yakni menyucikan dan menguduskan.
·
Ritual
Ada tiga media utama dalam maranggir yakni, anggir/jeruk purut, air
dan cawan putih. Tiga media ini memiliki sarat makna dalam habatahon.
a.
Anggir
yang dipercaya adalah buah “sakral” dari hau
tumbur tua (pohon tunas bahagia) yang dipercaya dapat menjadi tawar/obat
dan pembuat parpangiron (air recikan
untuk menyucikan dan menguduskan). Yang mana dalam literatur Batak, pohon
memiliki gambaran fungsional simbolik adikodrati. Dalam mitologinya pohon Sangkamadeha/Ari Ara Sundung Dilangit
adalah pohon yang ujung tunasnya sampai ke Banua
Ginjang, sedangkan batangnya ada di Banua
Tonga dan akarnya di Banua Toru.
Pohon ini menjadi pohon mitis yang menyatukan ketiga mikrokosmis dalam
makrokosmis di mana Debata tinggal.
Pohon inilah yang menjadi “pengantara” antara ketiga banua. Demikianpun manusia selalu mengadakan ritual di dekat pohon Ari Ara dan selalu dikatkan dengan pohon
tersebut. Pohon Ari Ara menjadi
pengantara manusia dan Debata, ketiga
banua serta tangga pemanjatan doa dan permohonan manusia. Diandaikan
anggir/jeruk purut adalah buah pohon tersebut. Buah pohon inilah yang dipercaya
sebagai bagian penting material ritual.
b.
Air
murni dan bersih (yang berasal dari mata air yang dipercaya sedari asalnya memiliki
kekuatan “penghidup” awal mula segala) menjadi lambang pembersihan, penguraian,
penyuburan, pembawa nilai hidup dan pembaharuan (mengobati). Dan lebih dalam
lagi, air disakralkan dengan ritual lewat doa-doa yang ditujukan untuk
menyucikan dan menguduskan.
c.
Cawan
putih adalah mangkok porselin putih bundar. Dalam cawan inilah nilai penyucian
dan pengudusan tersimbolkan lewat warna putih dan bibir cawan yang bundar.
Dari ketiga media yang sarat makna ini
di-jiwa-i dan di-roh-i oleh doa-doa sakral yang menjadikannya parpangiron, difungionalkan bukan semata
mandi untuk membersihkan dari kekotoran badani, namun telah ditujukan pada
nilai yang lebih dalam lagi yakni membersihkan jiwa dan roh, pengobati/menolak
bala dari kejahatan magis, menyucikan dan menguduskan.
·
Kebiasaan
Habatahon
Saat kapan saja orang Batak maranggir?
Ø Saat Mengusir Kejahatan
Dalam kepercayaan Batak, hal magis yang
membawa kejahatan (back magic) akan menjadikan orang dikuasai oleh yang
kekuatan jahat yang berasal dari roh jahat, kekuatan gaib, kutuk, santet, dll.
Dipercaya juga tikus, pipit, cacing yang mengganggu pertanian dilihatsebagai
daya perusak. Membuat penjagaan badan dan tempat dalam rupa jimat dan mantraan.
Ø Saat Memohon Pemurnian
Dalam banyak situasi kehidupan benda,
tempat dan kejadian sering dipercaya diganggu atau dikuasai oleh kuasa si jahat
Ø Saat Ditujukan Untuk Mengobati
Sakit lepra, kolera dan banyak sakit
yang dianggap sebagai perbuatan dari yang jahat.
Ø Saat Menyucian
dari Dosa
Ketika seseorang melakukan dosa (pelanggaran
kesusilaan)yang dipercaya akan berpengaruh buruk bagi sekitarnya, seperti menggagahi
anak perawan, melakukan hubungan kelamin dengan anggota marga sendiri, penculikan terhadap perembuan, persundalan di antara
orang-orang muda. Anggapan “kotor” saat datang bulan bagi perempuan atau ‘mimpi basah’ bagi laki-laki
yang menjadikan orang tersebut tidak boleh masuk kedalam langgatan penyembahan.
