Contoh sifat-sifat Kesucian dari Sudut Pandang
Sosiologis Menurut Durkheim dalam kebudayaan di Indonesia
Dalam tulisan “ The Sacred and The Profane in Consumer
Behavior : Theodicy on The Adyssey”, Russell W. Belk, Melanie Wallendorf, dan
John F. Sherry, Jr. memakai gagasan Durkheim tentang sifat-sifat kudus dalam
suatu keagamaan dari sudut pandang sosiologis. Ada 12 sifat kudus yang
ditentukan oleh Durkheim, yakni: hierophany, kratophany, oposisi terhadap yang
profan, kurban persembahan, komitmen, objektifikasi, ritual, mitos, misteri,
komunitas, ziarah dan ekstase.
Ke-12 sifat ini menjadi benang pengukur tentang sifat
kudus dari suatu benda, tempat, waktu dan tindakan dalam keagamaan. Dengan
sifat kekudusan ini kita dapat membedakan hal yang sakral dan profane dalam
banyak hal untuk sampai kepada pemahaman yang tepat akan gagasan sakral dan
profane itu sendiri menurut kacamata sosiologi.
Demikian pun, defenisi dari sifat-sifat kesucian ini
dapat dilihat dari macam-macam pola keagamaan dari kebudayaan di Indosnesia.
Hal inilah yang hendak kita lihat dalam tulisan ini. Setiap sifat kesucian ini
akan diberikan contoh pola keagamaan dan kebudayaan di Indonesia.
1. Hierophany
Hierophany adalah tindakan manifestasi fisik dari hal
yang sakral dan suci . Hal yang kudus itu mengungkapkan sepenuhnya dirinya secara
meluas sebagai “sesuatu dari tatanan yang sepenuhnya berbeda, sebuah realitas
yang bukan milik dunia kita”. Dalam pandangan psikologis Eliade, hierophany
melibatkan gagasan bahwa yang sakral tidak memanifestasikan dirinya kepada
semua orang. Durkheim juga melihat yang sakral sebagai mahluk ciptaan individu;
namun dalam pandangan sosiologisnya, yang sakral muncul secara kolektif di mana
masyarakat memindahkan hal-hal tertentu dari pandangan manusia biasa.
Contoh: Heda
(keda)[1];
kuil tempat tingal roh-roh. (kebudayaan Flores Tengah)
Heda biasanya didirikan di dekat hanga. Di dalam heda
tersebut biasanya disimpan anadeo,
yaitu, pasangan patung bapa dan ibu asal suku di bawah kepemimpinan seorang mosalaki. Patung tersebut biasanya
telanjang dan hanya bagian genitalnya yang ditutup dengan kain. Kelihatannya,
pada zaman dahulu bagian genital itu tidak ditutup karena membahasakan
kesuburan dan kemakmuran. Heda adalah
symbol laki-laki; tidak ada hasil dan kelahiran di heda. Wanita dilarang masuk ke dalam heda. Symbol wanita adalah rumah adat; di sana ada kesuburan dan
kelahiran. Biasanya, pada salah satu bagian dinding atau pintu rumah adat
dipahat buah dada wanita yang mengungkapkann kesuburan rumah tersebut. Di rumah
adat juga disimpan emas yang biasanya bermotif vulva yang jelas mempunyai
hubungan metaforis dengan wanita.
2. Kratophany
Yang sakral memunculkan kedua pendekatan yang kuat dan
kecenderungan penghindaran yang kuat. Ambivalensi ini menciptakan kekuatan yang
berlebih-lebihna, yang manifestasinya disebut kratophany. Ambivalensi itu dapat
diartikan juga sebagai suatu perasaan tidak sadar yang saling bertentangan
terhadap situasi yang sama atau terhadap seseorang pada waktu yang sama.
Durkheim membedakan antara kekuatan suci yang bermanfaat, seperti hubungannya
dengan dewa, pelindung, dan tempat suci, dan kekuatan suci yang jahat, seperti
yang terkait dengan mayat, kematian, dan objek yang lain yang tidak murni.
Contoh: Ju/juangi/nuangi (kebudayaan Flores Selatan)[2]
Secara harafiah berarti angin, atau juga awan. Awan
dan angin yang dipersonifikasikan dan ditakuti sebagai pembawa penyakit dan
kematian; roh-roh jahat. Ungkapan ini sama dengan Ju seka, yakni, kutukan atas
nama roh jahat; semoga roh jahat menusukmu hingga mati!
3. Oposisi
Terhadap yang Profan
Durkheim mengakui yang sangat sakral diadakan untuk
menjadi berbeda dari yang profan. “Yang sakral tidak bisa, tanpa kehilangan
sifatnya, dicampur dengan yang profan. Campuran apa pun atau bahkan kontak,
profan itu dapat menghancurkan atribut-atribut pentingnya.”
Contoh: Bambu Kuning dan Daun Kelor Pengusir Hantu
Dalam masyarakat Jawa, tanaman bamboo kuning dan daun
kelor diyakini memiliki kemampuan mengusir hantu atau kekuatan magis lainnya.
Ketika orang atau suatu tempat diberikan tanaman ini maka diyakini bahwa benda
dan lingkungan sekitarnya akan terbebas dari hantu atau kuasa magis lainnya.
Keberadaan tanaman ini sangat berbanding terbalik dari nilai profannya sebagai
tanaman seperti pada umumnya, namun hal itu menjadi hilang ketika ditempatkan
pada tindakan yang diperuntukkan untuk membersihkan kuasa magis.
4. Kurban
Persembahan
Kurban adalah pemberian akan barang-barang material
yang tidak profane, seperti binatang peliharaan yang digembalakan oleh
masyarakat. Kurban juga dapat berupa asketisme, puasa, pantang seksual,
mutilasi diri dan martir. Kurban mempersiapkan seseorang untuk berkomunikasi
dengan yang sakral dan menunjukan sikap hormat yang pantas untuk membuat
karakter luar biasa dari yang sakral.
Contoh: Ritual
Fangi Ina Geu (kebudayaan Nias)
Dalam membangunrumah, pihak pemilik rumah telah
menjumpai datu/pemandu ritual untuk mengadakan ritual Fangi Ina Geu, yakni, penebangan pohon sebagai salah satu dari
empat tiang utama rumah ‘silalo yawa,’yaitu
tiang utama sebelah kanan rumah. Biasanya acara ini di lakukan pada malam
purnama. Setelah pemilik rumah mendapat calon pohon yang hendak ditebang
pemandu ritual melakukan doa untuk memohon kepada pemilik pohon yaitu ‘Bela” yang dipercaya berdiam di atas
pohon. Selain itu diadakan juga doa ritual mohon berkat dari para leluhur. Diadakanlah
pengurbanan hewan yakni anak babi. Darah anak babi tersebut di tumpahkan di sekitar
pohon.
5. Komitmen
Komitmen adalah suatu perasaan yang terfokus atau
punya ikatan emosional “dengan apa yang dianggap sakral.” Secara psikologis, komitmen akan mengarahkan
perhatian pada hal yang sakral, yang menjadi bagian yang teguh dan terjiwai
dari identitas seseorang. Menurut Durkheim secara sosial, pembentukkan kolektif
dari komitmen bersama untuk defenisi sakral adalah dasar integrative bagi
masyarakat. Komitmen individu pada yang sakral begitu kuat sehingga pengalaman
awal dengan yang sakral dapat menghasilkan konversi-perubahan identitas yang
menghasilkan keyakinan yang tak tergoyahkan.
Contoh: Menata desa adat di Nias, sebagai komitmen
menjaga identitas luhur dari desa.[3]
Usaha membangun, mempertahankan, memelihara dan
mengembangkan (melestarikan) setiap rumah adat oleh setiap orang atau keluarga
di desa-desa adat merupakan partisipasi dan usaha mendorong desa menjadi
kampung yang agung ‘banua solakhomi’
yang mendatangkan kehormatan kolektif ‘lakhomi
ziwara-wara/lakhomi mbanua’ yang melekat bagi setiap warga sebagaimana
sering diucapkan dalam pribahasa ‘ondora va banuasa ba kiri-kira ta
vambambatosa.’ Banua harus ditata sehingga seolah memiliki roh yang hidup
sebagai tempat kehidupan yang nyaman dan damai sehingga mampu menghipnotis
orang dari berbagai belahan dunia
menjadi kagum dan hormat padanya.
6. Objektifikasi
Objektifikasi adalah kecenderungan untuk menggabungkan
unsur-unsur beraneka ragam eksistensi duniawi dalam rangka acuan transcendental
di mana mereka dapat muncul dengan cara yang lebih teratur, lebih konsisten,
dan tidak teratur oleh waktu (tidak menentu).” Melalui representasi dalam suatu
objek, yang sakral dikonkretkan.
Contoh: Pemakaman Kramat Truyan (Bali)
Pemakaman Truyan berada di daerah timur Danau Batur,
Bali. Pemakaman ini memiliki keunikan dan kekhususan yang diakibatkan oleh
pohon besar dan tua di pemakaman itu. Mayat dan tengkorak di sekitaran tersebut
tidak tercium bau busuknya. Diyakini bahwa pohon tersebut memiliki kekhususan
tersendiri menyerap bau dari mayat dan tengkorak di sekitar pohon tersebut.
Dalam hal ini pohon sebagai objek, diyakini dan dialami memiliki kekhususan
tersendiri menjadikan mayat yang diletakkan tanpa dikubur dan terletak sederhana
disekitaran pohon itu sama sekali tidak menghasilkan bau busuk.
7. Ritual
Durkheim menyatakan ritual adalah “suatu aturan
perilaku yang menggambarkan bagaimana seseorang harus menyesuaikan diri dengan
benda sakral.” Ritual sering dilakukan tanpa pemikiran yang disengaja untuk
alasan yang membimbing mereka kepada penghormatan. Seperti pengorbanan, ritual
merupakan suatu persiapan pertama untuk mendekati yang sakral dan dapat
dilakukan secara pribadi atau bersama, sebagai suatu kelompok.
Contoh: Ritual Famoni
Tuka dalam pembangunan rumah Omo Niha
(kebudayaan Nias)[4]
Setelah rumah selesai diatapi, maka tukang tinggal dan
tidur selama 3 (tiga) malamuntuk menyucikan/menguduskan rumah. Segala
kebutuhan mereka diberikan. Selama itu
tukang tidak boleh melakukan pekerjaan berat. Dan selama itu pula pemilik rumah
belum bisa tidur dalam rumah. Selama masa pantang, para tukang membuat
pintu-pintu rumah dan pemilik rumah memotong babi. Tujuan ritual ini agar
tukang yang membangun rumah merasa senang. Dan rumah yang dibangun itu membawa
kegembiraan dan kebahagiaan bagi pemiliknya.
8. Mitos
Mitos sering digunakan untuk mendokumentasikan hal
yang sakral yang dapat diceritakan secara historis dan diceritakan secara
naratif, cerita berulang, atau spekulais tentang eksistensi. Catatan cerita ini
akan sangat menentukan tempat kita di dunia dan mempertahankan status sakral
melalui cerita yang diulang.
Contoh: Du’a dan Ngga’e (wujud tertinggi dalam budaya
Flores)
Du’a Ngga’e hanyalah seorang saja, dia adalah seorang
laki-laki, ia ada dengan sendirinya. Ia membut Du’a di langit, mereka adalah
perempuan sebanyak tujuh orang; dan ngga’e di bawah bumi, mereka itu adalah
lelaki yang berjumlah 30 (tiga puluh)
orang. Ia tidak mempunyai istri dan anak, tetapi ia mempunyai bawahan
yang berada di atas langit yang tertinggi. Merka itu adalah 7 (tujuh) orang
perempuan: dan 30 orang laki-laki yang berada di bawah bumi. Dan mereka
mempunyai anak-anak. Ia sangat baik . tetapi ia juga menghukum bila orang
berbuat salah.
9. Misteri
Yang sakral “ telah menganugerahkan kepadanya suatu
penggalian yang memunculkannya di atas yang biasa atau ‘empiris’.” Hal ini
tidak dapat dipahami secara kognitif, karena perintah sakral tentang cinta, pengabdian,
ketakutan, dan tanggapan spiritual atau emosional yang terkait, melampaui
pikiran rasional manusia. Misteri ini
adalah karakteristik fenomena yang tidak sesuai dengan model prilaku manusia
berdasarkan anggapan kepentingan diri sendiri atau persaingan, tetapi berasal
dari keinginan untuk pengalaman dan makna yang lebih mendalam.
Contoh: Pantai Selatan (Jawa)
Dalam kepercayaan masyarakat Jawa dan banyak
masyarakat Indonesia meyakini bahwa daerah Pantai Selatan menjadi daerah mistis
tempat berkuasaya Kanjeng Ratu Kidul. Tempat tersebut menjadi tempat yang
sangat misteri akan keberadaan hal yang gaib dan sakral. Namun keyakinan
masyarakat dengan bentuk tindakan pengadaan ritual, larangan dan pembatasan
wilayah menunjukan tempat tersebut menjadi tempat mistis yang penuh misteri.
Banyak kisah dan kejadian yang dialami masyarkat yang tidak jarang membuat
orang yang mendengarnya semakin penasaran dan yakin akan kisah tersebut.
10.
Komunitas
Komunitas adalah antistruktur sosial yang membebaskan
mereka dari pesan atau status sosial biasa mereka dan melibatkan mereka dalam
kesetaraan-kesetaraan status. Hal ini kemungkinan besar terjadi ketika individu
berada dalam “luminal”.
Contoh: Orang Lio (kebudayaan Flores Tengah)
Orang Lio menempati daerah tengah pulau Flores dan
menggunakan Sara Lio (bahasa Lio)
yang terbilang ke dalam kelompok bahasa Bima-Sumba. Ada pembagian hirarkis
dalam masyarakat Lio, yakni: mosalaki/riabewa
(pemangku adat), faiwalu/anahalo
(orang kebanyakan), ataho’o rowa
(para hamba dan budak). Masyarakat inilah yang mempertahankan kebudayaan dan
kesakralan dari kepercayaan akan Du’a ngga’e sebagai Wujud Tertinggi.
11.
Ziarah
Ziarah keagamaan dan dalam upacara-upacara inisiasi,
organisasi persaudaraan, kelompok, dan kadang-kadang di antara tim peneliti.
Contoh: Desa Lemo, daerah Tanah Toraja, Kalimantan
Desa ini merupakan daerah pekuburan tebing di daerah
desa Lemo. Budaya dan kepercayaan masyarakat Toraja dalam pengawetan mayat
sebagai wujud penghormatan dan tingkatan kemasyarakatan menjadi identitas
masyarakat tersebut. Tindakan pengawetan dan meletakkan mayat dalam kubur
tebing ini memiliki efek berkelanjutan akan fungsional ziarah bagi keluarga dan
orang yang senang akan budaya. Tempat dan situasi desa lemo telah terkondisikan
sebagai suatu yang sakral dan menjadi tempat peziarahan.
12.
Ekstase
Ekstase merupakan karakter luar biasa dari pengalaman
sakral dan membedakannya dari kesenangan umum kehidupan sehari-hari.
Interpretasi psikologis mengacu pada pengaruh partisipasi dalam sakral sebagai
suatu aliran atau pengalaman puncak. Aliran pengalaman meliputi pust perhatian,
kehilangan diri, perasaan mengendalikan diri dan lingkungan, dan aspek yang
penuh sehingga kegiatan tersebut adalah ganjarannya sendiri.
Contoh: Ciri Manusia yang Samadi dalam Kitab Serat
Wedhatama (kebudayaan Jawa)
Pandangan kesatuan jiwa dan raga dalam kemanusiaan
sebagai mahluk Tuhan menurut pola pikir masyarakat Jawa dalam Serat Wedhatama
ditulis dalam Pupuh Pangkur 13: “Tan samar pamoring sukma; sinukmaya winahya ing
ngasepi; sinimpen telenging kalbu; pambukaning warana; tarlen saking liyep-layaping
ngaluyup; pindha pesating supena; sumursuping rasa jati[5].” Tulisan ini dapat diartikan bahwa barangsiapa mendapatkan wahyu
dari Tuhan maka ia akan memiliki kemampuan jiwa yang terang benderang, sehingga
dengan demikian ia akan bersamadi, jiwa dan raganya berhenti bekerja, panca
inderanya juga tidak bekerja. Manusia yang sudah dapat bersamadi itu adalah
manusia yang menguasai ilmu, mantab jiwanya, sehingga dapat mengalahkan hawa
nafsu. Manusia merupakan kesatuan jiwa
dan raga. Gambaran ini diungkapkan dalam Serat Wedhatama Pupuh Gambuh bait
ke-8: “Socaning jiwangganira; jer katara
lamun pocapan pasthi; lumuh asor kudu unggul; sumengah sesongaran; yen mangkono
kena ingaran ketungkul; kareming reh kaprawiran; nora enak iku kaki[6]”.
Dari bait itu, kita dapat mengatakan bahwa manusia itu terdiri atas jiwa dan
raga. Kesegaran badan akan mendatangkan ketenangan batin dan kejernihan
pikiran. Tetapi juga jiwa yang kosong yaitu jiwa yang tak memiliki ilmu akan
terlihat dalam keadaan lahirnya.
Demikianlah contoh-contoh yang ditampilkan dalam
gagasan sifat-sifat kesucian yang disampaikan
oleh Durkheim dalam beberapa budaya di Indonesia. Dari contoh ini dapat
dimengerti pandangan sakral dan profan dari suatu bentuk, tempat dan
situasinya. Dalam hal ini kita semakin memahami maksud dari gagasan Durkheim
sendiri untuk memaknai suatu hal dan menempatkannya kepada hal yang sakral atau
profan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar