Sabtu, 17 November 2018

KEWARGANEGARAAN: FENOMENA AGAMA TRADISIONAL YANG MULAI DILUPAKAN



Fenomena Agama  Tradisional Nusantara Yang Mulai Dilupakan
Berangkat dari defenisi J.W.M. Bakker, agama sebagai keyakinan hidup rohani pemeluknya, baik perseorangan maupun sebagai jemaat, adalah jawaban manusia kepada panggilan Ilahi di dalam alam dan rahmat.[i] Kita mencoba melihat agama (kepercayaan) Nusantara yang mulai terlupakan oleh agama-agama import yang masuk ke Nusantara dan menjadi agama negara. Namun agama (kepercayaan) nenek moyang yang bisa dikatakan asli mulai terlupakan dan sampai hilang atas kehadiran agama import.
1.      Fenomenologi Agama Tradisional Nusantara
Fenomenologi agama  adalah penyelidikan sitematis dari sejarah agama yang bertugas mengklasifikasikan menurut cara tertentu sejumlah data yang tersebar luas sehingga suatu pandangan yang menyeluruh dapat diperoleh dari isi agama-agama tersebut dan makna religious yang dikandungnya.[ii] Dalam pendalaman ini sangat dibutuhkan pemahaman yang mendalam akan sikap-sikap keagamaan dan kebiasaan-kibiasaannya seperti, doa, upacara-upacara kurban dan sakramen, konsep-konsep religiusnya sebagaimana termuat dalam mitos-mitos dan symbol-simbol, kepercayaan-kepercayaannya berkenaan dengan yang suci, mahluk-mahluk supranatural, dewa-dewa dsb. Hal inilah yang hendak kita lihat secara sekilas dari perjalanan keagamaan Nusantara yang ada.
Secara umum gambaran kepercayaan kepada Sang Hyang Widi (agama Bali), Debata Mulajadi Nabolon (Parmalim), Kawula lan Gusthi (Kejawen), Ranying (Kaharingan) dan banyak lagi sebutan yang tertuju dan terpusat pada Allah Yang Esa menunjukan ada kesamaan kepercayaan pada Ke-Esa-an Allah. Dan banyak ciri lain yang dapat diartikan bahwa ketuhanan Nusantara sebagai wakil dari kepercayaan setiap daerah dan budaya terlebur menjadi satu yakni Tuhan Yang Maha Esa. Selain hal itu banyak juka bentuk-bentuk kepercayaan pada keberadaan tingkatan kosmik, kekuatan jahat yang disimbolkan pada sosok jelmaan yang menjadi presentase dari kematian, neraka dan kejahatan. Tata upacara dan kurban. Adanya hubungan yang tak terpisahkan antara hidup manusia dan alam semesta. Semua ini mau mengkisahkan kumpulan kepingan yang menjadi pembahasaan akan kepercayaan pada Allah dalam ketuhanan di setiap daerah dan budaya yang ada di seluruh Nusantara. Semua ini mau mengatakan bahwa sejak dahulu “nenek moyang Nusantara” telah bertuhankan “Tuhan Yang Esa.”  Dapat kita simpulkan Agama tradisional yakni agama-agama yang, berbeda dengan agama-agama dunia yang telah tersebar di banyak negeri dan budaya, tetap dalam lingkungan  sosiokultural aslinya.[iii]
2.      Agama menurut Negara Indonesia
Sebagai dasar Negara Indonesia, Pancasila menempatkan pada butir pertamanya sari dari kepercayaan  dan nilai-nilai eksistensi bangsa ini dengan berlandaskan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tepat pada tanggal 1 Juni 1945 Soekarno memberikan usulan tentang esensi sila pertama tentang “Ketuhanan”, yakni; “Perinsip Indonesia Merdeka dengan bertakwakan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan. Tuhan sendiri. …marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya negara ialah negara yang tiap orangnya menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendakna bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘Egoisme agama’. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang bertuhan.” [iv] Demikianlah betapa sedari awal, bangsa Indonesia sangat melandaskan jati dirinya sebagai suatu bangsa yang bertuhan yakni, “Tuhan Yang Maha Esa.”[v]
Bangsa ini menjadi bangsa yang bertuhan. Dalam sila pertama secara implisit tentang “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan dasar tersimpulkan sila tersebut yakni bahwa sebelum Negara Indonesia terbentuk, bangsa ini telah memiliki kepercayaan akan Tuhan Yang Esa seperti kepercayaan dari nenek moyang bangsa ini. Namun secara eksplisit Negara Indonesia sampai saat ini hanya mengakui 6 (enam) agama, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Pada abad ke-4 agama Hindu dan Budha masuk ke Nusantara, abad ke- 14 agama Islam, abad ke-16 agama Katolik dam Protestan. Dari statistiknya dapat kita lihat bahwa hampir 87,18 % penduduk Indonesia menyatakan diri beragama Islam, 9.8% beragama Kristen dan Katolik, 1,69% beragama Hindu, dan 0,72 % beragama Budha di tahun 2010.[vi] Demikianlah perkembangan terus berlanjut memberi gambaran yang baku bahwa agama resmi di Negara Indonesia hanya ke enam agama yang telah diterima oleh negara.  Sedangkan diluarnya itu menjadi “Penghayat Kepercayaan.”
3.      Dimanakah Berdiri “Ketuhanan” dari Agama Tradisional Nusantara saat ini?
Dalam sejarahnya Indonesia yang adalah Nusantara (sumpah Gajah Mada) yakni, kumpulan dari seluruh kepulauan dan budaya, memiliki banyak macam kebudayaan, yang di dalamnya juga memiliki banyak kepercayaan (ketuhanan) seturut daerah dan budaya yang ada. Agama Bali, Djawa Sunda, Aluk Todolo, Kejawen, Parmalim, Wetu Telu, Merapu dan disebutkan bahwa ada 187 Penghayat Kepercayaan terdaftar di Indonesia. [vii] Ini mau menunjukan Indonesia memiliki banyak bentuk kepercayaan akan “Ketuhanan”. Namun dari semua agama yang dianut oleh sebagian besar warga Indonesia adalah agama-agama yang datang dari luar Nusantara (Indonesia). Apakah tidak ada kearifan dari agama tradisional? Apakah tidak ada ajaran kebaikan dalam agama tradisional? Bukankah dalam agama tradisional juga dipercaya Allah Yang Esa? Menjadi refleksi dan permenungan bagi kita, dengan apa yang dikatakan pribahasa “dimana bumi dipijak, di situ langit di junjung.” Apakah agama tradisional dahulu yang menjadi kepercayaan “Ketuhanan” nenek moyang kita yang adalah runtutan dari sejarah kehidupan kita, nusantara ini dan dan Negara Indonesia ini telah menjadi kisah masa lalu yang tinggal cerita dalam sejarah Agama Indonesia?
Agama tradisional dalam segala keberadaannya tetap memiliki keyakinan kepada Tuhan Yang Esa. Mereka yang sampai saat ini masih mencoba mempertahankannya adalah orang-orang yang mencoba hidup dalam keyakinan yang sama dengan agama-agama Negara yang yakin akan keselamatan. Sila pertama dalam Pancasila dan gagasan pembentukannya memegang teguh bahwa Bangsa ini adalah Bangsa bertuhan. Namun belum memeluk semua ketuhanan yang ada di Nusantara ini. Karena yang ada dan diakui masih hanya 6 agama saat ini. Dapat dikatakan bahwa fenomena agama di Nusantara (Indonesia) ini merupakan fenomena sejarah agama Import yang masuk ke Nusantara, belum benar-benar sebuah Fenomena Agama Nusantara.