Ø Saat Perayaan Tahun Baru
Acara Mangase Taon/ Perayaan Tahun Baru, dalamnya ritual diadakan bagi
bumi bahari untuk pemulihan, pensakralan, pemurnian dan perawan seperti
awalnya, yang dihayati sebagai penciptaan-ulang Banua Tonga. Yang mana setiap tahunnya kehidupan di Banua Tonga dipulihkan dari segala
kejahatan dan kenegatifan.
Seluruh keadaan ini akan meminta
diadakan pangurason, agar darinya
segala yang jahat dibersihkan dan menjadi pulih kembali. Tindakan penyucian,
pengudusan, penyembuh, dan pembaharuan dilakukan dalam tindakan pangurason.
·
Tonggo-tonggo/Doa
Makna dan nilai luhur habatahon dari maranggir/marpangir ini akan sangat nampak dari inisiasi
tonggo-tonggo/doa sakral yang dilantunkan dan dipanjatkan mengangkat paranggiran tersebut naik kepada tatanan
dari nilai naturalisnya menjadi nilai sakral/spiritual, dari kodrati manjadi
adikodrati, dari manusiawi manjadi ilahi.
Salah satu contoh doa yang dipakai dalam
maranggir.
Doa Maranggir
Kumohon,
kuseru, engkau, Ompung!
Mulajadi
Nabolon, Pemula langit dan bumi. Pencipta alam semesta dan segala isinya.
Dan,
Ompung, Dewa trimurti, nan tiga suku, nan tiga kerajaan, pamong langit dan
bumi, dan kami manusia.
Dan
roh nenek moyang kami, dari generasi awal, nan mulia-bahagia, penyandang kuasa
adi kodrati, menguduskan adat, aturan dan hukum bagi kami keturunannya.
Semoga
ompung menatap-murah, mendengar-simak, akan isi permohonanku!
Disini,
ya Ompung, saya tatang persucian: air bening, pembening penglihatan, hati dan
jiwa. Juga buah jeruk purut, pengetahuan akan yang indah dan baik, dan
bane-bane nan harum, ranting beringin, dalam cawan putih, yang tak ternoda dan
tak tercela angin, agar menjadi penyuci, ya Ompung, dan keselamatan bagi kami.
Tatang-berkatilah
ya Ompung, menyucikan tubuh dan jiwa kami ke masa depan. Agar kami bermata air
keindahan, mata air di jam Sembilan, bahagia karena indah, bersama isteri
nanceria; berilah kepada kami putera-putera berwibawa!
Semoga
menjadi tawar, ya Ompung, menjadi jimat dan obat, pertahanan dan perlindungan
serta kekebalan bagi kami. Agar jangan terlewati, ternajis dan ketakutan dan
ternoda dari yang indah dan baik, dari persucian yang tak bercela, dan tak
ternoda angin!
Lagi
ya Ompung, bila terdapat yang kurang dan yang lebih di kata, nampak dan
kelakuan serta perbuatan kami, terlalu mini atau panjang, seperti busana yang
bodoh, terlalu depan atau belakang, seperti lenggang orang ke pasar, semoga
terdapat kundur, ya Ompung, Wibawa Moyang Kami tampil mendamaikan!
Lindungi
kami dengan perisai samping, payungi dari atas lapiki kami dari bawah,
menangkal segala mara bahaya penyerang kami!
Usirlah
pipit kesarangnya, kejarlah tikus kelubangnya, kembalikan ulat ketanah
kediamannaya; agar kami jangan cemas menjunjung daya-bahagia berkatmu untuk
kami; selamatkan dan berilah kesejukan kepada kami, rohani dan jasmani!
Jauhkanlah,
ya Ompung, halangan dan hambatan, agar berkat yang kami mohonkan engkau berikan
kepada jiwa-raga kami, pada hidup sehari – hari, menjadi benderang seperti
siang, terang seperti bulan, jelas seperti kumpulan benang di galah, jernih
seperti sumber air. Agar murni tak tercela, suci tak ternoda angin, berkatmu
kami terima di masa depan!
Agar
kami berpisau pengibas didepan, berpisau pengibas dibelakang, mengibas roh
jauh, roh toba, roh wabah keriting, black
magic nan tujuh. Bila terdapat black
magic pria dan black magic wanita,
terarah kepada kami, cegah dan jauhkanlah, ya Ompung, dari kami. Selamatkanlah
kami, bugari. Kami pinta, ya Ompung, berilah daya kepahlawanan, daya kekayaan,
daya kerajaan dan daya kemuliaan, agar kami mulia dan bahagia ke masa depan!
Sianjur
Mula-mula, Sianjur Muatoppa;
Tempat
air terpisah, nafas jadi sentosa.
Pancuran
dari kuningan, Beringin pancar airnya;
Pagi
bercuci muka, sore mersuci atma.
Hariara cidong kebawah,
condong kearah akar;
Turun
daya bahagia, limpah wibawa raja.
Semoga
Ompung sipareme, pangulosi,
Melindungi,
menjagai dan memelihara kami.
Hukum
yang seimbang dan aturan yang maha adil
Menghubungkan
kami dengan Ompung mulajadi
Perahu
sudah labuh di tambatan bontean,
Moga
usia lanjut, makmur berkelimpahan.
·
Nilai Spiritual
yang Terkandung
Dari keterangan di atas dapat kita
simpulkan nilai dan makna spiritual dari maranggir
ini adalah membersihkan, mengobati, membaharui, menyucikan dan bahkan sampai
kepada paham menguduskan
·
Nilai Sosial
yang Terkandung
Kehidupan kemasyarakatan Batak yang
dalam kenbiasaan sehari-hari dapat ditampakkan dari pandangan dan pola
pemikiran bahwa segala hal ikhwal kehidupan manusia, sesama dan alam tempat
tinggal meyakini dapat dikuasai oleh kejahatan. Untuk mengembalikan keadaan
tersebut menjadi baik kembali mereka melakukan ritual penyucian dan pengudusan
lewat maranggir atau pangurason. Namun dalam tindakan
alamiahnya, ketika orang melakukan mandi anggir/jeruk purut, hal tersebut pada
dasarnya tindakan pembersihan (fungsi alamiah air dan asam). Tindakan manusiawi
inilah yang bagi masyarakat Batak diangkat dari nilai manusiawi kepada ilahi
dan dari tingkat kodrati kepada adikodrati.
Nilai sosial kemasyarakatan Batak yang
bersandar pada nilai-nilai alam semesta selalu berharap segala kejahatan
dibersihkan untuk mengembalikan nilai kebaikan yang adalah asal semuanya.
·
Refleksi Kritis
Pada masa sekarang ini tak jarang,
seorang Batak yang menyandang status “beragama” namun tetap melakukan kebiasaan
habatahon-nya. Salah satunya adalah
maranggir. Tindakan ini dipandang bukan sebagai pencampur adukan antara
kepercayaan hahomion Batak dan
agamanya. Bagaimanakah kita harus menanggapi hal tersebut dari sudut pandang
sosial keagamaannya?
Sulit untuk berdiri pada satu pandangan
pembenaran. Namun saya hanya dapat mengatakan bahwa, harus dipertanyakan
terlebih dahulu kepada orang per orang yang melakukan kebiasaan budayanya namun
ia ada dalam status beragama yakni; apakah pemahamannya tentang maranggir
benar-benar meletakkan tindakan maranggir/pangurason
tersebut dalam pengendapan nilai penyucian dan pengudusan? Serta ia tidak
mencampur adukkan keyakinan kepercayaan hahomion
habatahon dengan iman Agama-nya! Nilai-nilai luhur sosial budaya diangkat
pada tatanan iman yang tertinggi dan dikembalikan kepada Allah yang adalah asal
semua dan segalanya.
Demikianlah juga, dalam beberapa
kegiatan gereja, imam dan uskup menggunakan anggir/jeruk purut saat melakukan
acara penyucian dan pengudusan yang dalam beberapa kegiatan rohani yang
berkaitan dengan orang atau situasai habatahon.
Hal penyucian dan pengudusan yang diyakini orang batak pada masa lampau
diangkat dan diletakkan pada tatanan keimanan kekatolikan yang tepat.
Buku
yang dipakai:
1.
Anicetus
B. Sinaga, Allah Tinggi Batak Toba,
(Yogyakarta: Kanisius, 2014)
2.
Leo
Josten, Kamus Batak Toba Indonesia,
(Medan: BMP, 2012)
3.
M.
A. Marbun, Kamus Budaya Batak Toba,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1987)
4.
T.
M. Sihombing, Filsafat Batak,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar