Rabu, 24 April 2019

RENUNGAN: 2019,04,08, BERCERMIN DARI PANGGILAN MUSA (Menjawab Panggilan Allah Dalam Hidupku)



BERCERMIN DARI PANGGILAN MUSA
(Menjawab Panggilan Allah Dalam Hidupku)

Menjawab panggilan Allah akan suatu cara hidup yang khusus, yang kita anggab adalah cara hidup yang dibaktikan untuk karya Allah menjadi suatu cara menjawab di mana kita yang mengalami panggilan tersebut mencoba menjawab suatu yang tidak kita mengerti dan tahu bagaimana tujuan akhirnya, namun kita tetap mencoba dan terlebih mengerti apa yang menjadi kehendak Allah atas diri kita dan atas tujuan karya Allah tersebut dalam “kemisteriannya”. Demikianlah Musa yang dipanggil Allah untuk memulai karya Allah. Hidup Musa sedari awal dipersiapkan dengan cerita ia diangkat oleh puteri Mesir namun tetap disusui oleh inangnya. Sampai pada ia membunuh tentara Mesir dalam statusnya sebagai orang Mesir demi membela orang Israel yang dianiaya. Ia lari dan menjadi buronan. Ia menikah dan menjadi penjaga ternak. Dan sejak dari inilah ia dimulai dipanggil dalam peristiwa semak duri yang bernyala namun tidak terbakar. Musa dipanggil Allah.
Musa tidak langsung menyetujui panggilan Allah tersebut. Ia ragu, bertanya dan mencoba mengelak akan apa yang Allah rencanakan. Dari ini saya berangkat tentang panggilan yang saya jalani saat ini menjadi seorang rahib. Pengalaman Musa coba saya refleksikan dengan panggilan yang saya coba jawab.
 Bermula sewaktu SD kelas 3, saya dalam kesadaran dan keyakinan bersujud dan memegang altar gereja seraya memandang salib menjanjikan dalam hati akan menjadikan diriku persembahan kepada Allah dan tidak akan menikah seumur hidupku. Inilah awal di mana saya masuk kepada panggilan tersebut. Semuanya dimulai dan terjadi secara mengalir.
Bapak dahulu adalah seorang mantan seminaris. Hal ini menjadi hal pendukung untuk saya. Di rumah, tepatnya di kamar tidur, di sudut tempat belajar ada tempat doa yang dihiasi gambar dan patung rohani. Di sana saya menjalani hidup kerohanian saya. Di sana juga saya mulai belajar berdiam diri. Saat itu saya belum mengerti yang namanya meditasi. Namun saya mencoba duduk tenang berdiam diri dalam waktu yang lama di bangku tempat doa tersebut. Orang tua sudah mengerti jika saya lama keluar dari kamar dan pintu terkunci, mereka tahu saya sedang berdoa. Saat jalan kaki pergi sekolah dan les saya melakukan doa Rosario atau mengulang-ulang doa Bapa Kami dan Salam Maria. Hal itu menjadi hal yang menarik dan terus saya lakukan. Saya juga aktif mengikuti kegiatan Asmika dan Areka. Dan saya juga aktif menjadi Mesdinar di gereja. Saya sunggu merasa ada hal yang menarik dan memperdaya diri saya ketika saya ikut aktif dalam segala kegiatan gereja.
Pengalaman rohani yang telah dimulai berlanjut ketika di Seminari Menengah. Hidup doa diam-diam saya jalani. Setiap hari saya meletakkan sekuntum mawar di kaki patung Maria, doa silih dan kerahiman diruang sayap yang tertutup oleh gorden, juga laku tapa dengan tidur di kerikil dan meditasi saat pagi-pagi buta. Hal yang mirip juga terlaksana saat saya menjadi Postulan dan Novis Kapusin. Hidup doa, meditasi, kontemplasi, silih, dan ulatapa, serta sering tinggal dalam kesendirian dan menyepi menjadi kehidupan yang teraman sangat saya cintai. Banyak pengalaman rohani dan mistik serta supranatural yang pernah saya alami. Semuanya itu menjadi pengalaman-pengalaman yang meneguhkan dan memurnikan terus panggilan dan cara hidup saya.
Tepatnya tanggal 21 Januari 2009 saya memulai cara hidup eremit. Dengan tinggal di sebuah gua di perbukitan Simarbalatuk, tepatnya di desa Buntumalasang kecamatan Parapat Girsang Simpangan Bolon. Saya dianggap “gila”, “aneh”, “stres” dan banyak lagi asumsi-asumsi negatif yang muncul. Hal itu bukan hal yang baru bagi saya, karena sejak dari seminari asumsi-asumsi seperti ini sudah ada. Sampai saya dikatakan kerasukan roh aneh dan seorang dukun yang punya kekuatan magis. Semua itu memang karena apa yang saya pilih dan jalani.
Sering dalam doa saya meragukan apakah ini benar panggilan dan karunia dari Allah. Dan tak jarang dalam doa saya meminta kepada Allah untuk membersihkan, mengambil dan membuat saya menjadi orang biasa saja tanpa ada karunia apapun dan kelebihan-kelebihan di dalam diri. Keraguan dan pertanyaan tentang apakah ini memang karya Allah dan bukan kehendak diri saya. Dalam keraguan dan kegundahan tersebut sering sekali kehampaan dan kekosongan yang sangat panjang hadir dalam perjalanan panggilan ini.
Namun dalam pergulatan batin ini sangat banyak karya Allah yang saya alami baik secara iman, pengalaman batin, pengalaman mistik dan kerja Allah langsung. Saat membeli lahan pertapaan, membangun pondok dan kapel pertapaan yang terakhir ini, tak jarang Allah menunjukan kerja-Nya yang nyata. Dalam keterbatasan dan kekosongan saya Allah menyelenggarakan dan menyelesaikannya. Pembangunan kapel pertapaan bermula dari mohon doa melalui santo Yosef  suami Maria dalam rasa nekad karena situasi saat itu uang ditangan saya tidak lebih dari 3 (tiga) juta rupiah untuk memulai membangun kapel tersebut, namun keesokan harinya ada yang menelepon saya dan mengirimkan bantuan sebesar 10 (sepuluh) juta rupiah. Dan banyak hal-hal lain seperti peristiwa itu. Juga berkaitan pembayaran gaji dan pembelian bahan bangunan. Tak jarang bantuan datang dalam ketakterdugaan.
Walaupun banyak hal karya ALlh yang saya alami, kadang dalam keadaan dana yang menipis saya gundah dan berseru dalam doa, “Tuhan mau bagaimana saya buat”. Dalam keterbatasan inilah saya mulai ragu akan apa yang telah dikerjakan. Namun dalam keterbatasan ini pula Allah sering bertindak tak terduga. Dan karyaNya nyata dan dapat terlihat. Saya sangat yakin Allah berkarya dalam pengadaan pertapaan dan pembanguna ini.
Namun dalam kemanusian saya yang manusiawi ini tetap saja keraguan dan takut itu ada. Dari pihak keuskupan meminta saya untuk membekali diri saya dengan kuliah di STFT. Tak ada pemikiran dan angan-angan untuk kuliah atau menjadi imam sedari saya menjalani panggilan sebagai eremit ini. Namun dalan ketaatan saya harus berjalan. Kembali keraguan dan ketakutan hadir, karena saya harus mengusahakan biaya semuanya secara sendiri. Di awal saya yakin dan penuh semangat melangkah untuk memulai. Namun selanjutnya muncul banyak masalah yang harus saya hadapi. Tetap semuanya berhadapan dengan keterbatasan keuangan, membagi waktu untuk dua tempat tinggal dan ketakutan akan kemana panggilan ini melangkah. Keraguan dan kedongkolan hati saya meragukan dan mempertanyakan apakah semua ini bisa dijalani? Kembali satu-persatu Allah tunjukan caranya berkarya. Banyak orang yang membantu dan mendukung. Saya melihat ini adalah cara Allah berkarya.
Semua pengalaman ini sebenarnya menunjukan karya nyata Allah. Namun kemanusiawian diri saya ternyata sangat kuat. Akhir-akhir ini muncul pertanyaan dan keraguan saya akan apa yang saya jalani. Muncul dalam pikiran saya untuk berhenti dari perkuliahan. Dengan alasan, satu saat saya tetap kembali ke pertapaan apapun  akhirnya.  Panggilan awal untuk tinggal bertapa menjadi alasan utama saya. Namun pemikiran-pemikiran dan pertanyaan yang menghadirkan kegundahan batin saya hadir mengusik. Dan dalam situasi ini dilema harus saya terima. Saya harus jalani kuliah dalam ketaatan, namun batin saya mulai merasa berdosa karena terlalu larut dan disibukkan oleh tugas-tugas dan study. Gema panggilan awal untuk hidup sebagai eremit sangat mengusik batin saya. Saat-saat seperti ini menjadi saat paling kering dan kosong. Muncul keraguan dan kegundahan, “Allah apa yang Kau mau dariku, mau kemana semua ini tertuju.”
Panggilan berhadapan dengan yang Ilahi sungguh sangat misteri. Dalam ketidaktahuan dan kepasrahan dituntut kepercayaan penuh pada Allah. Namun kemanusiawian diri ini mejadi rapuh dan lemah ketika berhadapan dalam kenyataan dan keterdesakan diri akan realitas yang harus dihadapi. Saat-saat itulah keraguan dan pertanyaan yang menyesakkan batin akan “penyelenggaraan Allah dimana?” Kekosongan dan kehampaan meliputi kemanusiawian diri ini. Allah terasa jauh.
Berefleksi dari panggilan Musa oleh Allah, sungguh suatu yang sangat menarik. Ia dipersiapkan untuk rencana Allah. Namun dalam kesadaran kelemahan dirinya dan keraguan akan apa yang terjadi di depan menjadi alasan mencoba untuk menolak dan bahkan menghindari panggilan Allah tersebut. Namun Allah tetap berkarya dan tetap memberkati serta menyelenggarakan karya-Nya dalam cara-Nya yang sungguh sangat misteri.
Demikianlah saya mencoba berefleksi akan kelemahan dan keraguan dari kemanusiaan saya akan pertanyaan, “apakah ini karya Allah?”, “mau kemana panggilan ini tertuju?” Dalam kesesakan batin dan perasaan hampa, hal yang sulit adalah ketika di dalam doa muncul pertanyaan “dimanakah Engkau Allahku?” Pada saat seperti ini rasa ragu menjadi rasa bersalah dan berdosa. Dalam kisah Musa, saya melihat diri saya seperti orang Israel yang terus bersungut-sungut kepada Allah dan sering ragu pada Allah. Saya tersadar akan sikap Musa yang mencoba untuk mencari cara dan alasan untuk mengelak dari panggilan Allah. Demikianlah pengalaman yang bisa saya sampaikan akan belajar dari panggilan Musa dalam panggilan hidup saya.

KEWARGANEGARAAN: 2019,04,23, ASAS TRIAS POLITIKA MONTESQUIEU



ASAS TRIAS POLITIKA MONTESQUIEU
Trias Politika adalah, konsep pemerintahan yang kini banyak dipakai di banyak negara, Indonesia salah satunya. Konsep dasarnya adalah, suatu pemerintahan tidak boleh dikuasai atau diatur oleh satu kekuasaan namun harus dilaksanakan oleh beberapa lembaga struktur pemerintahan dalam pengembanan fungsional masing-masing dan saling bertautan atau mendukung.
Trias politika membagi kekuasaan dalam tiga lembaga pemerintahan yang berbeda, yakni; legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Yang mana  legislatif sebagai pembuat undang-undang, eksekutif pelaksana undang-undang, dan yudikatif pengawas atas keseluruhan terlaksananya pemerintahan. Penulis mencoba memaparkan pemikiran politik dari Montesquieu dalam pemikiran Trias Politicanya
Montesquieu (1689-1755)[1]
Montesquieu adalah seorang pemikir pada masa revolusi Prancis yang hidup di Era Pencerahan. Sebagai keturunan bangsawan yang mana kakeknya adalah presiden parlemen, Charles-Louis de Scondat Baron de La Brede et de Montesquieu lahir di Chateau de La Brede, Prancis, pada tanggal 18 Januari 1689. Ayahnya Jacques de Secondat adalah seorang pengawal kerajaan yang meninggal saat ia berumur 24 tahun, dan ibunya, Marie Francoise de Penel yang wafat saat Montesquieu berumur 7 tahun. Kemudian ia diasuh oleh pamannya, Jean Bastite de Secondat. Montesquieu menikah dengan Jeanne Lartigue pada usia 26 tahun, dan dikaruniai tiga orang anak.
Sebagai pemikir, Montesquieu memiliki pandangan mengenai kemerdekaan, hukum, keadilan dan kebebasan. Ia juga terkenal dengan teori pemisahan kekuasaan pemerintahannya atau saparation of power. Pemikirannya dikenal dan dianggap sebagai pemikir politik dan filsuf yang pro-demokrasi.
Pengalaman kehidupannya sebagai seorang bangsawan, ditambah pada masa itu muncul masa pencerahan dalam ilmu pengetahuan dan pemikiran. Hal ini menumbuhkan keberanian Montesquieu untuk memberi kritikannya kepada pemimpin pemerintahan dan pola kekuasaan dalam pemerintahan tersebut. Ia sangat menjunjung idealisme kehidupan negara yang hidup dalam keadilan.
Pemikiran dan karyanya
Ada tiga karya Montesquieu, yakni:
1.      Lettres Persanes” Surat-Surat Persia (The Persia Letter, 1721)[2] yang berisi kritik yang dilontarkan kepada raja Louis XIV dalam rupa novel atas kehidupan pemerintahan dan masyarakan terjadi ketimpangan, serta bersandarnya masyarakat pada solidaritas kepentingan. Ia menjuluki Louis XIV sebagai “tukang sulap” dan telah menyebabkan terjadinya pembodohan rakyat, pembantaian masal dan peristiwa-peristiwa berdarah lainnya. Karya ini mengungkapkan bagaimana pola kehidupan orang-orang Prancis pada masa itu, mulai dari kehidupan keseharian, situasi politik dan keagamaannya. Pada masa Pencerahan terjadi perubahan yang radikal di Barat. Isi karya ini lebih berupa cerita yang mengajak untuk bercermin diri dan mulai perpikir dan kritik pedas pada pola hidup yang merosot. Montesquieu juga banyak mengkritik kebijakan pemerintah yang sepihak dan mengutamakan kebijakan yang memperhatikan kehidupan rakyat. Karya ini di tulis anonym, karena menjaga status Montesquieu yang pada masa itu sebagai anggota parlemen.

2.      “Considerations surles causes de la grandeur des Romains et de leur decadence”, Sejarah Kebesaran dan Kejatuhan Romawi (Considerations on the Cause of Romans’ Greatness and Decline, 1734)[3] berisi tentang sejarah kekaisaran Romawi dan system perpolitikannya yang paling lengkap. Karya ini mengandung sindiran pada kekuasaan otoritas Gereja di prancis, dengan memaparkan bagaimana sejarah penyebab kemerosotan bangsa dimasa Romawi yang sarat dengan kepemimpinan Negara dan gereja. Ia lebih fokus mengkisahkan cerita tentang kejayaan dan keruntuhan Romawi dalam kaitannya dengan sistim kehidupan masyarakat, pemerintah dan kuasa pemerintahannya. Montesquieu menggambarkan Roma hanya sebagai suatu ibukota pemerintahan imperium Romawi, yang mana digambarkan sebagai tempat berkumpulnya banyak orang untuk membicarakan hal-hal sosial dan pengetahun. Sistim pemerintahan dan kuasa pemerintahan pada masa itu tidak sesuai dengan kehidupan kenegaraan pada masa sekarang ini. Ia sampai pada anggapan bahwa Roma tidak dapat dijadikan model pemerintahan untuk masa sekarang ini. Dari tulisan inilah membawa pada konsep perumusan tulisan selanjutnya tentang kuasa dan pemerintahan yang digagas Montesquieu dalam teorinya.

3.      De L’Esprit des Lois” Semangat Hukum (The Spirit of Law, 1748)[4] dalam judul Magnus Opus menulis tentang alternatif-alternatif politik dalam pemerintahan. Di dalamnya termuat bagaimana bentuk hukum dan bentuk pemerintahan.  Dalam bagian pengantar dan buku pertama, Montesquieu memaparkan perbedaan hukum dan kehidupan secara umum serta ia menggambarkan terbentuknya pemerintah yang bijaksana. Karya ini dibagi menjadi enam bagian. Bagian pertama berisi tentang hukum dan bentuk-bentuk pemerintahan (book I)[5]. Kedua, membahas mengenai pengaturan militer, pajak dan sebagainya (books II-VIII)[6]. Ketiga, membahas alam dan iklim (book XI)[7]. Keempat, membahas mengenai perekonomian (book XV)[8]. Kelima, membahas agama (book XIX, XXIV, XXV)[9]. Keenam, berisikan uraian hukum Romawi, hukum Prancis dan Feodalisme (books XXVIII, XXX, XXXI)[10].
Pemikiran Montesquieu mengacu pertama pada peran lingkungan  dan keadaan dalam bentuk hukum dalam masyarakat; prinsip hidup serta hubungan antara norma dan relativitas antara hukum dan masyarakat. Ia sering merangkai lingkungan, sejarah, geografi, dan iklim dimana orang-orang tinggal dalam tulisannya. Menurutnya tidak ada aturan yang pasti dan tidak ada bentuk pemerintahan yang berlaku sama bagi semua masyarakat. Menurutnya bentuk pemerintahan yang paling tepat adalah pemerintahan yang paling sesuai dengan karekter masyarakatnya dimana mereka didirikan menjadi suatu pemerintahan.
Montesquieu membagi pemerintahan menjadi tiga bagian, yakni republik[11], monarki[12], dan despotik[13]. Republik dapat berupa bentuk demokrasi, ketika kedaulatan diserahkan kepada kerakyatan yang mana pemimpin dipilih oleh rakyat dan mengakui kebebasan politik rakyat dan tunduk kepada kontitusi, atau aristrokasi[14], ketika kekuasaan tertinggi hanya diserahkan sebagai anggota masyarakat. Monarki adalah pemerintahan kontitusional oleh satu orang berdasarkan keturunan (raja, ratu, kaisar), sedangkan depotisme adalah negara yang diperintah oleh seorang raja tanpa berlandaskan undang-undang atau aturan tertulis sehingga kekuasaan yang sewenang-wenang oleh satu orang. Monarki juga membutuhkan  keberadaan aristokrasi atau beberapa kekuasaan perantara yang berdiri antara penguasa dan rakyat yang bertindak sebagai penengah. Despotisme tidak mentolerir intervensi semacam apapun; pedang penguasa yang diacungkan menjadi aturan dan pedomannya. Karena pemerintahannya tidak dibatari oleh hukum selain dirinya sendiri.
Sebuah republic dijalankan atas civic virtue (keutamaan warganegara) dan spirit republik berasal dari rakyat. Hal yang paling diutamakan adalah kebaikan umum. Semua itu didukung oleh rakyat yang berjiwa patriotisme, jujur, sederhana dan menjunjung persamaan dalam perbedaan.
Montesquieu mendefenisikan hukum sebagai rasio manusia yang mengatur semua warga. Hukum politik dan sipil suatu Negara harusnya hanya merupakan kasus-kasus particular sebagai buah dari proses akal manusia dan harus disesuaikan dengan orang-orang yang untuk merekalah hukum tersebut berlaku. Perbedaan tempat dan masa ini menyebabkan adanya perbedaan kebiasan adat istiadat. Pengaruh iklim, alam lingkungan sekitar dan sebagainya juga menjadi penyebab perbedaan hukum. Oleh karena itu terdapat perbedaan hukum dan sifat-sifat pemerintahan di tiap-tiap negara. Ia juga berpendapat bahwa keadilan merupakan suatu pengertian yang telah ada terlebih dahulu sebelum adanya hukum positif. Oleh karena itu dalam suatu masyarakat, manusia harus menyesuaikan diri dengan keadilan. Hukum positif yang sesuai dengan keadilan adalah hukum yang benar.
Sejarah Trias Politika
Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh John Locke (1632-1704). John Locke merumuskan teori ini dalam tulisannya dalam tulisan Two Treatises of Government (1690). John menyebutkan bagaimana pemerintah harus melindungi manusia yang bekerja dan juga melindungi milik setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut. Hal itu terjadi karena raja dilihat sewenang-wenang melakukan akuisisi atas milik para bangsawan yang berada dalam posisi rentan untuk dikuasai. Maka dari itu pihak bangsawan sering melakukan perang terhadap raja. John melihat pemerintah ada dalam tujuan untuk melindungi warganya. Atas kuasa yang dilihat sangat absolute atas satu pelaku yakni raja, maka menurut John Locke kekuasaan tersebut harus dipisah antara legislatif, eksekutif, dan federatif.
Setelah membaca karya John Locke, Montesquieu mengajukan pemikiran politiknya. Pemikirannya tersebut termuat dalam karyanya Spirits of the Laws, dalam Magnum Opus. Montesquieu menulis begini: dalam setiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislative menyangkut pembuatan hukum; kekuasaan eksekutif mengenai hal-hal yang berkenan dengan hukum antara bangsa; dan kekuasaan yudikatif yang mengenai hal-hal yang berkenaan dengan hukum sipil.
Konsep Trias Politika Montesquieu
Trias Politica adalah konsep pemisah kekuasaan negara yang membagi tiga badan kekuasaan, yakni: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Montesuieu membaginya menjadi tiga dan harus terpisah satu sama lain (independen) namun dalam peringkat yang sejajar satu samalain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun instrument yang menyelenggarakannya. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga ini diperlukan agar ketiga lembaga Megara itu bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.



Perinsip dasarnya bahwa kekuasaan suatu pemerintahan tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di dalam kelembagaan-kelembagaan pemerintahan tersebut.
1.      Lembaga Legislatif
Legislatif menjadi badan instrumen yang berkuasa membentuk, memperbaiki, dan mengamandemen undang-undang. Fungsi dari badan legislatif yakni:
a.       Constituency Work adalah fungsi badan legislatif untuk bekerja bagi para pemilihnya. Seorang legislator mewakili rakyat membuat perundang-undangan dengan memperhatikan kehidupan masyarakatnya
b.      Supervisioan and Criticism Government adalah fungsi untuk mengawasi jalannya pelaksanaan undang-undang oleh eksekutor (presiden dan para menteri) dan mengkritiknya jika terjadi ketidaksesuaian. Dalam menjalankan fungsinya, legislator  dengan mendengarkan pendapat, interpelasi, angket, maupun mengeluarkan mosi kepada eksekutor.
c.       Education adalah fungsi legislator untuk memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat. Mereka sebagai wakil rakyat harus menjaga amanat dari para rakyatnya. Maka mereka harus memberi pengertian kepada masyarakat bagaimana kehidupan bernegara yang baik.
d.      Representation adalah fungsi dari legislatif sebagai wakil rakyat[15]. Mereka bukan hanya menerima kuasa atas kekuasaan yang diberikan namun kekuasaan itu berasal/dipercayakan oleh rakyat pada mereka maka mereka adalah representasi dari rakyat itu sendiri dalam kuasa pemerintahan.

2.      Lembaga Eksekutif
Eksekutif menjadi badan instrument yang berkuasa meliputi pelaksanaan  undang-undang, menjadi keamanan negara, serta menetapkan keadaan damai dan perang. Fungsi dari badan eksekutif yakni:
a.       Head of Government adalah kepala pemerintahan (presiden dan dibantu oleh para menteri).
b.      Party Chief adalah seorang kepala eksekutif sekaligus juga merupakan kepala dari suatu partai yang menang pemilihan.
c.       Commander in Chief adalah fungsi mengepalai angkatan bersenjata.
d.      Chief Diplomat adalah fungsi eksekutif untuk mengepalai duta-duta besar yang tersebar di perwakilan negara di seluruh dunia.
e.       Dispensen Appointment adalah fungsi eksekutif untuk menandatangani perjanjian dengan negara lain atau lembaga internasional.
f.       Chief Legislation adalah fungsi eksekutif untuk mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang. Meskipun kekuasaan membuat undang-undang berada di tangan legislatif, tetapi di dalam sistim tata negara dimungkinkan lembaga eksekutif mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang untuk kebutukan nyata dan mendesak dalam kemasyarakatan.

3.      Lembaga Yudikatif
Yudikatif menjadi badan instrument yang berkuasa menerapkan serta mempertahankan undang-undang, dan mengadili pelanggaran-pelanggaran yang terjadi terhadap undang-undang. Fungsi dari badan yudikatif yakni:
a.       Criminal Law adalah fungsi yudikatif oleh pengadilan pidana dalam menerapkan hukum pada masyarakatnya.
b.      Constitusion Law adalah fungsi dalam penyelesaian masalah konstitusi yang diberlakukan dalam lembaga dan masyarakat.
c.       Administrative Law adalah fungsi penyelesaian sengketa perdata dalam masyarakat.
d.      International Law adalah fungsi penyelesaian hukum bukan atas hukum dalam kenegaraannya melainkan internasional.
Trias Politika merupakan pemisahan kekuasaan yang mana pemerintahan berdaulat harus dipisahkan menjadi tiga kekuasaan yang bertujuan untuk mencegah satu orang/kuasa penentu mutlak dan absolute dalam memutuskan sesuatu dalam pemerintahan yang majemuk. Indikasi otoriter dan penyalahgunaan kuasa menjadi kekhuatirannya.





Refleksi Kritis
Montesquieu dalam pemikiran lewat karya-karyanya ia menunjukan kritik-kritik yang berisi penilaian yang sangat menjunjung pemerintahan kerakyatan yang adil. Pemaparannya mengenai kehidupan orang-orang Prancis pada masa itu menunjukan bahwa ia berkarya lewat apa yang ia alami dan memberi masukan walaupun lewat kritik yang pedas. Ia memberi tanggapan atas banyak hal dalam kehidupan dan semuanya di arahkan pada satu tujuan yakni bentuk pemerintahan yang baik dalam asas Trias Politikanya. Ia memberi gambaran-gambaran bentuk pemerintahan yang baik dan kurang baik. Dan ia sampai pada kesimpulan bahwa pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang menjujung kebaikan bersama.
Hal ini sangat menarik untuk penulis sendiri, dapat mengetahui akar pemikiran Trias Politika dari Montesquieu. Hal ini membuka wawasan saya akan model pemerintahan ini yang juga dipakai oleh pemerintahan Indonesia. Namun menurut saya apa yang dipaparkan oleh Montesquieu belum sepenuhnya dapat terlaksana oleh ketiga badan pemerintahan yang diutarakannya. Seperti pada masa sekarang ini, orang mengejar kekuasaan atas kehendak dan kepentingan pribadi. Badan legislatif sangat dipengaruhi kepentingan partainya sendiri dan bahkan pada masa ini sangat menonjol kepentingan agama saat ini.
Hal ini juga yang membuat penulis berpikir dan merefleksikan seperti apa yang disampaikan oleh Montesquieu bahwa bentuk pemerintahan akan terus disesuaikan dalam masa dan pola kemasyarakatannya. Akankan ada bentuk penyempurnaan dari bentuk pemerintahan yang diajukan Montesquieu atau akan muncul bentuk pemerintahan yang baru dalam pola dan bentuk yang dapat mengatur kemajemukan di Indonesia saat ini?







Daftar Pustaka
1.      Richter, Melvin. The Political Theory of Montesquieu. London: Cambridge University Press, 1977.




[1]  Melvin Richter, The Political Theory of Montesquieu, (London: Cambridge, 1977), hlm. 9-17.
[2]  Melvin Richter, The Political… hlm. 31.
[3]  Melvin Richter, The Political… hlm. 51.
[4]  Melvin Richter, The Political… hlm. 57.
[5]  Melvin Richter, The Political… hlm. 64-69.
[6]  Melvin Richter, The Political… hlm. 70-84.
[7]  Melvin Richter, The Political… hlm. 84-97.
[8]  Melvin Richter, The Political… hlm. 97-98.
[9]  Melvin Richter, The Political… hlm. 98-102.
[10]  Melvin Richter, The Political… hlm. 102-105.
[11]  Melvin Richter, The Political… hlm. 188-190.
[12]  Melvin Richter, The Political… hlm. 191-193.
[13]  Melvin Richter, The Political… hlm. 194-196.
[14]  Melvin Richter, The Political… hlm. 191.
[15]  Melvin Richter, The Political… hlm. 209.