[i]   J.W. M. Bakker, Filsafat Kebudayaan, (Yogyakarta:Kanisius, 1984), hlm. 47.
[ii] Mariasusai Dhaamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta:Kanisius, 1995), hlm. 25-26.
[iii]  Surat Dewan Kepausan Untuk Dialog Antaragama kepada para Ketua Konferensi Uskup di Asia, Amerika dan Oseana, (Pontificial Council for Interreligius Dialogue, Pastoral Attention to traditional religions) (seri Dokumen Gereja No. 85), diterjemhkan oleh Piet Go (Jakarta:Dokumen dan Penerangan KWI, 2007), no. 2.
[iv]  Bambang Suteng Sulasmono, Dasar Negara Pancasila, (Yogyakarta:Kanisius,2015), hlm. 16.
[v]  Michel Pichard, Remy Madinier, The politics of Religion in Indonesia, (New York:Routledge, 2011), hlm. 11-14.
[vi] Leo, Srie Gunawan, Fenomenologi Agama, (Pematangsiantar:STFT, 2018), hlm. 1, (diktat pertemuan V)
[vii]  Moh. Nadlir, Ada 187 Kelompok Penghayat Kepercayaan yang Terdaftar di Pemerintah, https://nasional.kompas.com/read/2017/11/09/12190141.htm, diakses 09/11/2017, 12.19 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar