BERCERMIN DARI PANGGILAN MUSA
(Menjawab Panggilan Allah Dalam
Hidupku)
Menjawab
panggilan Allah akan suatu cara hidup yang khusus, yang kita anggab adalah cara
hidup yang dibaktikan untuk karya Allah menjadi suatu cara menjawab di mana
kita yang mengalami panggilan tersebut mencoba menjawab suatu yang tidak kita
mengerti dan tahu bagaimana tujuan akhirnya, namun kita tetap mencoba dan
terlebih mengerti apa yang menjadi kehendak Allah atas diri kita dan atas
tujuan karya Allah tersebut dalam “kemisteriannya”. Demikianlah Musa yang
dipanggil Allah untuk memulai karya Allah. Hidup Musa sedari awal dipersiapkan
dengan cerita ia diangkat oleh puteri Mesir namun tetap disusui oleh inangnya.
Sampai pada ia membunuh tentara Mesir dalam statusnya sebagai orang Mesir demi
membela orang Israel yang dianiaya. Ia lari dan menjadi buronan. Ia menikah dan
menjadi penjaga ternak. Dan sejak dari inilah ia dimulai dipanggil dalam
peristiwa semak duri yang bernyala namun tidak terbakar. Musa dipanggil Allah.
Musa
tidak langsung menyetujui panggilan Allah tersebut. Ia ragu, bertanya dan
mencoba mengelak akan apa yang Allah rencanakan. Dari ini saya berangkat
tentang panggilan yang saya jalani saat ini menjadi seorang rahib. Pengalaman
Musa coba saya refleksikan dengan panggilan yang saya coba jawab.
Bermula sewaktu SD kelas 3, saya dalam
kesadaran dan keyakinan bersujud dan memegang altar gereja seraya memandang
salib menjanjikan dalam hati akan menjadikan diriku persembahan kepada Allah
dan tidak akan menikah seumur hidupku. Inilah awal di mana saya masuk kepada
panggilan tersebut. Semuanya dimulai dan terjadi secara mengalir.
Bapak
dahulu adalah seorang mantan seminaris. Hal ini menjadi hal pendukung untuk
saya. Di rumah, tepatnya di kamar tidur, di sudut tempat belajar ada tempat doa
yang dihiasi gambar dan patung rohani. Di sana saya menjalani hidup kerohanian
saya. Di sana juga saya mulai belajar berdiam diri. Saat itu saya belum
mengerti yang namanya meditasi. Namun saya mencoba duduk tenang berdiam diri
dalam waktu yang lama di bangku tempat doa tersebut. Orang tua sudah mengerti
jika saya lama keluar dari kamar dan pintu terkunci, mereka tahu saya sedang
berdoa. Saat jalan kaki pergi sekolah dan les saya melakukan doa Rosario atau
mengulang-ulang doa Bapa Kami dan Salam Maria. Hal itu menjadi hal yang menarik
dan terus saya lakukan. Saya juga aktif mengikuti kegiatan Asmika dan Areka.
Dan saya juga aktif menjadi Mesdinar di gereja. Saya sunggu merasa ada hal yang
menarik dan memperdaya diri saya ketika saya ikut aktif dalam segala kegiatan
gereja.
Pengalaman
rohani yang telah dimulai berlanjut ketika di Seminari Menengah. Hidup doa diam-diam
saya jalani. Setiap hari saya meletakkan sekuntum mawar di kaki patung Maria,
doa silih dan kerahiman diruang sayap yang tertutup oleh gorden, juga laku tapa
dengan tidur di kerikil dan meditasi saat pagi-pagi buta. Hal yang mirip juga
terlaksana saat saya menjadi Postulan dan Novis Kapusin. Hidup doa, meditasi,
kontemplasi, silih, dan ulatapa, serta sering tinggal dalam kesendirian dan
menyepi menjadi kehidupan yang teraman sangat saya cintai. Banyak pengalaman
rohani dan mistik serta supranatural yang pernah saya alami. Semuanya itu
menjadi pengalaman-pengalaman yang meneguhkan dan memurnikan terus panggilan
dan cara hidup saya.
Tepatnya
tanggal 21 Januari 2009 saya memulai cara hidup eremit. Dengan tinggal di
sebuah gua di perbukitan Simarbalatuk, tepatnya di desa Buntumalasang kecamatan
Parapat Girsang Simpangan Bolon. Saya dianggap “gila”, “aneh”, “stres” dan
banyak lagi asumsi-asumsi negatif yang muncul. Hal itu bukan hal yang baru bagi
saya, karena sejak dari seminari asumsi-asumsi seperti ini sudah ada. Sampai
saya dikatakan kerasukan roh aneh dan seorang dukun yang punya kekuatan magis.
Semua itu memang karena apa yang saya pilih dan jalani.
Sering
dalam doa saya meragukan apakah ini benar panggilan dan karunia dari Allah. Dan
tak jarang dalam doa saya meminta kepada Allah untuk membersihkan, mengambil
dan membuat saya menjadi orang biasa saja tanpa ada karunia apapun dan
kelebihan-kelebihan di dalam diri. Keraguan dan pertanyaan tentang apakah ini
memang karya Allah dan bukan kehendak diri saya. Dalam keraguan dan kegundahan
tersebut sering sekali kehampaan dan kekosongan yang sangat panjang hadir dalam
perjalanan panggilan ini.
Namun
dalam pergulatan batin ini sangat banyak karya Allah yang saya alami baik
secara iman, pengalaman batin, pengalaman mistik dan kerja Allah langsung. Saat
membeli lahan pertapaan, membangun pondok dan kapel pertapaan yang terakhir ini,
tak jarang Allah menunjukan kerja-Nya yang nyata. Dalam keterbatasan dan kekosongan
saya Allah menyelenggarakan dan menyelesaikannya. Pembangunan kapel pertapaan
bermula dari mohon doa melalui santo Yosef
suami Maria dalam rasa nekad karena situasi saat itu uang ditangan saya
tidak lebih dari 3 (tiga) juta rupiah untuk memulai membangun kapel tersebut,
namun keesokan harinya ada yang menelepon saya dan mengirimkan bantuan sebesar
10 (sepuluh) juta rupiah. Dan banyak hal-hal lain seperti peristiwa itu. Juga
berkaitan pembayaran gaji dan pembelian bahan bangunan. Tak jarang bantuan
datang dalam ketakterdugaan.
Walaupun
banyak hal karya ALlh yang saya alami, kadang dalam keadaan dana yang menipis
saya gundah dan berseru dalam doa, “Tuhan mau bagaimana saya buat”. Dalam
keterbatasan inilah saya mulai ragu akan apa yang telah dikerjakan. Namun dalam
keterbatasan ini pula Allah sering bertindak tak terduga. Dan karyaNya nyata
dan dapat terlihat. Saya sangat yakin Allah berkarya dalam pengadaan pertapaan
dan pembanguna ini.
Namun
dalam kemanusian saya yang manusiawi ini tetap saja keraguan dan takut itu ada.
Dari pihak keuskupan meminta saya untuk membekali diri saya dengan kuliah di
STFT. Tak ada pemikiran dan angan-angan untuk kuliah atau menjadi imam sedari
saya menjalani panggilan sebagai eremit ini. Namun dalan ketaatan saya harus
berjalan. Kembali keraguan dan ketakutan hadir, karena saya harus mengusahakan
biaya semuanya secara sendiri. Di awal saya yakin dan penuh semangat melangkah
untuk memulai. Namun selanjutnya muncul banyak masalah yang harus saya hadapi.
Tetap semuanya berhadapan dengan keterbatasan keuangan, membagi waktu untuk dua
tempat tinggal dan ketakutan akan kemana panggilan ini melangkah. Keraguan dan
kedongkolan hati saya meragukan dan mempertanyakan apakah semua ini bisa
dijalani? Kembali satu-persatu Allah tunjukan caranya berkarya. Banyak orang
yang membantu dan mendukung. Saya melihat ini adalah cara Allah berkarya.
Semua
pengalaman ini sebenarnya menunjukan karya nyata Allah. Namun kemanusiawian
diri saya ternyata sangat kuat. Akhir-akhir ini muncul pertanyaan dan keraguan
saya akan apa yang saya jalani. Muncul dalam pikiran saya untuk berhenti dari
perkuliahan. Dengan alasan, satu saat saya tetap kembali ke pertapaan apapun akhirnya. Panggilan awal untuk tinggal bertapa menjadi
alasan utama saya. Namun pemikiran-pemikiran dan pertanyaan yang menghadirkan
kegundahan batin saya hadir mengusik. Dan dalam situasi ini dilema harus saya
terima. Saya harus jalani kuliah dalam ketaatan, namun batin saya mulai merasa
berdosa karena terlalu larut dan disibukkan oleh tugas-tugas dan study. Gema
panggilan awal untuk hidup sebagai eremit sangat mengusik batin saya. Saat-saat
seperti ini menjadi saat paling kering dan kosong. Muncul keraguan dan
kegundahan, “Allah apa yang Kau mau dariku, mau kemana semua ini tertuju.”
Panggilan
berhadapan dengan yang Ilahi sungguh sangat misteri. Dalam ketidaktahuan dan
kepasrahan dituntut kepercayaan penuh pada Allah. Namun kemanusiawian diri ini
mejadi rapuh dan lemah ketika berhadapan dalam kenyataan dan keterdesakan diri
akan realitas yang harus dihadapi. Saat-saat itulah keraguan dan pertanyaan
yang menyesakkan batin akan “penyelenggaraan Allah dimana?” Kekosongan dan
kehampaan meliputi kemanusiawian diri ini. Allah terasa jauh.
Berefleksi
dari panggilan Musa oleh Allah, sungguh suatu yang sangat menarik. Ia
dipersiapkan untuk rencana Allah. Namun dalam kesadaran kelemahan dirinya dan
keraguan akan apa yang terjadi di depan menjadi alasan mencoba untuk menolak
dan bahkan menghindari panggilan Allah tersebut. Namun Allah tetap berkarya dan
tetap memberkati serta menyelenggarakan karya-Nya dalam cara-Nya yang sungguh
sangat misteri.
Demikianlah
saya mencoba berefleksi akan kelemahan dan keraguan dari kemanusiaan saya akan
pertanyaan, “apakah ini karya Allah?”, “mau kemana panggilan ini tertuju?” Dalam
kesesakan batin dan perasaan hampa, hal yang sulit adalah ketika di dalam doa
muncul pertanyaan “dimanakah Engkau Allahku?” Pada saat seperti ini rasa ragu
menjadi rasa bersalah dan berdosa. Dalam kisah Musa, saya melihat diri saya
seperti orang Israel yang terus bersungut-sungut kepada Allah dan sering ragu
pada Allah. Saya tersadar akan sikap Musa yang mencoba untuk mencari cara dan
alasan untuk mengelak dari panggilan Allah. Demikianlah pengalaman yang bisa
saya sampaikan akan belajar dari panggilan Musa dalam panggilan hidup saya.