Filsafat Bahasa Biasa Menurut John
Langshaw Austin
I.
Pendahuluan
1.
Latar
Belakang Pembahasan
Dalam perbedaan kodrati
yang paling menonjol dengan sesama mahluk primat lainnya, manusia adalah mahluk
yang berbahasa.[1]
Manusia sebagai mahluk yang berpikir mencoba membahasakan dalam rupa
simbol-simbol yang menjadi representasi akan banyak fenomena di sekitarnya.
Bahasalah yang menjadi muatan pengertian akan segala hal yang diungkapkan dan
dimengerti. Manusia tidak akan pernah lepas dari bahasa dan pembahasaan. Dalam
keseharian, sejak bayi mulai belajar memahami, dengan melihat, mendengar,
meniru, semuanya itu proses awal dalam pembahasaan akan hal-hal di sekitar.[2]
Demikianlah bahasa itu belanjut menjadi pengungkapan pemikiran dan pengetahuan
manusia.[3]
Sampai kepada manusia membahasakan segala hal dalam kehidupannya dengan bahasa
sehari-hari yang ia pakai.
Bahasa sehari-hari
adalah bahasa sederhana yang sangat gampang dimengerti olah siapapun. Dari
bahasa sehari-hari inilah kita mau melihat sudut pandang dari John Langshaw
Austin akan pemikirannya mengenai filsafat bahasa yang sering disebut ‘Bahasa
Biasa’.[4]
2.
Perumusan
Masalah/Pokok Pemikiran
“What to say when”
adalah ungkapan yang sering dilontarkan oleh Austin untuk mencoba menjelaskan
fenomena-fenomena yang terjadi dengan
penyelidikan bahasa. Perhatian Austin sebagai seorang filsuf terhadap bahasa sehari-hari yang mencoba
mendapatkan pelajaran dan pengalaman langsung dari pengunaan bahasa sehari-hari
untuk mengungkapkan dan memahami masalah-masalah filosofis nampaknya sangat
menarik. Bahasa sehari-hari membantu kita untuk membahasakan segala bentuk fenomena
yang terjadi dengan bahasa yang sederhana dan gampang dimengerti. Austin
mencoba menghantar kita kepada muatan yang terkandung dalam bahasa dan tindakan
yang diakibatkan dalam penggunaan bahasa
itu sendiri yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Austin lebih
tertarik untuk semakin melihat lebih dalam penggunaan bahasa sehari-hari yang
ternyata memampukan banyak orang sadar bahwa ternyata bahasa sehari-hari juga
memiliki muatan untuk berfilsafat.
3.
Tujuan
Pembahasan
Dalam pembahasan ini kita
mencoba melihat dan memahami pemikiran dari John Langshaw Austin akan kehadiran
bahasa sehari-hari dalam dunia filsafat. Bahasa sederhana yang biasa kita
gunakan dalam berkomunikasi sehari-hari ternyata mengandung banyak pemikiran
dan pengetahuan akan fenomena-fenomena mulai dari yang sederhana sampai ke hal
yang hakiki tentang pertanyaan yang sangat mendasar, yakni “mengapa aku ada?”
Bahasa biasa sebagai bahan pemikiran Austin mendapat perhatian khusus untuk
dipahami lebih mendalam bahwa sering dari bahasa sehari-hari yang sangat
sederhana itu orang tidak menyadari bahwa mereka sedang berfilsafat. Buah
pemikiran Austin inilah yang hendak kita pahami lebih mendalam dalam pembahasan
ini. Sehingga kita lebih memahami penggunaan bahasa sehari-hari dalam filsafat
dapat mengantar kita kepada ‘sumber pengetahuan’.
II.
Filsafat
Bahasa Biasa Menurut John Langshaw
Austin
1.
Riwayat
Hidup
John Langshaw Austin
lahir pada tanggal 26 Maret 1911 di Lancaster dan meninggal pada Februari 1960
dalam usia 48 tahun. Pada tahun 1924 ia khusus belajar filologi klasik dan
memenangkan perlombaan penulisan prosa Yunani pada tahun 1931. Mulai saat
itulah Austin mulai berkenalan dengan dunia filsafat. Austin tertarik dengan
filsafat Leibniz dan ia juga mendalami filsafat Yunani terutama filsafat
Aristoteles yang banyak mempengaruhi filsafatnya, terutama tentang filsafat
bahasa dalam pergaulan sehari-hari.[5]
Dalam masa
perkuliahannya J. L. Austin tidak hanya mendalami filsafat kontemporer saja.
Namun ia mencoba mendalaminya untuk lebih mengetahui sejarahnya secara
mendetail. Sejak 1935, J.L. Austin mulai mengajar dan ia menikah dengan Jean
Coutts tahun 1941 yang dikaruniai anak empat orang.
Saat Perang Dunia II,
Austin memasuki dinas militer. Pada tahun 1945 ia keluar dari dinas militer dan
melanjutkan mengajar di Universitas. Tak banyak didapat tulisan-tulisan
karangan dari J.L. Austin. Hanya berupa kertas-kertas kerja sebagai bahan
pengajaran saja. Ini yang menjadi pertinggal secara tertulis dari pemikiran
Austin. [6]
2.
Karya-karya
Austin tidak
meninggalkan hasil karyanya sampai penghujung masa kehidupannya kecuali tujuh
kertas kerjanya, dan itupun hanya sebagian saja yang di terbitkan. Namun dengan
kertas-kertas kerja yang ia presentasekan pada pertemuan-pertemuan ilmiahnya
serta kuliah-kuliahnyamaupun diskusi-diskusi yang diadakannya secara berkala,
Austin mempunyai pengaruh yang sangat besar di kalangan para filsuf di Oxford.[7]
Setelah
meninggalnya Austin, G.J. Warnock menerbitkan ketiga buku yang berisi pemikiran
Austin, yakni:
·
Philosophical
Papers merupakan karya-karya Austin bertemakan “A Priori Concepts” dan
“performative Utterance” yang merupakan wawancara yang disiarkan lewat pemancar
radio di tahun 1956.
·
Sense
and Sensibilia adalah kumpulan-kumpulan kuliah-kuliahnya yang pertama di Oxford
di tahun 1947.
·
How To Do Things With Words, yang berisikan
doktrin tentang “Speech act”[8]
3.
Pemikiran
Filsafat J.L. Austin
Dalam pemikiran filsafatnya Austin
meneruskan filsfat bahasa biasa Wittgenstein yang memiliki perhatian yang sangat kuat terhadap
bahasa biasa dalam arti penggunaannya dalam pergaulan sehari-hari. Wittgenstein
mengatakan bahwa makna kata atau kalimat itu ditentukan oleh penggunaannya
dalam bahasa dan bukan oleh “logika.”
Dalam pemikiran filsafatnya J. L. Austin mengambil alih pemaknaan tersebut
dengan menyampaikan bahwa kita akan semakin mendapat pelajaran yang sangat
banyak ketika kita semakin mmengetahui fungsi bagaimana ungkapan yang digunakan
oleh sipemakai bahasa tersebut terlaksana penggunaannya “use” dalam percakapan sehari-hari yang digunakan dalam kehidupan
sehari-hari. Bahkan menurutnya tidak jarang masalah-masalah filosofis akan
nampak dalam bentuk yang baru jikalau kita semakin memperhatikan dengan
sungguh-sungguh dan jelas bagaimana bahasa itu, aturan-aturannya dan bagaimana
cara bekerjanya.
Austin selalu menekankan bahwa
penggunaan bahasa tidak dapat dilepaskan dengan situasi tindakan kongkrit
dimana ungkapan-ungkapan yang dikemukakan dan dari fenomena-fenomena yang
berkaitan dengan penggunaan bahasa tersebut. Ungkapan yang sering Austin
lontarkan adalah What to say when,
yang berarti unsur bahasa (what),
dianggap sama pentingnya dengan dunia fenomena-fenomena (When). Oleh karena itu Austin sendiri menamakan konsepnya
itu dengan linguistic phenomenology,
sebab nama itu dinyatakan percobaannya untuk menjelaskan fenomena-fenomena
dengan melalui penyelidikan bahasa.[9]
Sebagai seorang filsuf bahasa biasa
Austin memiliki perhatian yang khas terhadap penggunaan bahasa biasa, sehingga
ia memiliki ciri khas dibandingkan dengan Wittgenstein dan Gilbert Ryle.
Wittgenstein mendasarkan pada makna bahasa sehari-hari dalam kaitannya dengan
konteks penggunaannya dalam pelbagai bidang kehidupan, sehingga dikembangkannya
dalam teorinya yang dikenal dengan language games. Ryle lebih
mendekatkan pada aspek pragmatis dalam kaitannya dengan aturan-aturan logika,
sehingga Ryle sering menemukan persoalan filsafat timbul karena kekacauan dalam
penggunaan bahasa yang melanggar norma logika atau yang tidak sesuai dengan
kategori logika, yang dikenal dengan category mistake. Namun Austin
dalam pemikiran filsafat bahasa biasanya menaruh perhatian dan menekuni tentang
pembedaan jenis-jenis ucapan dan pembedaan tentang tindakan-tindakan bahasa.
Dalam penikirannya Austin mencoba
untuk lebih dalam memaknai bahasa dalam makna yang sebenarnya. Bahasa dalam penggunaannya
untuk mengungkapkan suatu pemikiran dalam konteks pemaknaan pembahasaan filosopis
yang sering dipakai oleh para filsuf yang tak jarang dianggap tidak bermakna
menjadi sumber pengetahuan, dengan bahasa sehari-hari.
Mengetahui makna yang sesuai dan
menempatkan bahasa dalam pemaknaan yang tepat membantu kita untuk menangkap apa
yang dimaksut oleh sipembahasa. Demikianlah Austin membuat pembedaan dalam
study bahasa yakni “performative
utterances” (ucapan-ucapan performatif) dan “constative utterances” (ucapan-ucapan konstatif). Hal-hal inilah
yang ia kembangkan dalam “speech act.”[10]
4.
Metode
Filsafat Secara Umum
Dalam pengembangan pemaparannya, untuk menjelaskan
pemikirannya, Austin menggunakan metode “teknik laboratoeium” (laboratory
technique). Austin mencoba membantu kita untuk sampai kepada pemahaman dan
penggunaan bahasa kita yang baik dan tepat penggunaannya setelah menganalisa
arti kata, ungkapan atau kaliamat serta bentuk tata bahasa setelah dicermati
secara sitematik, menyeluruh dan akurat.
Dalam pengalamannya di Oxford, Austin sangat sering
dan menyukai sistim diskusi untuk kelompok yang mana pesertanya saling
mengoreksi dan mendiskusikan tentang fungsi ataupun makna kata, ungkapan dan
kalimat. Setiap orang memberi ide pemikiran masing-masing akan analisa bahasa
tersebut.
Namun pada dasarnya dalam diskusi tersebut mereka
mencoba membedakan antara peristilahan refleksif dan kata-kata dalam bahasa
sehari-hari.
5.
Inti
Pemikiran Filsafat John Langshaw Austin dalam Bahasa Biasa
Sebelum Austin, kebanyakan filsuf hanya menaruh perhatian
terhadap ungkapan yang bermakna dan tidak bermakna dan hanya ditentukan atas
dasar fomulasi tertentu; misalnya menurut atomisme logis atau filsafat biasa
Wittgenstein. Setelah sampai di tangan Austin perhatian tersebut mengalami
pengfokusan mengenai pembedaan tentang jenis-jenis ucapan dan tentang
tindakan-tindakan bahasa. Adapun penjelasan tentang kedua pembedaan itu sebagai
berikut:
1. Jenis Ucapan (Utterances)
Austin membedakan jenis ucapan yang
acapkali kita jumpai dalam bahasa pergaulan sehari-hari menjadi dua. Yaitu,
Ucapan Konstatif (Constative Utterance) dan ucapan Performatif (Performative
Utterance).
a.
Ucapan Konstatif (Constative
Utterance)
Adalah ucapan atau tuturan yang
digunakan manakala kita menggambarkan suatu keadaan yang faktual, yang
menyatakan sesuatu atau terdapat sesuatu yang dikonstatir dalam ucapan
tersebut. Dalam pengertian ini ucapan konstatif memang memiliki konsekuensi
untuk ditentukan benar atau salahnya, dan alam batas ini pandangan Austin masih
sejalan dengan faham atomisme logik dan positivisme logik. Jadi dalam setiap
ucapan konstatif ini terkandung suatu pernyataan yang memungkinkan situasi
pendengar untuk menguji kebenarannya secara empiris atau berdasarkan
pengalaman; baik secara langsug maupun tidak langsung. Istilah “konstatif” ini
dipergunakan Austin untuk menggambarkan semua pernyataan yang dapat dinilai
benar atau salahnya.[11]
Untuk menjelaskan hal di atas dapat kita ajukan beberapa contoh seperti
yang tertera di bawah ini:
1) Banyak pedagang mainan anak-anak di pasar Horas.
2)Saya melihat banyak pengendara sepeda motor tertangkap raziah di simpang
Karang Sari jalan Medan tadi pagi.
3) Saya melihat seekor burung Elang
peliharaan di sekitar lingkungan STSP.
Pernyataan di atas merupakan ucapan
konstatif, sebab menggambarkan keadaan faktual atau peristiwa yang dapat
diperiksa benar atau salahnya. Kita dapat membuktikan kebenaran ucapan seperti
itu dengan melihat, menyelidiki, ataupun mengalami sendiri hal-hal yang telah
diucapkan si penutur kepada kita. Oleh karena itu Austin menandaskan bahwa pada
hakekatnya ucapan konstatif itu berarti membuat pernyataan yang isinya
mengandung acuan histori atau peristiwa nyata.[12]
b.
Ucapan Performatif (Perfortative
utterance)
Berbeda dengan ucapan yang dapat
diperiksa benar atau salahnya, oleh karena itu pula dapat ditentukan kandungan
makna dari ucapan tersebut maka ucapan performatif tidak dapat diperlakukan
seperti itu. Karena itulah Austin menegaskan ucapan performatif tidak dapat
dikatakan benar atau salah seperti halnya ucapan konstatif melainkan baik atau
tidak (happy or anhappy) untuk diucapkan seseorang. Di dalam ucapan
performatif ini peranan si penutur dengan berbagai konsekuensi yang
terkandung dalam isi ucapannya sangat diutamakan.[13]
Untuk memperoleh penjelasan yang rinci kita dapat melihat contoh yang diajukan
Austin ini:
1)“Saya
bersedia menerima wanita ini sebagai istri yang sah”-ditentukan baik apabila
diucapkan dalam sebuah upacara perkawinan.
2)
“Saya namakan
kapal ini Ratu Elisabeth”
3) “Saya memberikan dan mewariskan jam
kepunyaan saya ini kepada saudara saya”.[14]
Dari contoh di atas, kita melihat
bahwa peranan si penutur (saya) bertautan erat dengan apa yang diucapkannya.
Ini berarti, masalah utama yang terkandung dalam ucapan performatif adalah
apakah si penutur mempunyai wewenang (kewajaran atau kelaikan) untuk
melontarkan ucapan seperti itu. Menurut pendapat Austin, kita dapat mengetahui
bentuk ucapan performatif ini melalui ciri-ciri berikut:
1)
Diucapkan
oleh orang pertama (persona pertama).
2)
Orang yang
mengucapkannya hadir dalam situasi tertentu.
3)
Bersifat
indikatif (mengandung pernyataan tertentu).
Keempat ciri bisa saja dikenakan
pada ucapan konstatif, namun penekanan utama dalam ucapan konstatif tidak
terletak pada si penutur (subjek), melainkan pada objek tuturan-dalam hal ini
peristiwa faktual. Sedangkan dalam ucapan performatif, penekanan utama tetap
diletakkan pada si penutur dengan kelaikan pengucapannya. Akan tetapi keempat
ciri tersebut belumlah menjamin kelaikan ucapan performatif.
Ada beberapa persyarat yang dibutuhkan
agar ucapan performatif baik untuk diucapkan yakni:
1)
Harus
mengikuti prosedur yang lazim berlaku dalam suatu lingkungan tertentu yang
menimbulkan akibat tertentu pula. Ini meliputi pengucapan kata yang pasti oleh
orang-orang tertentu dalam keadaan yang pasti.
2)
Mereka yang
terlibat dalam situasi yang melingkupinya (seperti: janji, sumpah, penganugerahan,
dll) Memang sudah sebaiknya atau penting untuk mengucapkannya sesuai
dengan prosedur yang ditempuhnya.
3)
Prosedur itu
harus dilaksanakan oleh semua pihak yang terlibat secara tepat (menuntut
kejujuran dalam isi ucapan, Pen.).
4) Harus dilaksanakan dengan
sempurna (menuntut pertanggungjawaban dalam pelaksanaan isi ucapan, Pen. )[16]
Apabila salah satu dari prasyarat
tersebut di atas tidak dipatuhi, maka Austin tidak mengatakan ucapan
performatif itu salah,melainkan tidak laik (anhappy). Ucapan performatif
yang tidak laik itu oleh Austin dianggap sia-sia (void).
2.
Tindakan Bahasa (Speech Acts)
Dalam usahanya mempelajari speech
acts,[17]
Austin membedakan tiga macam Acts atau perbuatan yang dapat memainkan
peranan jika kita mengucapakan satu kalimat, yakni:
a. Tindakan Lokusi (Lukusionari Acts)
Menurut pandangan Austin, tindakan
lokusi lebih umum sifatnya dibandingkan jenis bahasa yang lain. Dalam tindakan
lokusi, si penutur melakukan tindakan bahasa dengan sesuatu yang pasti.
Artinya, gaya bahasa si penutur dihubungkan dengan sesuatu yang diutarakan
dalam isi tuturnya. Jadi yang diutamakan isi tuturan yang diungkapkan itu
dimaksukan untuk memperjelas tindakan bahasa yang dilakukan itu sendiri. Contoh
“Ia mengatakan kepada saya: “Tembaklah dia!” berarti melalui ucapan “tembaklah”
mengarah dan mengacu pada orang ketiga. Di sini tidak ada keharusan bagi “saya”
(si penutur) untuk melaksanakan isi ucapan itu. Artinya, tindakan lokusi
tidak mencerminkan tanggungjawab si penutur untuk melaksanakan isi tuturannya.
Bagi Austin tindakan lokusi itu merupakn dasar untuk melaksanakan tindakan
bahasa lainnya, terutama tindakan lokusi.[18]
Austin menggolongkan “locutionary
act” menjadi 3 macam tindakan bahasa yakni:
·
Phonetic
act, berdasar pada unsure empiris bahasa yakni yang berupa bunyi bahasa.
·
Phatic act,
berdasarkan pengucapan kosa kata tertentu. (Dia berkata, “Saya akan tidur di
kamar”.)
·
Rhetic act,
mengunakan kosa kata yang ada pada ‘phatic act’ dengan acuan dan pengertian
yang sudah pasti. (Dia berkata bahwa dia akan tidur di kamar.)[19]
b. Tindakan Illokusi (Illokusionary Acts)
Dalam pembahasan tindakan illokusi
ini, Austin lebih menitikberatkan pada “tindakan dalam pengetahuan sesuatu”
sebab di situ terkandung sesuatu daya atau kekuatan (force) yang
mengharuskan si penutur untuk melaksanakan isi tuturannya.Contoh:
1)
Saya
berjanji akan menghadiri acara perkaulanmu.
2)
Saya
menyarankan kepadammu untuk tidak merokok lagi.
3)
Saya menduga
obat ini dimakan olehnya sebelum makan.
Contoh di atas merupakan tindakan
illokusi sebab dalam berjanji, menyarankan, menduga terkandung suatu daya yang
menuntut tanggungjawab si penutur untuk melaksanakan isi tuturannya. Namun
tindakan illokusi itu terlebih dahulu harus dilihat apakah situasi dan kondisi
yang melingkupi memang sesuai dengan ini tuturannya. Misalnya kita ambil
contoh: “Saya berjanji akan menghadiri pesta perkawinannya”. Padahal tidak ada
pesta perkawinan yang akan dilaksanakan atau sudah selesai acaranya. Ini
berarti tindakan illokusi itu tidak akan mencerminkan tanggungjwab si penutur
terhadap isi tuturannya. Akibatnya timbul kejanggalan-tidak semestinya-dalam
pengungkapan isi tuturan itu.
Perlu diketahui juga bahwa “Situasi
atau keadaan yang dikemukakan di atas bukanlah merupakan syarat yang mutlak
bagi suatu tindakan illokusi karena mungkin saja dalam kasus tertentu si
penutur tidak mengetahui berlakunya keadaan yang demikian. Misalnya saja dalam
tuturan “saya berjanji akan mengadiri acara perkaulanmu”, mungkin si penutur
memang benar-benar tidak mengetahui bahwa acara perkaulan yang akan dihadirinya
itu telah usai. Maka kita tidak bisah menyalahkan tutur dan tindakanny. Di sini
hanya diandaikan bahwa seseorang yang melakukan tindakan illokusi itu telah
mengetahui terlebih dahulu situasi dan keadaan tertentu yanng berkenaan dengan
isi tuturanya.
Austin membagi “ Illocutionary act”
menjadi lima bagian yakni:
·
Verdictives,
akibat adanya keputusan.
·
Exercitives,
akibat adanya kekuasaan, hak atau pengaruh.
·
Commissives,
akibat adanya perjanjian atau perbuatan.
·
Behabitives,
dilaksanakan dengan sikap dan tingkahlaku sosial
·
Expositives,
menyederhanakan ucapan-ucapan serta penggunaan kata-kata agar selaras dengan
argumentasi atau percakapan.[20]
c. Tindakan Perlokusi (Perlocutionary Acts)
Dalam tindakan illokusi kita melihat
isi tuturan lebih mengena diri si penutur jadi tindakan perlokusi ini adalah
akibat atau pengaruh yang ditimbulkan oleh isi tuturan, baik nyata maupun
tidak. Di sini terkandung unsur kesengajaan dari si penutur untuk
mempengaruhi pendengarnya melalui isi tuturan yang dilontarkannya.
Menurut Austin mengatakan sesuatu
sering sekali menimbulkan pengaruh yang pasti terhadap perasaan, pemikiran atau
perilaku si pendengar atau si penutur itu sendiri, ataupun bagi orang lain. hal
ini dapat dilakukan dengan cara merancang, mengaarahkan atau menetapkan tujuan
tertentu pada perkataan yang akan kita ungkapkan. Inilah yang dinamakan tindakan
perlokusi.Contoh:
1) Saya meyakinkan dia bahwa tidak ada
kuasa kuasa jahat hadir padanya.
2) Saya membujuk adik agar menghentikan
tangisannya.
3) Saya membuat anak itu berani
untuk berbicara di depan umum.
Jenis-jenis kata kerja lainnya yang
merupakan ciri khas tindakan perlokusi ini adalah: “membimbing dan mempelajari
sesuatu, memperdayakan, mengajak, merangsang, mengejutkan, menggembirakan,
menyebabkan dan melakukan sesuatu, membangkitkan, membingungkan, menyebabkan
dan memikirkan tentang sesuatu, meredakan ketegangan, mempermalukan, menarik
perhatian, mengemukakan, dan lain-lain.[21]
Dalam tindakan perlokusi, akibat
yang timbul memang dirancang dan diarahkan sedemikian rupa, sehingga ada upaya
untuk mempengaruhi pendengar secara maksimal. Apabila dikatakan “saya
membutuhkannya agar ia mau meminjami saya uang”, maka di sini terkandung upaya
si penutur (saya) untuk memperoleh pinjaman uang dari seseorang melalui
cara-cara tertentu. Artinya, sesuatu tindakan perlokusi merupakan hasil yang
diinginkan atau telah diperhitungkan sebelumnya oleh si penutur. Jadi, tujuan
si penutur untuk mempengaruhi pendengarnya itulah yang paling menonjol dalam
tindakan perlokusi ini.[22]
Untuk lebih jelas kita lihat
perbandingan antara “locutionary acts”, “illocutionary acts” dan “
perlocutionary act”:
-
Locutionary : Dia berkata bahwa…
-
Illocutionary : Ia menerangkan bahwa…
-
Perlocutionary : Ia meyakinkan saya bahwa…[23]
III.
Penutup
Filsafat yang
mengarahkan kita kepada pemahaman yang lebih mendalam, menuntun kita pada
pemahaman yang benar. Filsafat tidak dapat lepas dari bahasa. Karena bahasa
adalah pengungkapan/pembahasaan pemikiran akan realita yang ada. Dari bahasa
dan cara berbahasa kita semakin mengetahui arah dan tujuan pembicaraan dalam
mengungkapkan banyak hal, baik itu pemikiran, perasaan ataupun hanya sekedar
informasi. Namun dalam hal ini bahasa memiliki tempat dan peran yang sangat
menentukan.
Demikianlah
Austin mencoba melihat dari sudut pandang bahasa sehari-hari yang sering kita
pakai masih memiliki kesalahan (yang mungkin telah terbiasa) atau kurang tepat dalam
pemahaman dan konsep yang dibentuk atau ditangkap (salah) namun diteruskan/tetap
dipakai. Austin dalam Filsafat Bahasa Biasanya lewat karyanya dari kertas kerja
yang ia tinggalkan sebelum meninggal, memaparkan tentang penggunaan bahasa yang
memiliki/berisi ungkapan dan bahasa yang mengakibatkan/berisi tindakan dari si
pengungkap dan pendengarnya.
Hal yang paling
menarik dari pemaparan Austin, yakni, ia mampu menerangkan perbedaan antara
ucapan-ucapan performatif dengan ucapan-ucapan konstatif, yang diuraikan dengan
jelas dalam tindakan-tindakan bahasa (speech
acts)
Dalam
pandangannya ia meyakinkan bahwa berbagai jenis kalimat, seperti kalimat Tanya,
kalimat seru, dan kalimat perintah seolah-olah merupakan perjanjian saja. Sebab
kalimat-kalimat tersebut tidak tersentuh oleh criteria benar atau salah. Austin
mengajarkan agar kita mempelajari dan menguji kalimat-kalimat yang kita
utarakan, walaupun kalimat-kalimat tersebut telah bersubyek dan berpredikat,
apakah kalimat-kalimat tersebut sudah selayaknya mewakili idea tau gagasan yang
kita maksudkan dan benar ditangkap oleh pendengar kita.
IV.
Refleksi
pribadi
1. Analisa
atas filsuf yang dipilih (Filsuf lain, sumber-sumber perkuliahan)
Wittgenstein yang dianggap
sebagai perintis aliran filsafat bahasa biasa sukses dalam karyanya Traktacus. Akhirnya ia menyadari bahwa
bahasa logika ternyata mengandung kelemahan , yaitu tidak mampu menyentuh
realitas dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu ia mengalihkan
perhatiannya kepada bahasa biasa dan cara penggunaannya. Dalam ungkapan “ makna
sebuah kata itu adalah penggunaannya dalam bahasa dan bahwa makna bahasa itu
adalah penggunaannya dalam hidup”. Dalam hal inilah filsafat menguraikan dan
menerangkan bahasa, seperti menyelidiki permainan-permainan bahasa yang
berbeda-beda menunjukan aturan-aturan yang berlaku di dalamnya, menetapkan
logikanya dan sebagainya. Dalam permainan bahasa “ Language game” Wittgenstein mengatakan bahwa makna kata atau
kalimat itu ditentukan oleh penggunanya dalam bahasa dan bukan semata oleh
“logika”. Hal inilah yang diperdalam oleh Jhon Langshaw Austin dalam Filsafat
Bahasa Biasa dalam “Use” (penggunaan)
menunjukan tehnik bagaimana menangkap makna suatu ungkapan bahasa dalam
fungsinya sebagaimana ungkapan itu digunakan oleh sipemakai bahasa tersebut.
Ciri khas yang dapat dibandingkan
dengan Wittgenstein dan Gilbert Reyle. Wittenstein mendasarkan pada makna
bahasa sehari-hari dalam kaitannya dengan konteks penggunaannya dalam berbagai
bidang kehidupan sehingga dikembangkannya dalam teorinya yang dikenal dengan (language game). Ryle lebih menekankan
pada aspek pragmatis dalam kaitannya dengan aturan-aturan logika, sehingga Ryle
sering menemukan persoalan filsafat timbul karena kekacauan dalam penggunaan
bahasa yang melanggar norma logika atau tidak sesuai dengan kategori logika,
yang dikenal dengan (category mistake).
Ia juga membedakan dan memperjelas filsafat bahasa biasa, yaitu pembedaan
istilah “penggunaan bahasa yang biasa” (the
use of ordinary language), dan “pengunaan bahasa yang biasa” (the ordinary linguistic usage), demikian
juga tentang “penggunaan yang biasa dari ungkapan” (the ordinary use of the epression). Namun Austin dalam pemikiran
filsafat bahasa biasa ia menaruh perhatian dan menekuni tentang pembedaan
jenis-jenis ucapan dan pembedaan tentang (speech
acts) tindakan-tindakan bahasa. [24]
Dalam fungsinya, bahasa memiliki
tiga fungsi, yakni: ekspresi, direktif dan inofatif. Ekspresi merupakan ucapan
konstatif, sedangkan direktif adalah ucapan performatif dan inofatif merupakan
penalaran benar-salah dari ucapan tesebut untuk layak dipakai atau tidak dalam
pembahasaan. Ketiga hal ini sangat diterangkan Austin dalam pembahasannya di How To Do Things With Words. Demikian
juga bahwa dalam bahasa sehari-hari kita sering menjumpai bahasa yang kesesatan
dalam penggunaan bahasa tersebut. Ada beberapa pemaparan Austin mengenai
ketidak sahan kalimat dalam penggunaannya untuk ucapan performatif dan
konstatif menunjukan kekurang logisan dan sampai ambiqu dalam penggunaannya.
Kesesatan-kesesatan inilah yang memiliki kesamaan dalam ketidaksahan dalam
penggunaan ucapan-ucapan performatif dan konstatif yang menimbulkan keraguan
dan perbedaan dari ucapan, orang yang mengucapkan dan pendengarnya. Demikian
juga bagaimana kelogisan suatu ucapan yang harus benar-benar dipikirkan dengan
baik akan apa yang dikatakan dan apa pengaruh pembicara dan lawan bicara akan
akibat dari ucapan yang disampaikan.
Dalam hal ini yang perlu
mendapatkan perhatian dan penekanan adalah kata “penggunaan” dan
bukannyaperkataan biasa atau ungkapan. Filsafat bahasa biasa itu berkenaan
dengan penggunaan yang biasa dan standart, yang baku dan benar. Hal ini
berlawanan dengan penyalahguanaan dan bukannya berkaitan dengan penggunaan yang
dilawankan dengan ketidakberguanaan dari ungkapan-ungkapan.[25]
Demikianlah dalam bahasa
sehari-hari yang sederhana ini kita semakin dituntun kepada berbahasa yang baik
dan benar. Lewat pengungkapan yang telah dipikirkan dan dipertimbangkan akan
efek dari ucapan yang disampaikan baik bagi pendengar terlebih bagi yang menyampaikannya.
Dalamnya kita menyadari bahwa kita telah benar-benar berbahasa dengan baik dan
benar. Dalam bahasa yang baik dan benar akan nampak pola pikir dari orang uang
mengucapkan bahasa tersebut.
2. Relevansi
bagi penggunaan bahasa pada zaman ini
Masa sekarang ini sering
didefnisikan dengan “zaman NOW”. Dalamnya harus kita kritis untuk melihat
pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan manusia dan kehidupannya.
Demikianlah pola pemikiran dan bahasa yang merupakan dari kehidupan itu juga
berdampak. Manusia sangat bebas mengungkapkan apapun lewat sosial media dalam
ungkapan-ungkapan yang sering merupakan ungkapan spontan (tanpa pertimbangan
dan pemikiran). Ungkapan ini diungkapkan hanya sebatas keinginan mengungkapkan
tanpa pertimbangan matang apakah yang saya sampaikan?, apakah bahasa saya
tepat?, apakah efek dari ungkapan yang
saya sampaikan?. Hal ini sangat menjamur saat ini. Sangat nampak jelas di dunia
Sosial Media Komusikasi Elektronik. Orang semau
gue menyampaikan ungkapannya. Orang kurang dan bahkan tidak sama sekali
mempertimbangkan ucapan yang ia
sampaikan. Padahal ucapan tersebut akan diamati oleh banyak orang, yang
pastinya berdampak pada orang lain, dirinya dan tanpa disadari nilai
ucapan/ungkapan yang dilontarkan ternyata sangat tidak baik. Kebebasan
berkomunikasi semakin membuat manusia lupa dan lepas kontrol dalam
mengungkapkan hal apapun. Sehingga beberapa pengaruh yang sangat tampak yakni:
orang yang mengucapkan ungkapan tersebut tidak mempertimbangkan apa yang ia
sampaikan, bahasa pasaran sangat
menjamur yang mengakibatkan ungkapan tersebut sebenarnya jika dikritisi apakah
logis dan tepat pembahasaannya. Hal inilah yang berlanjut kepada tidak sama
pemahaman si pengungkap dan pendengar sehingga ide yang disampaikan menjadi
tidak sama dan memunculkan kesesatan dan ambiqu yang menuntun pada kesalah
pahaman antara keduabelah pihak yang berujung pada pertengkaran.
Ungkapan-ungkapan yang disampaikan kurang tepat dan logis, yang mana orang
sering mencoba mengungkapkan penyindiran dengan bahasa perumpamaan sehingga
orang terlalu bebas dan liar dalam menanggapinya.
Pada masa ini sangat perlulah
setiap orang kembali kepada tujuan bahasa tersebut yakni menuntun kita kepada
pemahaman yang benar dan menjadi alat komunikasi antara dua atau lebih orang karena
didalamnya orang mengalami ikatan karena pengungkapan yang baik dan benar itu
menjadi ikatan dan tujuan dari bahasa tersebut menyatukan pemahaman yang dapat
diterima dengan baik oleh semua orang. Berbahasa yang baik dan benar dalam
kehidupan sehari-hari akan membuat kita
sampai kepada pemikiran yang benar, komunikasi yang timbalbalik dan tersampaikannya
ide dan gagasan di antara kedua belah pihak serta yang paling penting bahwa
kita telah menjadi manusia yang seutuhnya karena telah mengungkapkan kemanusiaan
kita yang baik dan benar pula lewat bahasa kita. Karena dari bahasa kita
menunjukan kedirian dan kemanusiaan kita yang utuh.
3. Relevansi
bagi dirimu sendiri sebagai calon imam/religious
Dalam kehidupan sehari-hari
terlebih dalam panggilan sebagai seorang religius saya telah memilih cara hidup
yang menuntun saya sebagai pribadi yang utuh. Dalam panggilan ini saya selalu
harus mengolah diri saya untuk benar-benar menjadi manusia yang seutuhnya.
Dalam pengolahan diri ini saya mencoba untuk merenungkan merefleksikan dan
terlebih menyadiri kemanusiaan dan kehidupan saya dalam terang hidup lebih
baik. Pengolah diri yang lebih baik akan menuntun pola kehidupan saya ke arah
yang lebih baik pula. Dalam kesadaran akan panggilan religius ini saya bukan
lagi pribagi “ego” namun menjadi “sosial” yang dalamnya ada orang lain yang
mengisyaratkan kemanusiaan saya untuk mengetahui dan mempunyai afektivitas.[26]
Kemanusiawian saya dan kehidupan saya adalah perjalanan yang akan terus
bersama. Dalam inilah saya mengungkapkan siapa kemanusiaan saya yang bukan lagi
sama seperti orang pada umumnya,, namun saya adalah pribadi religius yang
memiliki lebih banyak tanggung jawab pemberi kebaikan entah dalam tutur kata
dan tingakan. Karena sebagai religius saya menunjukan realitas yang lebih
tinggi. Bukan hanya sebagai individu
kemanusiaan[27]
semata namun sebagai “individu dalam kemanusiaan
ilahi”. Dalam kemanusiaan ilahi inilah saya harus sadar bahwa saya harus
menunjukan hal yang lebih baik. Kemanusiaan saya yang seutuhnya dan ilahi itu
nampak dalam tutur kata dan tindakan. Maka dari itu semakin saya menyadari
realitas tertinggi dalam panggilan hidup religius ini semakin saya harus
menampakkan kebaikan dan kebenaran dalam kehidupan saya, terlebih dalam
perkataan saya dalam hal ini. Dalam kata-kata saya akan tampak sampai dimana
kesadaran realitas tertinggi panggilan hidup sebagai religius itu saya maknai
dan hidupi. Karena lewat kata-katalah para religius lebih banyak menarik dan
menuntun orang lain pada kebaikan dan kebenaran hidup. Seperti dikatakan dari
perkataan seseoranglah nampak kedalam hidup rohani/religiusnya.
Maka dari itu peran bahasa yang
baik dan benar dalam penyampaiaan dan menggunaannya. Saya harus menyadari bahwa saya punya peran
bukan hanya sebagai manusia pada umumnya, nanmun saya adalah individu yang ‘menghidupi’
kemanusiaan ilahi. Dengan demikian
saya hidup dalam kehidupan saya yang baik dan benar pula dalam tutur kata dan
tindakan.
Daftar
Pustaka
1. Kaelan.
Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika.
Yogyakarta: Paradigma, 2017.
2. Leahy,
Louis. Siapakah Manusia?. Yogyakarta:
Kanisius, 2001
3. Mustansyir,
Rizal. Filsafat Analitik. Sejarah,
perkembangan, dan Peranan Para Tokoh. Jakarta: Rajawali Pers, 1987.
4. Sudarminta,
J.. Epistemologi Dasar Pengantar Filsafat
Pengetahuan. Yogyakara: Kanisius, 2002.
5. Suriasumantri,
Jujun S.. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.
[1] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:Pusta Sinar
Harapan, 2017), hlm. 171, 173. Bdk, J. Sudarminta Epistemolegi Dasar Pengantar
Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 42.
[2] Mario Pei, Kisah dari pada Bahasa, (Djakarta:Bhratara, 1971), hlm. 385.
[3] Louis Leahy, Siapakah Manusia?, (Yogyakarta:Kanisius, 2001), hlm. 37.
[4] A. Joko Wicoyo, Filsafat Bahasa Biasa dan Tokohnya, (Yogyakarta:Liberty, 1997),
hlm. 22.
[5] A.
Joko Wicoyo, Filsafat Bahasa…, hlm.
19.
[6] A.
Joko Wicoyo, Filsafat Bahasa…, hlm.
20-21.
[7] A.
Joko Wicoyo, Filsafat Bahasa…, hlm.
22.
[8] A.
Joko Wicoyo, Filsafat Bahasa…, hlm.
22-23.
[9] A.
Joko Wicoyo, Filsafat Bahasa…, hlm.
25.
[10]
A. Joko Wicoyo, Filsafat Bahasa…,
hlm. 27.
[11]
Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik
Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya, (Jakarta: Rajawali Pers
1987), hlm. 104. Bdk. Kaelan, M.S. Filsafat
Bahasa Semiotika dan Hermeneutika, (Yogyakarta: Paradigma, 2017),hlm.
141-142.
[12]
Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik…, hlm.
105.
[13]
Kaelan, M.S. Filsafat Bahasa…,hlm.
143.
[14]
Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik…, hlm.
105-106.
[15]
Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik…,
hlm. 106-107.
[16]
Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik…,
hlm. 107-108. Bdk. Kaelan, M.S. Filsafat
Bahasa…,hlm. 143-144.
[17]
A. Joko Wicoyo, Filsafat Bahasa…,
hlm. 23. Bdk. Kaellan, M.S., Filsafat Bahasa…, hlm. 145.
[18]
Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik…,
hlm. 112.
[19]
Kaelan, M.S. Filsafat Bahasa…,hlm.
146-147.
[20]
A. Joko Wicoyo, Filsafat Bahasa…,
hlm. 43-45, bdk. Kaellan, M.S., Filsafat Bahasa…, hlm. 148-150.
[21]
Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik…,
hlm. 114.
[22]
Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik…,
hlm. 119. Bdk. Kaellan, M.S., Filsafat Bahasa…, hlm. 152.
[23]
A. Joko Wicoyo, Filsafat Bahasa…,
hlm. 46.
[24]
Kaellan, M.S., Filsafat Bahasa…, hlm.
140.
[25] Kaellan,
M.S., Filsafat Bahasa…, hlm. 138.
[26]
Louis Leahy, Siapakah…, hlm. 56.
[27]
Louis Leahy, Siapakah…, hlm. 52-53.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar