Melangkah
ke Tangga Kekudusan dan Kesempurnaan Lewat Hidup Asketisme Katolik
“Hendaklah kamu kudus, sebab Bapamu adalah
kudus.” Demikianlah kutipan ini mau mengajak kita menyadari hakekat asali kita yang menerima ‘Citra keilahian’.
Dalam kemanusiaan kita yang dijiwai oleh keilahian Allah sedari awali dalam penciptaan, Allah menjadikan kita
memiliki ‘Citra keilahian’ lewat ‘nafas
hidup’ yang diberikan dan menjadikan kita memperoleh ‘Citra Ilahi Allah’
sebagai ciptaan mulia. Kemanusiaan kita yang adalah ciptaan yang dicipta dari
ciptaan (tanah) diangkat kepada hakekat ‘ciptaan yang mulia’ karena kita
menjadi citra Allah yang hidup dari segala ciptaan. Maka dari itu kita sebagai
‘Citra Ilahi Allah’ dalam kesejatiaannya diawal, dibalut dalam kekudusan. Namun
hakekat manusia yang mulia ternodai oleh dosa manusia itu sendiri. Manusia
jatuh dalam dosa yang menjadikan mereka menyelubungi hakekat kemuliaan manusia
sebagai ‘Citra Ilahi Allah’ yang ada dalam diri mereka oleh dosa. Dosa yang
membuat manusia birahi serta dosa itu pula yang menjadikan manusia harus
menanggung sakit melahirkan dan akibat dosa adalah maut.
Lewat
kisah penciptaan manusia kita merenung bahwa Adam yang adalah ciptaan pertama
dan utama yang paling mulia. Darinya Hawa dicipta yang adalah ciptaan yang
tercipta dari salah satu bagian ciptaan
pertama dan mulia itu. Hawa mewarisi kemuliaan manusiawi Adam dan mereka hidup
dalam kepenuhan kebahagiaan dalam taman
Eden, dimana segalanya adalah kebahagiaan. kemudian kisah dosa hadir.
Kebahagiaan taman Eden diambil dari
mereka. Karena dosalah kebahagiaan berubah. Manusia birahi dan harus melahirkan
menjadi putaran kehidupan yang terus berputar. Kelahiran dan kematian. Manusia
berziarah dalam kehidupannya. Dalam peziarahan inilah kita mencoba untuk
merenung kembali kehadiran kemanusiaan kita dan mau kemana kita.
Kisah
lanjutan inilah yang menjadi kisah kehidupan manusai kemudian. Hawa yang adalah
ciptaan yang tercipta dari salah satu bagian ciptaan pertama yang mulia ini
harus melahirkan anak-anak manusia. Dalamnya tetap diwariskan hakekat mulia
kemanusiaan yang menerima ‘Citra Ilahi Allah’ yang telah diterima Adam dan
diwaiskan kepada Hawa kemudian diwariskan dalam kelahiran kemanusiaan kita.
Adam dan Hawa dicipta dan kita dilahirkan. Kelahiran kita karena birahi yang
adalah akibat dosa. Maka dari inilah dosa asal yang ada kita terima.
Namun
akhirnya semua berubah dan dimeteraikan dalam kurban keselamatan Kristus Yesus.
Yesus yang adalah Allah memulihkan kembali ‘Hakekat Mulia’ kemanusiaan kita bukan
lagi sebagai ‘hamba’ (hamba dosa yang dikarenakan selubung dosa menutupi
hakekat mulia akan ‘Citra Ilahi Allah’ yang telah kita terima dalam kemanusiaan
kita) yang membawa kita kepada maut karena dosa. Yesus mengangkat kita sebagai anak-anak
Allah. Kemuliaan kemanusiaan kita dipulihkan dan selubung dosa yang telah
menutup disibakkan, sehingga kita melangkah sebagai anak-anak Allah yang telah
termeteraikan dari pelunasan ‘Dosa Kekal’ dalam kurban salib yang membawa
‘Keselamatan Kekal’ sebagai ‘anak-anak Allah’.
Dari
sinilah kita berangkat kepada pemaknaan akan hidup ‘asketisme katolik’. Adam
adalah gambaran ‘Kemuliaan Kemanusiaan’ awali. Dosa asal diwariskan kepada kita
dan telah dipulihkan oleh Yesus. Pemulihan telah kita terima dalam
sakramen-sakramen. Namun apakah kita tidak berdosa lagi? Kita dilahirkan dari
birahi (kehendak rendah manusiawi) laki-laki dan perempuan. Kita bukan ciptaan
awali yang mulia seperti Adam. Namun, “bagaimana kita bisa mengejar dan merebut
kembali hakekat ‘Kemuliaan Kemanusiaan’ seperti pada Adam?” kita mengejar
kesempurnaan dan kekudusan seperti yang ada pada ciptaan awali. Yesus telah
membuka selubung dosa. Namun kita tetap adalah manusia yang menghidupi hakekat bayang-bayangm
dan godaan dosa dalam kemanusiaan kita. Bagaimana kita berusaha untuk menjadi
kudus dan sempurna, inilah yang menjadi perjuangan kita seumur hidup. Kita
mengejar gambaran ‘Hakekat Kemuliaan Kemanusiaan’ yang kudus dan sempurna. Adam lama telah menurunkan dosa, dan Yesus adalah ‘Adam Perjanjian Baru’ yang membuka
selubung dosa lewat karya keselamatan dalam kurban salib. Kita adalah ‘Adam
yang menerima panggilan untuk menjadi ‘anak-anak
Allah’ pada masa ini. Namun kita tidak bisa menutup mata akan kemanusiaan kita
yang bisa jatuh dalam dosa. Bagaimanakah kita bisa mempertahankan panggilan
kita sebagai anak-anak Allah? Jalan mengolah diri dalam askese adalah salah
satu cara yang telah lama dikenal dan dicoba orang.
Para
kudus Gereja bejuang mengejar kekudusan dan kesempurnaan hidup mereka agar mereka
dalam keadaan ‘Mulia’ menghadap Allah. Kita dapat memperoleh banyak pengajaran
dari cara hidup mereka. Namun apakah yang mereka lakukan dan alami? Jawabannya
tetap sama yakni dalam kemanusiaannya mereka berjuang terus menerus ‘mengolah’
diri untuk semakin mempersempit ruang dosa bekerja. Dalam hal ini kita sepakati
mengunakan kata ‘Mengolah’ dan bukan mengubah atau bahkan mematikan kemanusaan
kita dalam pembahasan tentang langkah hidup askrtisme ini. Mengolah dalam hal
ini kita mengetahui objek bahasan kita yakni diri kita dalam kemanusiaannya
diolah untuk semakin menjadi lebih baik. Kita tidak megubah kedirian kita,
karena hanya Allah yang bisa mengubah dan kita bersalah jika mematikan kedirian
kita karena kemanusaan kita adalah ciptaan Allah yang baik sedari awalnya.
Kita
pertama-tama harus menyadari terlebih dahulu kemanusiaan kita. Kita dilahirkan
dengan segala kedirian kita. Kita melihat, mendengar, mengecap, merasa,
mengalami dan terlebih kita berpikir. Dari alat indrawi inlah gerbang pemikiran
kita menjelajah sangat liar dan akan menuntun hati kita menimbang-nimbang dan
didorong oleh batin yang sangat rapuh oleh pengaruh perasaan dan psikologis
kita, Akhirnya kita pada pilihan bebas
kita memilih kepada kebaikan atau kejahatan. Dan pilihan inilah yang menjadi
kunci kepada langkah mengejar ‘kekudusan dan kesempurnaan’ tersebut.
Mengenal
kedirian kita dalam hal ini bukan mencari kekurangan dan membenci kemanusaan
kita yang lemah. Ketika kita semakin tahu siapa diri kita maka kita semakin
tahu untuk berpikir, menimbang dan menentukan pilihan. Sebagai contoh yang
mungkin sangat umum dan paling tua didiskusiakan ketika berbicara mengolah diri
dalam hidup asketisme yakni seksualitas. Pada kemanusiaan kita hal ini adalah
kehidupan kita. Namun bagaimana cara mengolahnya. Kita angkat salah satu hal
yang mungkin bisa mewakili banyak hal dalam diri kita yakni naluri kemanusiaan
kita yang didasari pada nafsu. Secara biologis perempuan setiap 28 harinya akan
mengalami siklus kewaniataannya sedangkan pada laki-laki setiap 14 hari sekali
testis akan mengeluarkan cairan sperma yang telah matang secara alamiah (ini
yang sering kita sebut mimpi basah). Kedua hal ini adalah alamiah karena
biologis kemanusiaan kita telah dengan teratur sendirinya bersiklus. Ketika masa
ini manusia akan mengalami peningkatan hormon dalam tubuhnya terlebih hormon
yang berkaitan dengan seksualitas. Hal ini yang membuat banyak perubahan
keadaan kondisi tubuh, pemikiran, perasaan dan kehendak kemanusiaan kita. Salah
satunya pikiran kita. Saat-saat itu hormon tubuh yang merangsang tubuh
mempengaruhi kerja otak yang mempengaruhi pikiran-pikiran liar kita. Saat ini
kita diposisikan pada keadaan tidak stabil. Kemanusiaan dalam nalurinya
meningkatkan nafsu biologis. Apakah ini salah? Tidak ada yang salah, namun cara
kita mengolah tubuh, pikiran, perasaan dan batin kitalah yang memampukan kita
untuk sampai kepada pilihan yang baik. Kemanusiaan kita dalam kompleksitasnya
sebagai mahluk biologis, mahluk berpikir dan merasa, mahluk yang berimajinasi
dan berkehendak. Semuanya itu adalah kemanusiaan kita yang utuh. Pilihan atas
tanggapan kita dalam mengolah kedirian kita menjadi penentu akhir dalam pilihan
bebasnya kepada kebaikan dan kejahatan.
Contoh
kedua yang lajim dan tak lepas dalam pembahasan asketisme yakni puasa dan
pantang. Salah satu contoh yakni tidak makan daging. Bagaimana kita berbicara
tentang hal ini? Kita harus menyadari bahwa daging adalah makanan yang sangat
tinggi protein serta kandungan nutrisi yang padat. Ketika kita memakannya maka
tubuh akan mengolah dan menyerapnya yang membuat tubuh kita salah satunya
mengalami kelebihan kalori. Kalaori memiliki sifat yang akan mengeluarkan
karbon dan panas dari dalam tubuh karena kelebihan yang dipengaruhi pola makan
kita. Saat tubuh mengalami ketidakstabilan ini maka orang yang makan daging ini
akan sulit untuk tenang dan berdiam (untuk para asket/pertapa akanmengakibatkan
sulit duduk lama untuk bertapa) maka dari itu mereka memantangkan daging. Dan
orang yang memakan daging atau makanan yang berlebih akan membuat kerja tubuh
yang dipaksa terus untuk bekerja. Hormon dalam biologis akan memaksa orang untuk
aktif yang membuat tubuh dan pikiran terus ‘liar’. Maka dari itu para
asket/pertapa akan mengatur pola makan mereka dengan pantang dan puasa.
Banyak
contoh yang bisa kita buat dan kembangkan untuk semakin memahami apa itu hidup
asketisme. Dapat disimpulkan dari penjabaran di atas hidup asketisme adalah
hidup yang dibentuk untuk mengolah diri agar mampu mengkondisikan
kemanusiaannya pada ketenangan pikiran, hati, batin, jiwa dan rohnya. Semua
unsur ini yang memampukan manusia berlahan-lahan menaiki tangga kerendahan hati
menuju keutamaan tertinggi naik ketangga kekudusan dan masuk kepada
kesempurnaan kemuliaan Ilahi Allah. Kemanusiaan kita tidak diciptakan sebagai
objek yang buruk. Namun segalaanya yang ada dalam kemanusiaan kita dapat
memposisikan kita kepada kejahatan ketika kita tidak mampu mengolah diri untuk
sampai kepada pilihan terbaik yakni segala perbuatan baik.
Asketisme
adalah pola hidup yang menuntun kita untuk matiraga dan menyangkal diri untuk
sampai kepada kesempurnaan sejati. Matiraga dalam hal ini yakni mengolah raga
kita yang terdiri dari seluruh keindraan dan badani kemanusaan kita yang kita
olah agar tidak liar dan teratur sehingga mengkondisikan kediriaan kita untuk
masuk kedalam keinginan mencari keutamaan tertinggi lewat pengolahan hidup
hari-harinya. Sedangkan menyangkal diri dalam hal ini yakni mencoba
meninggalkan keduniawian kemanusiaan kita pada kesadaran terdalam bahwa kita
memiliki sisi keilahian dalam kemanusaan kita. Setelah melewati tahap matiraga
untuk mengaktifkan kembali ‘Hakekat Mulia Kemanusiaan’nya dengan cara mengolah
pikiran, hati, batin, jiwa dan rohnya manusia mencoba masuk ke kedalaman
kediriannya untuk menemukan misteri keilahian yang ada dalam kemanusiaannya.
Lewat doa, samadi, kontempalsi dan terpenting adalah membersihkan luka dan noda
yang diakibatkan oleh dosa-dosa yang pernah terjadi (mereka yang hidup asket
adalah mereka yang hidup dalam tobat yang terus menerus dan sejati) karena dosa
dan siksa dosa yang diakibatkannya sangat menghalangi orang untuk sampai kepada
pemikiran, hari, batin, jiwa dan roh yang murni menuju kekudusan.
Mengolah
diri dalam askese adalah salah satu cara kita untuk menyadari bagaimana keadaan
realita manusiawi dan duniawi kita yang dengan niat yang teguh mencoba untuk
menenangkan ‘keliaran’ kemanusiaan dengan keutamaan-keutamaan sejati yang
menghantarkan kita kepada kesadaran tertinggi untuk masuk kepada pengetahuan
sejati akan keilahian kemanusiaan kita, yang mana setelah sampai pada kesadaran
tertinggi ini manusia akan melangkah dan berlari mengejar kekudusan dan
kesempurnaan tertinggi sampai pada titik akhirnya yakni hidup dalam ‘Hakekat
Mulia sebagai Citra Ilahi Allah’, walaupun ia masih tinggal di dunia ini namun
ia tidak lagi hidup karena pengaruh kemanusiaan dan keduniawiannya melainkan
dengan ‘kesadaran tertinggi’nya menuntun ia melakukan segala kebajikan dan
keutamaan-keutamaan sebagai jalan tobat yang terus menerus menuju kebersatuan
tubuh, pikiran, hati, batin, jiwa dan rohnya yang telah dimurnikan dengan
‘Hakekat Ilahi’nya yakni ‘Adam ilahi atau
manusia ilahi’. Ia masih hidup di dunia ini namun ia telah mampu mengalami kebersatuan dan kese’roh’an dengan
Allah dalam roh dan kebenaran. Inilah tujuan hidup askese.
Apa
yang mau dikatakan dengan asketisme katolik? Telah dijabarkan secara ringkas
semua hal diatas. Kini kita mencoba menyusun dan merangkainya untuk benar-benar
paham apa itu hidup askese dalam cara asketisme katolik. Dalam kemanusiaan ini,
kita rindu untuk kembali kepada hakekat kemuliaan kemanusiaan kita yang telah
menerima ‘Citra ilahi Allah’ yang sempat terselubungi oleh dosa. Iman akan
Keselamatan yang dibawa Kristus Yesus mengembalikan hakekat kemulian kemanusaan
tersebut sebagai anak-anak Allah. Selubung dosa telah disibakkan namun kita
perlu terus menerus menjaga kekudusan hakekat kita sebagai anak-anak Allah yang
telah kita terima saat dipermandikan. Dalam sakramen-sakramen yang ada dalam
gereja mengantar setiap orang kembali kepada kekudusan dan kesatuan sebagai
anak-anak Allah. Dalam hal inilah kita diingatkan selalu untuk kembali kepada
kekudusan dan kesempurnaan yang telah kita terima. Ingatan untuk tobat, hidup
kudus dan sempurna ada dalam hidup kekatolikan kita. Seperti pada masa
prapaskah ini kita diingatkan kembali akan karya keselamatan itu. Kita diundang
untuk melaksanakan laku tobat. Dengan melaksanakan laku tobat dalam masa
prapaskah ini kita mencoba menjalani hidup askese yang sederhana. Menerima
sakramen tobat, derma dan karya amal bakti,
melakukan doa-doa dan permenungan, mengadakan laku pantang dan puasa
yang mana semuanya ini adalah cara mengolah kemanusiaan untuk mengarahkannya
masuk ke kedalaman batin kita berhadapan
kembali akan misteri kemuliaan kemanusiaan kita yakni dalam pandangan
‘Keilahian Kemanusiaan’ kita. Inilah yang menjadi kekayaan gereja kita yang
telah menguji dan mempertahankan nilai-nilai kemanusaiaan dan keilahian. Karena
dalam keduanya kita hidup dan ada serta terarah kepada kekekalan akhir yakni
masuk dalam bilangan para kudus di dunia ini dalam gereja yang kudus dan di
kehidupan abadi dalam bilangan para kudus yang telah menerima kesempurnaan
anak-anak Allah di surga.
Panggilan
untuk menjadi kudus bukan semata panggilan dan undangan yang mengajak kita
untuk hidup baik dan kudus, namun panggilan hidup kudus adalah kehakikian kemanusiaan
awali dari manusia itu sendiri yang dari awalnya adalah ‘Citra Ilahi Allah’. Ini
juga yang menjadi nilai terdalam dari hidup askese. Hidup askese bukan hidup
dalam penyiksaan dan pematian. Hidup askese adalah hidup dalam pengolahan
kemanusiaan dan kehidupan itu sendiri untuk sampai pada kekudusan dan
kesempurnaan sebagia manusia yang adalah ‘CITRA ILAHI ALLAH’.
Rumah Singgah Santo Antonius Pertapa, Kamis 1 Maret 2018
Rahib
Christian Amore
Tidak ada komentar:
Posting Komentar