Sabtu, 17 November 2018

BUDAYA: CONTOH SIFAT-SIFAT KESUCIAN DARI SUDUT PANDANG SOSIOLOGI MENURUT E. DURKHEIM DALAM KEBUDAYAAN DI INDONESIA



Contoh sifat-sifat Kesucian dari Sudut Pandang Sosiologis Menurut Durkheim dalam kebudayaan di Indonesia

Dalam tulisan “ The Sacred and The Profane in Consumer Behavior : Theodicy on The Adyssey”, Russell W. Belk, Melanie Wallendorf, dan John F. Sherry, Jr. memakai gagasan Durkheim tentang sifat-sifat kudus dalam suatu keagamaan dari sudut pandang sosiologis. Ada 12 sifat kudus yang ditentukan oleh Durkheim, yakni: hierophany, kratophany, oposisi terhadap yang profan, kurban persembahan, komitmen, objektifikasi, ritual, mitos, misteri, komunitas, ziarah dan ekstase.
Ke-12 sifat ini menjadi benang pengukur tentang sifat kudus dari suatu benda, tempat, waktu dan tindakan dalam keagamaan. Dengan sifat kekudusan ini kita dapat membedakan hal yang sakral dan profane dalam banyak hal untuk sampai kepada pemahaman yang tepat akan gagasan sakral dan profane itu sendiri menurut kacamata sosiologi.
Demikian pun, defenisi dari sifat-sifat kesucian ini dapat dilihat dari macam-macam pola keagamaan dari kebudayaan di Indosnesia. Hal inilah yang hendak kita lihat dalam tulisan ini. Setiap sifat kesucian ini akan diberikan contoh pola keagamaan dan kebudayaan di Indonesia.

1.     Hierophany
Hierophany adalah tindakan manifestasi fisik dari hal yang sakral dan suci . Hal yang kudus itu mengungkapkan sepenuhnya dirinya secara meluas sebagai “sesuatu dari tatanan yang sepenuhnya berbeda, sebuah realitas yang bukan milik dunia kita”. Dalam pandangan psikologis Eliade, hierophany melibatkan gagasan bahwa yang sakral tidak memanifestasikan dirinya kepada semua orang. Durkheim juga melihat yang sakral sebagai mahluk ciptaan individu; namun dalam pandangan sosiologisnya, yang sakral muncul secara kolektif di mana masyarakat memindahkan hal-hal tertentu dari pandangan manusia biasa.
Contoh: Heda (keda)[1]; kuil tempat tingal roh-roh. (kebudayaan Flores Tengah)
Heda biasanya didirikan di dekat hanga. Di dalam heda tersebut biasanya disimpan anadeo, yaitu, pasangan patung bapa dan ibu asal suku di bawah kepemimpinan seorang mosalaki. Patung tersebut biasanya telanjang dan hanya bagian genitalnya yang ditutup dengan kain. Kelihatannya, pada zaman dahulu bagian genital itu tidak ditutup karena membahasakan kesuburan dan kemakmuran. Heda adalah symbol laki-laki; tidak ada hasil dan kelahiran di heda. Wanita dilarang masuk ke dalam heda. Symbol wanita adalah rumah adat; di sana ada kesuburan dan kelahiran. Biasanya, pada salah satu bagian dinding atau pintu rumah adat dipahat buah dada wanita yang mengungkapkann kesuburan rumah tersebut. Di rumah adat juga disimpan emas yang biasanya bermotif vulva yang jelas mempunyai hubungan metaforis dengan wanita.



2.     Kratophany
Yang sakral memunculkan kedua pendekatan yang kuat dan kecenderungan penghindaran yang kuat. Ambivalensi ini menciptakan kekuatan yang berlebih-lebihna, yang manifestasinya disebut kratophany. Ambivalensi itu dapat diartikan juga sebagai suatu perasaan tidak sadar yang saling bertentangan terhadap situasi yang sama atau terhadap seseorang pada waktu yang sama. Durkheim membedakan antara kekuatan suci yang bermanfaat, seperti hubungannya dengan dewa, pelindung, dan tempat suci, dan kekuatan suci yang jahat, seperti yang terkait dengan mayat, kematian, dan objek yang lain  yang tidak murni.
Contoh: Ju/juangi/nuangi (kebudayaan Flores Selatan)[2]
Secara harafiah berarti angin, atau juga awan. Awan dan angin yang dipersonifikasikan dan ditakuti sebagai pembawa penyakit dan kematian; roh-roh jahat. Ungkapan ini sama dengan Ju seka, yakni, kutukan atas nama roh jahat; semoga roh jahat menusukmu hingga mati!

3.     Oposisi Terhadap yang Profan
Durkheim mengakui yang sangat sakral diadakan untuk menjadi berbeda dari yang profan. “Yang sakral tidak bisa, tanpa kehilangan sifatnya, dicampur dengan yang profan. Campuran apa pun atau bahkan kontak, profan itu dapat menghancurkan atribut-atribut pentingnya.”
Contoh: Bambu Kuning dan Daun Kelor Pengusir Hantu
Dalam masyarakat Jawa, tanaman bamboo kuning dan daun kelor diyakini memiliki kemampuan mengusir hantu atau kekuatan magis lainnya. Ketika orang atau suatu tempat diberikan tanaman ini maka diyakini bahwa benda dan lingkungan sekitarnya akan terbebas dari hantu atau kuasa magis lainnya. Keberadaan tanaman ini sangat berbanding terbalik dari nilai profannya sebagai tanaman seperti pada umumnya, namun hal itu menjadi hilang ketika ditempatkan pada tindakan yang diperuntukkan untuk membersihkan kuasa magis.
4.     Kurban Persembahan
Kurban adalah pemberian akan barang-barang material yang tidak profane, seperti binatang peliharaan yang digembalakan oleh masyarakat. Kurban juga dapat berupa asketisme, puasa, pantang seksual, mutilasi diri dan martir. Kurban mempersiapkan seseorang untuk berkomunikasi dengan yang sakral dan menunjukan sikap hormat yang pantas untuk membuat karakter luar biasa dari yang sakral.
Contoh: Ritual Fangi Ina Geu (kebudayaan Nias)
Dalam membangunrumah, pihak pemilik rumah telah menjumpai datu/pemandu ritual untuk mengadakan ritual Fangi Ina Geu, yakni, penebangan pohon sebagai salah satu dari empat tiang utama rumah ‘silalo yawa,’yaitu tiang utama sebelah kanan rumah. Biasanya acara ini di lakukan pada malam purnama. Setelah pemilik rumah mendapat calon pohon yang hendak ditebang pemandu ritual melakukan doa untuk memohon kepada pemilik pohon yaitu ‘Bela” yang dipercaya berdiam di atas pohon. Selain itu diadakan juga doa ritual mohon berkat dari para leluhur. Diadakanlah pengurbanan hewan yakni anak babi. Darah  anak babi tersebut di tumpahkan di sekitar pohon.

5.     Komitmen
Komitmen adalah suatu perasaan yang terfokus atau punya ikatan emosional “dengan apa yang dianggap sakral.”  Secara psikologis, komitmen akan mengarahkan perhatian pada hal yang sakral, yang menjadi bagian yang teguh dan terjiwai dari identitas seseorang. Menurut Durkheim secara sosial, pembentukkan kolektif dari komitmen bersama untuk defenisi sakral adalah dasar integrative bagi masyarakat. Komitmen individu pada yang sakral begitu kuat sehingga pengalaman awal dengan yang sakral dapat menghasilkan konversi-perubahan identitas yang menghasilkan keyakinan yang tak tergoyahkan.
Contoh: Menata desa adat di Nias, sebagai komitmen menjaga identitas luhur dari desa.[3]
Usaha membangun, mempertahankan, memelihara dan mengembangkan (melestarikan) setiap rumah adat oleh setiap orang atau keluarga di desa-desa adat merupakan partisipasi dan usaha mendorong desa menjadi kampung yang agung ‘banua solakhomi’ yang mendatangkan kehormatan kolektif ‘lakhomi ziwara-wara/lakhomi mbanua’ yang melekat bagi setiap warga sebagaimana sering diucapkan dalam pribahasa  ondora va banuasa ba kiri-kira ta vambambatosa.’ Banua harus ditata sehingga seolah memiliki roh yang hidup sebagai tempat kehidupan yang nyaman dan damai sehingga mampu menghipnotis orang  dari berbagai belahan dunia menjadi kagum dan hormat padanya.
6.     Objektifikasi
Objektifikasi adalah kecenderungan untuk menggabungkan unsur-unsur beraneka ragam eksistensi duniawi dalam rangka acuan transcendental di mana mereka dapat muncul dengan cara yang lebih teratur, lebih konsisten, dan tidak teratur oleh waktu (tidak menentu).” Melalui representasi dalam suatu objek, yang sakral dikonkretkan.
Contoh: Pemakaman Kramat Truyan (Bali)
Pemakaman Truyan berada di daerah timur Danau Batur, Bali. Pemakaman ini memiliki keunikan dan kekhususan yang diakibatkan oleh pohon besar dan tua di pemakaman itu. Mayat dan tengkorak di sekitaran tersebut tidak tercium bau busuknya. Diyakini bahwa pohon tersebut memiliki kekhususan tersendiri menyerap bau dari mayat dan tengkorak di sekitar pohon tersebut. Dalam hal ini pohon sebagai objek, diyakini dan dialami memiliki kekhususan tersendiri menjadikan mayat yang diletakkan tanpa dikubur dan terletak sederhana disekitaran pohon itu sama sekali tidak menghasilkan bau busuk.

7.     Ritual
Durkheim menyatakan ritual adalah “suatu aturan perilaku yang menggambarkan bagaimana seseorang harus menyesuaikan diri dengan benda sakral.” Ritual sering dilakukan tanpa pemikiran yang disengaja untuk alasan yang membimbing mereka kepada penghormatan. Seperti pengorbanan, ritual merupakan suatu persiapan pertama untuk mendekati yang sakral dan dapat dilakukan secara pribadi atau bersama, sebagai suatu kelompok.
Contoh: Ritual Famoni Tuka dalam pembangunan rumah Omo Niha (kebudayaan Nias)[4]
Setelah rumah selesai diatapi, maka tukang tinggal dan tidur selama 3 (tiga) malamuntuk menyucikan/menguduskan rumah. Segala kebutuhan  mereka diberikan. Selama itu tukang tidak boleh melakukan pekerjaan berat. Dan selama itu pula pemilik rumah belum bisa tidur dalam rumah. Selama masa pantang, para tukang membuat pintu-pintu rumah dan pemilik rumah memotong babi. Tujuan ritual ini agar tukang yang membangun rumah merasa senang. Dan rumah yang dibangun itu membawa kegembiraan dan kebahagiaan bagi pemiliknya.
8.     Mitos
Mitos sering digunakan untuk mendokumentasikan hal yang sakral yang dapat diceritakan secara historis dan diceritakan secara naratif, cerita berulang, atau spekulais tentang eksistensi. Catatan cerita ini akan sangat menentukan tempat kita di dunia dan mempertahankan status sakral melalui cerita yang diulang.
Contoh: Du’a dan Ngga’e (wujud tertinggi dalam budaya Flores)
Du’a Ngga’e hanyalah seorang saja, dia adalah seorang laki-laki, ia ada dengan sendirinya. Ia membut Du’a di langit, mereka adalah perempuan sebanyak tujuh orang; dan ngga’e di bawah bumi, mereka itu adalah lelaki yang berjumlah 30 (tiga puluh)  orang. Ia tidak mempunyai istri dan anak, tetapi ia mempunyai bawahan yang berada di atas langit yang tertinggi. Merka itu adalah 7 (tujuh) orang perempuan: dan 30 orang laki-laki yang berada di bawah bumi. Dan mereka mempunyai anak-anak. Ia sangat baik . tetapi ia juga menghukum bila orang berbuat salah.

9.     Misteri
Yang sakral “ telah menganugerahkan kepadanya suatu penggalian yang memunculkannya di atas yang biasa atau ‘empiris’.” Hal ini tidak dapat dipahami secara kognitif, karena perintah sakral tentang cinta, pengabdian, ketakutan, dan tanggapan spiritual atau emosional yang terkait, melampaui pikiran rasional manusia.  Misteri ini adalah karakteristik fenomena yang tidak sesuai dengan model prilaku manusia berdasarkan anggapan kepentingan diri sendiri atau persaingan, tetapi berasal dari keinginan untuk pengalaman dan makna yang lebih mendalam.
Contoh: Pantai Selatan (Jawa)
Dalam kepercayaan masyarakat Jawa dan banyak masyarakat Indonesia meyakini bahwa daerah Pantai Selatan menjadi daerah mistis tempat berkuasaya Kanjeng Ratu Kidul. Tempat tersebut menjadi tempat yang sangat misteri akan keberadaan hal yang gaib dan sakral. Namun keyakinan masyarakat dengan bentuk tindakan pengadaan ritual, larangan dan pembatasan wilayah menunjukan tempat tersebut menjadi tempat mistis yang penuh misteri. Banyak kisah dan kejadian yang dialami masyarkat yang tidak jarang membuat orang yang mendengarnya semakin penasaran dan yakin akan kisah tersebut.
10.            Komunitas
Komunitas adalah antistruktur sosial yang membebaskan mereka dari pesan atau status sosial biasa mereka dan melibatkan mereka dalam kesetaraan-kesetaraan status. Hal ini kemungkinan besar terjadi ketika individu berada dalam “luminal”.
Contoh: Orang Lio (kebudayaan Flores Tengah)
Orang Lio menempati daerah tengah pulau Flores dan menggunakan Sara Lio (bahasa Lio) yang terbilang ke dalam kelompok bahasa Bima-Sumba. Ada pembagian hirarkis dalam masyarakat Lio, yakni: mosalaki/riabewa (pemangku adat), faiwalu/anahalo (orang kebanyakan), ataho’o rowa (para hamba dan budak). Masyarakat inilah yang mempertahankan kebudayaan dan kesakralan dari kepercayaan akan Du’a ngga’e sebagai Wujud Tertinggi.

11.            Ziarah
Ziarah keagamaan dan dalam upacara-upacara inisiasi, organisasi persaudaraan, kelompok, dan kadang-kadang di antara tim peneliti.
Contoh: Desa Lemo, daerah Tanah Toraja, Kalimantan
Desa ini merupakan daerah pekuburan tebing di daerah desa Lemo. Budaya dan kepercayaan masyarakat Toraja dalam pengawetan mayat sebagai wujud penghormatan dan tingkatan kemasyarakatan menjadi identitas masyarakat tersebut. Tindakan pengawetan dan meletakkan mayat dalam kubur tebing ini memiliki efek berkelanjutan akan fungsional ziarah bagi keluarga dan orang yang senang akan budaya. Tempat dan situasi desa lemo telah terkondisikan sebagai suatu yang sakral dan menjadi tempat peziarahan.
12.            Ekstase
Ekstase merupakan karakter luar biasa dari pengalaman sakral dan membedakannya dari kesenangan umum kehidupan sehari-hari. Interpretasi psikologis mengacu pada pengaruh partisipasi dalam sakral sebagai suatu aliran atau pengalaman puncak. Aliran pengalaman meliputi pust perhatian, kehilangan diri, perasaan mengendalikan diri dan lingkungan, dan aspek yang penuh sehingga kegiatan tersebut adalah ganjarannya sendiri.
Contoh: Ciri Manusia yang Samadi dalam Kitab Serat Wedhatama (kebudayaan Jawa)
Pandangan kesatuan jiwa dan raga dalam kemanusiaan sebagai mahluk Tuhan menurut pola pikir masyarakat Jawa dalam Serat Wedhatama ditulis dalam Pupuh Pangkur 13: “Tan samar pamoring sukma; sinukmaya winahya ing ngasepi; sinimpen telenging kalbu; pambukaning warana; tarlen saking liyep-layaping ngaluyup; pindha pesating supena; sumursuping rasa jati[5].” Tulisan ini dapat diartikan bahwa barangsiapa mendapatkan wahyu dari Tuhan maka ia akan memiliki kemampuan jiwa yang terang benderang, sehingga dengan demikian ia akan bersamadi, jiwa dan raganya berhenti bekerja, panca inderanya juga tidak bekerja. Manusia yang sudah dapat bersamadi itu adalah manusia yang menguasai ilmu, mantab jiwanya, sehingga dapat mengalahkan hawa nafsu. Manusia merupakan  kesatuan jiwa dan raga. Gambaran ini diungkapkan dalam Serat Wedhatama Pupuh Gambuh bait ke-8: “Socaning jiwangganira; jer katara lamun pocapan pasthi; lumuh asor kudu unggul; sumengah sesongaran; yen mangkono kena ingaran ketungkul; kareming reh kaprawiran; nora enak iku kaki[6]”. Dari bait itu, kita dapat mengatakan bahwa manusia itu terdiri atas jiwa dan raga. Kesegaran badan akan mendatangkan ketenangan batin dan kejernihan pikiran. Tetapi juga jiwa yang kosong yaitu jiwa yang tak memiliki ilmu akan terlihat dalam keadaan lahirnya.

Demikianlah contoh-contoh yang ditampilkan dalam gagasan sifat-sifat kesucian yang disampaikan  oleh Durkheim dalam beberapa budaya di Indonesia. Dari contoh ini dapat dimengerti pandangan sakral dan profan dari suatu bentuk, tempat dan situasinya. Dalam hal ini kita semakin memahami maksud dari gagasan Durkheim sendiri untuk memaknai suatu hal dan menempatkannya kepada hal yang sakral atau profan.


[1]  Paul Arndt, Du’a Ngga’e, (Maumere: Puslit Candraditya, 2002), hlm. 159-167, 208.
[2]  Paul Arndt, Du’a Ngga’e…, hlm. 209.
[3]  Nata’alui Duha, OMO NIHA perahu darat di pulau bergoyang,(Nias: Museum Pusaka Nias, 2012), hlm. 208.
[4]  Nata’alui Duha, OMO NIHA …, hlm.
[5] R. Promono, Menggali Unsur-unsur Filsafat Indonesia,(Yokyakarta: PT Hadinindita, 1987), hlm. 103.
[6]  R. Promono, Menggali Unsur…, hlm. 107.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar