Selasa, 13 November 2018

EREMITA: 2018,3,1, ASKESE



Melangkah ke Tangga Kekudusan dan Kesempurnaan Lewat Hidup Asketisme Katolik
 “Hendaklah kamu kudus, sebab Bapamu adalah kudus.” Demikianlah kutipan ini mau mengajak kita menyadari  hakekat  asali kita yang menerima ‘Citra keilahian’. Dalam kemanusiaan kita yang dijiwai oleh keilahian Allah sedari  awali dalam penciptaan, Allah menjadikan kita memiliki ‘Citra keilahian’ lewat  ‘nafas hidup’ yang diberikan dan menjadikan kita memperoleh ‘Citra Ilahi Allah’ sebagai ciptaan mulia. Kemanusiaan kita yang adalah ciptaan yang dicipta dari ciptaan (tanah) diangkat kepada hakekat ‘ciptaan yang mulia’ karena kita menjadi citra Allah yang hidup dari segala ciptaan. Maka dari itu kita sebagai ‘Citra Ilahi Allah’ dalam kesejatiaannya diawal, dibalut dalam kekudusan. Namun hakekat manusia yang mulia ternodai oleh dosa manusia itu sendiri. Manusia jatuh dalam dosa yang menjadikan mereka menyelubungi hakekat kemuliaan manusia sebagai ‘Citra Ilahi Allah’ yang ada dalam diri mereka oleh dosa. Dosa yang membuat manusia birahi serta dosa itu pula yang menjadikan manusia harus menanggung sakit melahirkan dan akibat dosa adalah maut.
Lewat kisah penciptaan manusia kita merenung bahwa Adam yang adalah ciptaan pertama dan utama yang paling mulia. Darinya Hawa dicipta yang adalah ciptaan yang tercipta dari  salah satu bagian ciptaan pertama dan mulia itu. Hawa mewarisi kemuliaan manusiawi Adam dan mereka hidup dalam kepenuhan kebahagiaan  dalam taman Eden, dimana segalanya adalah kebahagiaan. kemudian kisah dosa hadir. Kebahagiaan taman Eden  diambil dari mereka. Karena dosalah kebahagiaan berubah. Manusia birahi dan harus melahirkan menjadi putaran kehidupan yang terus berputar. Kelahiran dan kematian. Manusia berziarah dalam kehidupannya. Dalam peziarahan inilah kita mencoba untuk merenung kembali kehadiran kemanusiaan kita dan mau kemana kita.
Kisah lanjutan inilah yang menjadi kisah kehidupan manusai kemudian. Hawa yang adalah ciptaan yang tercipta dari salah satu bagian ciptaan pertama yang mulia ini harus melahirkan anak-anak manusia. Dalamnya tetap diwariskan hakekat mulia kemanusiaan yang menerima ‘Citra Ilahi Allah’ yang telah diterima Adam dan diwaiskan kepada Hawa kemudian diwariskan dalam kelahiran kemanusiaan kita. Adam dan Hawa dicipta dan kita dilahirkan. Kelahiran kita karena birahi yang adalah akibat dosa. Maka dari inilah dosa asal yang ada kita terima.
Namun akhirnya semua berubah dan dimeteraikan dalam kurban keselamatan Kristus Yesus. Yesus yang adalah Allah memulihkan kembali ‘Hakekat Mulia’ kemanusiaan kita bukan lagi sebagai ‘hamba’ (hamba dosa yang dikarenakan selubung dosa menutupi hakekat mulia akan ‘Citra Ilahi Allah’ yang telah kita terima dalam kemanusiaan kita) yang membawa kita kepada maut karena dosa.  Yesus mengangkat kita sebagai anak-anak Allah. Kemuliaan kemanusiaan kita dipulihkan dan selubung dosa yang telah menutup disibakkan, sehingga kita melangkah sebagai anak-anak Allah yang telah termeteraikan dari pelunasan ‘Dosa Kekal’ dalam kurban salib yang membawa ‘Keselamatan Kekal’ sebagai ‘anak-anak Allah’.
Dari sinilah kita berangkat kepada pemaknaan akan hidup ‘asketisme katolik’. Adam adalah gambaran ‘Kemuliaan Kemanusiaan’ awali. Dosa asal diwariskan kepada kita dan telah dipulihkan oleh Yesus. Pemulihan telah kita terima dalam sakramen-sakramen. Namun apakah kita tidak berdosa lagi? Kita dilahirkan dari birahi (kehendak rendah manusiawi) laki-laki dan perempuan. Kita bukan ciptaan awali yang mulia seperti Adam. Namun, “bagaimana kita bisa mengejar dan merebut kembali hakekat ‘Kemuliaan Kemanusiaan’ seperti pada Adam?” kita mengejar kesempurnaan dan kekudusan seperti yang ada pada ciptaan awali. Yesus telah membuka selubung dosa. Namun kita tetap adalah manusia yang menghidupi hakekat bayang-bayangm dan godaan dosa dalam kemanusiaan kita. Bagaimana kita berusaha untuk menjadi kudus dan sempurna, inilah yang menjadi perjuangan kita seumur hidup. Kita mengejar gambaran ‘Hakekat Kemuliaan Kemanusiaan’ yang kudus dan sempurna.  Adam lama telah  menurunkan dosa, dan Yesus  adalah ‘Adam Perjanjian Baru’ yang membuka selubung dosa lewat karya keselamatan dalam kurban salib. Kita adalah ‘Adam yang menerima panggilan untuk  menjadi ‘anak-anak Allah’ pada masa ini. Namun kita tidak bisa menutup mata akan kemanusiaan kita yang bisa jatuh dalam dosa. Bagaimanakah kita bisa mempertahankan panggilan kita sebagai anak-anak Allah? Jalan mengolah diri dalam askese adalah salah satu cara yang telah lama dikenal dan dicoba orang.
Para kudus Gereja bejuang mengejar kekudusan dan kesempurnaan hidup mereka agar mereka dalam keadaan ‘Mulia’ menghadap Allah. Kita dapat memperoleh banyak pengajaran dari cara hidup mereka. Namun apakah yang mereka lakukan dan alami? Jawabannya tetap sama yakni dalam kemanusiaannya mereka berjuang terus menerus ‘mengolah’ diri untuk semakin mempersempit ruang dosa bekerja. Dalam hal ini kita sepakati mengunakan kata ‘Mengolah’ dan bukan mengubah atau bahkan mematikan kemanusaan kita dalam pembahasan tentang langkah hidup askrtisme ini. Mengolah dalam hal ini kita mengetahui objek bahasan kita yakni diri kita dalam kemanusiaannya diolah untuk semakin menjadi lebih baik. Kita tidak megubah kedirian kita, karena hanya Allah yang bisa mengubah dan kita bersalah jika mematikan kedirian kita karena kemanusaan kita adalah ciptaan Allah yang baik sedari awalnya.
Kita pertama-tama harus menyadari terlebih dahulu kemanusiaan kita. Kita dilahirkan dengan segala kedirian kita. Kita melihat, mendengar, mengecap, merasa, mengalami dan terlebih kita berpikir. Dari alat indrawi inlah gerbang pemikiran kita menjelajah sangat liar dan akan menuntun hati kita menimbang-nimbang dan didorong oleh batin yang sangat rapuh oleh pengaruh perasaan dan psikologis kita,  Akhirnya kita pada pilihan bebas kita memilih kepada kebaikan atau kejahatan. Dan pilihan inilah yang menjadi kunci kepada langkah mengejar ‘kekudusan dan kesempurnaan’ tersebut.
Mengenal kedirian kita dalam hal ini bukan mencari kekurangan dan membenci kemanusaan kita yang lemah. Ketika kita semakin tahu siapa diri kita maka kita semakin tahu untuk berpikir, menimbang dan menentukan pilihan. Sebagai contoh yang mungkin sangat umum dan paling tua didiskusiakan ketika berbicara mengolah diri dalam hidup asketisme yakni seksualitas. Pada kemanusiaan kita hal ini adalah kehidupan kita. Namun bagaimana cara mengolahnya. Kita angkat salah satu hal yang mungkin bisa mewakili banyak hal dalam diri kita yakni naluri kemanusiaan kita yang didasari pada nafsu. Secara biologis perempuan setiap 28 harinya akan mengalami siklus kewaniataannya sedangkan pada laki-laki setiap 14 hari sekali testis akan mengeluarkan cairan sperma yang telah matang secara alamiah (ini yang sering kita sebut mimpi basah). Kedua hal ini adalah alamiah karena biologis kemanusiaan kita telah dengan teratur sendirinya bersiklus. Ketika masa ini manusia akan mengalami peningkatan hormon dalam tubuhnya terlebih hormon yang berkaitan dengan seksualitas. Hal ini yang membuat banyak perubahan keadaan kondisi tubuh, pemikiran, perasaan dan kehendak kemanusiaan kita. Salah satunya pikiran kita. Saat-saat itu hormon tubuh yang merangsang tubuh mempengaruhi kerja otak yang mempengaruhi pikiran-pikiran liar kita. Saat ini kita diposisikan pada keadaan tidak stabil. Kemanusiaan dalam nalurinya meningkatkan nafsu biologis. Apakah ini salah? Tidak ada yang salah, namun cara kita mengolah tubuh, pikiran, perasaan dan batin kitalah yang memampukan kita untuk sampai kepada pilihan yang baik. Kemanusiaan kita dalam kompleksitasnya sebagai mahluk biologis, mahluk berpikir dan merasa, mahluk yang berimajinasi dan berkehendak. Semuanya itu adalah kemanusiaan kita yang utuh. Pilihan atas tanggapan kita dalam mengolah kedirian kita menjadi penentu akhir dalam pilihan bebasnya kepada kebaikan dan kejahatan.
Contoh kedua yang lajim dan tak lepas dalam pembahasan asketisme yakni puasa dan pantang. Salah satu contoh yakni tidak makan daging. Bagaimana kita berbicara tentang hal ini? Kita harus menyadari bahwa daging adalah makanan yang sangat tinggi protein serta kandungan nutrisi yang padat. Ketika kita memakannya maka tubuh akan mengolah dan menyerapnya yang membuat tubuh kita salah satunya mengalami kelebihan kalori. Kalaori memiliki sifat yang akan mengeluarkan karbon dan panas dari dalam tubuh karena kelebihan yang dipengaruhi pola makan kita. Saat tubuh mengalami ketidakstabilan ini maka orang yang makan daging ini akan sulit untuk tenang dan berdiam (untuk para asket/pertapa akanmengakibatkan sulit duduk lama untuk bertapa) maka dari itu mereka memantangkan daging. Dan orang yang memakan daging atau makanan yang berlebih akan membuat kerja tubuh yang dipaksa terus untuk bekerja. Hormon dalam biologis akan memaksa orang untuk aktif yang membuat tubuh dan pikiran terus ‘liar’. Maka dari itu para asket/pertapa akan mengatur pola makan mereka dengan pantang dan puasa.
Banyak contoh yang bisa kita buat dan kembangkan untuk semakin memahami apa itu hidup asketisme. Dapat disimpulkan dari penjabaran di atas hidup asketisme adalah hidup yang dibentuk untuk mengolah diri agar mampu mengkondisikan kemanusiaannya pada ketenangan pikiran, hati, batin, jiwa dan rohnya. Semua unsur ini yang memampukan manusia berlahan-lahan menaiki tangga kerendahan hati menuju keutamaan tertinggi naik ketangga kekudusan dan masuk kepada kesempurnaan kemuliaan Ilahi Allah. Kemanusiaan kita tidak diciptakan sebagai objek yang buruk. Namun segalaanya yang ada dalam kemanusiaan kita dapat memposisikan kita kepada kejahatan ketika kita tidak mampu mengolah diri untuk sampai kepada pilihan terbaik yakni segala perbuatan baik.
Asketisme adalah pola hidup yang menuntun kita untuk matiraga dan menyangkal diri untuk sampai kepada kesempurnaan sejati. Matiraga dalam hal ini yakni mengolah raga kita yang terdiri dari seluruh keindraan dan badani kemanusaan kita yang kita olah agar tidak liar dan teratur sehingga mengkondisikan kediriaan kita untuk masuk kedalam keinginan mencari keutamaan tertinggi lewat pengolahan hidup hari-harinya. Sedangkan menyangkal diri dalam hal ini yakni mencoba meninggalkan keduniawian kemanusiaan kita pada kesadaran terdalam bahwa kita memiliki sisi keilahian dalam kemanusaan kita. Setelah melewati tahap matiraga untuk mengaktifkan kembali ‘Hakekat Mulia Kemanusiaan’nya dengan cara mengolah pikiran, hati, batin, jiwa dan rohnya manusia mencoba masuk ke kedalaman kediriannya untuk menemukan misteri keilahian yang ada dalam kemanusiaannya. Lewat doa, samadi, kontempalsi dan terpenting adalah membersihkan luka dan noda yang diakibatkan oleh dosa-dosa yang pernah terjadi (mereka yang hidup asket adalah mereka yang hidup dalam tobat yang terus menerus dan sejati) karena dosa dan siksa dosa yang diakibatkannya sangat menghalangi orang untuk sampai kepada pemikiran, hari, batin, jiwa dan roh yang murni menuju kekudusan.
Mengolah diri dalam askese adalah salah satu cara kita untuk menyadari bagaimana keadaan realita manusiawi dan duniawi kita yang dengan niat yang teguh mencoba untuk menenangkan ‘keliaran’ kemanusiaan dengan keutamaan-keutamaan sejati yang menghantarkan kita kepada kesadaran tertinggi untuk masuk kepada pengetahuan sejati akan keilahian kemanusiaan kita, yang mana setelah sampai pada kesadaran tertinggi ini manusia akan melangkah dan berlari mengejar kekudusan dan kesempurnaan tertinggi sampai pada titik akhirnya yakni hidup dalam ‘Hakekat Mulia sebagai Citra Ilahi Allah’, walaupun ia masih tinggal di dunia ini namun ia tidak lagi hidup karena pengaruh kemanusiaan dan keduniawiannya melainkan dengan ‘kesadaran tertinggi’nya menuntun ia melakukan segala kebajikan dan keutamaan-keutamaan sebagai jalan tobat yang terus menerus menuju kebersatuan tubuh, pikiran, hati, batin, jiwa dan rohnya yang telah dimurnikan dengan ‘Hakekat Ilahi’nya yakni ‘Adam ilahi atau  manusia ilahi’. Ia masih hidup di dunia ini namun ia telah mampu  mengalami kebersatuan dan kese’roh’an dengan Allah dalam roh dan kebenaran. Inilah tujuan hidup askese.
Apa yang mau dikatakan dengan asketisme katolik? Telah dijabarkan secara ringkas semua hal diatas. Kini kita mencoba menyusun dan merangkainya untuk benar-benar paham apa itu hidup askese dalam cara asketisme katolik. Dalam kemanusiaan ini, kita rindu untuk kembali kepada hakekat kemuliaan kemanusiaan kita yang telah menerima ‘Citra ilahi Allah’ yang sempat terselubungi oleh dosa. Iman akan Keselamatan yang dibawa Kristus Yesus mengembalikan hakekat kemulian kemanusaan tersebut sebagai anak-anak Allah. Selubung dosa telah disibakkan namun kita perlu terus menerus menjaga kekudusan hakekat kita sebagai anak-anak Allah yang telah kita terima saat dipermandikan. Dalam sakramen-sakramen yang ada dalam gereja mengantar setiap orang kembali kepada kekudusan dan kesatuan sebagai anak-anak Allah. Dalam hal inilah kita diingatkan selalu untuk kembali kepada kekudusan dan kesempurnaan yang telah kita terima. Ingatan untuk tobat, hidup kudus dan sempurna ada dalam hidup kekatolikan kita. Seperti pada masa prapaskah ini kita diingatkan kembali akan karya keselamatan itu. Kita diundang untuk melaksanakan laku tobat. Dengan melaksanakan laku tobat dalam masa prapaskah ini kita mencoba menjalani hidup askese yang sederhana. Menerima sakramen tobat, derma dan karya amal bakti,  melakukan doa-doa dan permenungan, mengadakan laku pantang dan puasa yang mana semuanya ini adalah cara mengolah kemanusiaan untuk mengarahkannya masuk ke  kedalaman batin kita berhadapan kembali akan misteri kemuliaan kemanusiaan kita yakni dalam pandangan ‘Keilahian Kemanusiaan’ kita. Inilah yang menjadi kekayaan gereja kita yang telah menguji dan mempertahankan nilai-nilai kemanusaiaan dan keilahian. Karena dalam keduanya kita hidup dan ada serta terarah kepada kekekalan akhir yakni masuk dalam bilangan para kudus di dunia ini dalam gereja yang kudus dan di kehidupan abadi dalam bilangan para kudus yang telah menerima kesempurnaan anak-anak Allah di surga.
Panggilan untuk menjadi kudus bukan semata panggilan dan undangan yang mengajak kita untuk hidup baik dan kudus, namun panggilan hidup kudus adalah kehakikian kemanusiaan awali dari manusia itu sendiri yang dari awalnya adalah ‘Citra Ilahi Allah’. Ini juga yang menjadi nilai terdalam dari hidup askese. Hidup askese bukan hidup dalam penyiksaan dan pematian. Hidup askese adalah hidup dalam pengolahan kemanusiaan dan kehidupan itu sendiri untuk sampai pada kekudusan dan kesempurnaan sebagia manusia yang adalah ‘CITRA ILAHI ALLAH’.

                                                   Rumah Singgah Santo Antonius Pertapa, Kamis 1 Maret 2018

                                                                                Rahib Christian Amore

Tidak ada komentar:

Posting Komentar