Sabtu, 17 November 2018

FILSAFAT: FILSAFAT BAHASA BIASA MENURUTJOHN LANGSHAW AUSTIN



Filsafat Bahasa Biasa Menurut John Langshaw Austin
I.                   Pendahuluan

1.      Latar Belakang Pembahasan
Dalam perbedaan kodrati yang paling menonjol dengan sesama mahluk primat lainnya, manusia adalah mahluk yang berbahasa.[1] Manusia sebagai mahluk yang berpikir mencoba membahasakan dalam rupa simbol-simbol yang menjadi representasi akan banyak fenomena di sekitarnya. Bahasalah yang menjadi muatan pengertian akan segala hal yang diungkapkan dan dimengerti. Manusia tidak akan pernah lepas dari bahasa dan pembahasaan. Dalam keseharian, sejak bayi mulai belajar memahami, dengan melihat, mendengar, meniru, semuanya itu proses awal dalam pembahasaan akan hal-hal di sekitar.[2] Demikianlah bahasa itu belanjut menjadi pengungkapan pemikiran dan pengetahuan manusia.[3] Sampai kepada manusia membahasakan segala hal dalam kehidupannya dengan bahasa sehari-hari yang ia pakai.
Bahasa sehari-hari adalah bahasa sederhana yang sangat gampang dimengerti olah siapapun. Dari bahasa sehari-hari inilah kita mau melihat sudut pandang dari John Langshaw Austin akan pemikirannya mengenai filsafat bahasa yang sering disebut ‘Bahasa Biasa’.[4]

2.      Perumusan Masalah/Pokok Pemikiran
“What to say when” adalah ungkapan yang sering dilontarkan oleh Austin untuk mencoba menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi dengan  penyelidikan bahasa. Perhatian Austin sebagai seorang filsuf  terhadap bahasa sehari-hari yang mencoba mendapatkan pelajaran dan pengalaman langsung dari pengunaan bahasa sehari-hari untuk mengungkapkan dan memahami masalah-masalah filosofis nampaknya sangat menarik. Bahasa sehari-hari membantu kita untuk membahasakan segala bentuk fenomena yang terjadi dengan bahasa yang sederhana dan gampang dimengerti. Austin mencoba menghantar kita kepada muatan yang terkandung dalam bahasa dan tindakan yang diakibatkan dalam penggunaan bahasa  itu sendiri yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Austin lebih tertarik untuk semakin melihat lebih dalam penggunaan bahasa sehari-hari yang ternyata memampukan banyak orang sadar bahwa ternyata bahasa sehari-hari juga memiliki muatan untuk berfilsafat.

3.      Tujuan Pembahasan
Dalam pembahasan ini kita mencoba melihat dan memahami pemikiran dari John Langshaw Austin akan kehadiran bahasa sehari-hari dalam dunia filsafat. Bahasa sederhana yang biasa kita gunakan dalam berkomunikasi sehari-hari ternyata mengandung banyak pemikiran dan pengetahuan akan fenomena-fenomena mulai dari yang sederhana sampai ke hal yang hakiki tentang pertanyaan yang sangat mendasar, yakni “mengapa aku ada?” Bahasa biasa sebagai bahan pemikiran Austin mendapat perhatian khusus untuk dipahami lebih mendalam bahwa sering dari bahasa sehari-hari yang sangat sederhana itu orang tidak menyadari bahwa mereka sedang berfilsafat. Buah pemikiran Austin inilah yang hendak kita pahami lebih mendalam dalam pembahasan ini. Sehingga kita lebih memahami penggunaan bahasa sehari-hari dalam filsafat dapat mengantar kita kepada ‘sumber pengetahuan’.

II.                Filsafat Bahasa Biasa  Menurut John Langshaw Austin

1.      Riwayat Hidup
John Langshaw Austin lahir pada tanggal 26 Maret 1911 di Lancaster dan meninggal pada Februari 1960 dalam usia 48 tahun. Pada tahun 1924 ia khusus belajar filologi klasik dan memenangkan perlombaan penulisan prosa Yunani pada tahun 1931. Mulai saat itulah Austin mulai berkenalan dengan dunia filsafat. Austin tertarik dengan filsafat Leibniz dan ia juga mendalami filsafat Yunani terutama filsafat Aristoteles yang banyak mempengaruhi filsafatnya, terutama tentang filsafat bahasa dalam pergaulan sehari-hari.[5]
Dalam masa perkuliahannya J. L. Austin tidak hanya mendalami filsafat kontemporer saja. Namun ia mencoba mendalaminya untuk lebih mengetahui sejarahnya secara mendetail. Sejak 1935, J.L. Austin mulai mengajar dan ia menikah dengan Jean Coutts tahun 1941 yang dikaruniai anak empat orang.
Saat Perang Dunia II, Austin memasuki dinas militer. Pada tahun 1945 ia keluar dari dinas militer dan melanjutkan mengajar di Universitas. Tak banyak didapat tulisan-tulisan karangan dari J.L. Austin. Hanya berupa kertas-kertas kerja sebagai bahan pengajaran saja. Ini yang menjadi pertinggal secara tertulis dari pemikiran Austin. [6]

2.      Karya-karya
Austin tidak meninggalkan hasil karyanya sampai penghujung masa kehidupannya kecuali tujuh kertas kerjanya, dan itupun hanya sebagian saja yang di terbitkan. Namun dengan kertas-kertas kerja yang ia presentasekan pada pertemuan-pertemuan ilmiahnya serta kuliah-kuliahnyamaupun diskusi-diskusi yang diadakannya secara berkala, Austin mempunyai pengaruh yang sangat besar di kalangan para filsuf di Oxford.[7]
Setelah meninggalnya Austin, G.J. Warnock menerbitkan ketiga buku yang berisi pemikiran Austin, yakni:
·         Philosophical Papers merupakan karya-karya Austin bertemakan “A Priori Concepts” dan “performative Utterance” yang merupakan wawancara yang disiarkan lewat pemancar radio di tahun 1956.
·         Sense and Sensibilia adalah kumpulan-kumpulan kuliah-kuliahnya yang pertama di Oxford di tahun 1947.
·         How  To Do Things With Words, yang berisikan doktrin tentang “Speech act”[8]

3.      Pemikiran Filsafat J.L. Austin
Dalam pemikiran filsafatnya Austin meneruskan filsfat bahasa biasa Wittgenstein yang  memiliki perhatian yang sangat kuat terhadap bahasa biasa dalam arti penggunaannya dalam pergaulan sehari-hari. Wittgenstein mengatakan bahwa makna kata atau kalimat itu ditentukan oleh penggunaannya dalam bahasa dan bukan oleh “logika.” Dalam pemikiran filsafatnya J. L. Austin mengambil alih pemaknaan tersebut dengan menyampaikan bahwa kita akan semakin mendapat pelajaran yang sangat banyak ketika kita semakin mmengetahui fungsi bagaimana ungkapan yang digunakan oleh sipemakai bahasa tersebut terlaksana penggunaannya “use” dalam percakapan sehari-hari yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan menurutnya tidak jarang masalah-masalah filosofis akan nampak dalam bentuk yang baru jikalau kita semakin memperhatikan dengan sungguh-sungguh dan jelas bagaimana bahasa itu, aturan-aturannya dan bagaimana cara bekerjanya.
Austin selalu menekankan bahwa penggunaan bahasa tidak dapat dilepaskan dengan situasi tindakan kongkrit dimana ungkapan-ungkapan yang dikemukakan dan dari fenomena-fenomena yang berkaitan dengan penggunaan bahasa tersebut. Ungkapan yang sering Austin lontarkan adalah What to say when, yang berarti unsur bahasa (what), dianggap sama pentingnya dengan dunia fenomena-fenomena (When). Oleh karena itu Austin sendiri menamakan konsepnya itu dengan linguistic phenomenology, sebab nama itu dinyatakan percobaannya untuk menjelaskan fenomena-fenomena dengan melalui penyelidikan bahasa.[9]
Sebagai seorang filsuf bahasa biasa Austin memiliki perhatian yang khas terhadap penggunaan bahasa biasa, sehingga ia memiliki ciri khas dibandingkan dengan Wittgenstein dan Gilbert Ryle. Wittgenstein mendasarkan pada makna bahasa sehari-hari dalam kaitannya dengan konteks penggunaannya dalam pelbagai bidang kehidupan, sehingga dikembangkannya dalam teorinya yang dikenal dengan language games. Ryle lebih mendekatkan pada aspek pragmatis dalam kaitannya dengan aturan-aturan logika, sehingga Ryle sering menemukan persoalan filsafat timbul karena kekacauan dalam penggunaan bahasa yang melanggar norma logika atau yang tidak sesuai dengan kategori logika, yang dikenal dengan category mistake. Namun Austin dalam pemikiran filsafat bahasa biasanya menaruh perhatian dan menekuni tentang pembedaan jenis-jenis ucapan dan pembedaan tentang tindakan-tindakan bahasa.
Dalam penikirannya Austin mencoba untuk lebih dalam memaknai bahasa dalam makna yang sebenarnya. Bahasa dalam penggunaannya untuk mengungkapkan suatu pemikiran dalam konteks pemaknaan pembahasaan filosopis yang sering dipakai oleh para filsuf yang tak jarang dianggap tidak bermakna menjadi sumber pengetahuan, dengan bahasa sehari-hari.
Mengetahui makna yang sesuai dan menempatkan bahasa dalam pemaknaan yang tepat membantu kita untuk menangkap apa yang dimaksut oleh sipembahasa. Demikianlah Austin membuat pembedaan dalam study bahasa yakni “performative utterances” (ucapan-ucapan performatif) dan “constative utterances” (ucapan-ucapan konstatif). Hal-hal inilah yang ia kembangkan dalam “speech act.”[10]

4.      Metode Filsafat Secara Umum
Dalam pengembangan pemaparannya, untuk menjelaskan pemikirannya, Austin menggunakan metode “teknik laboratoeium” (laboratory technique). Austin mencoba membantu kita untuk sampai kepada pemahaman dan penggunaan bahasa kita yang baik dan tepat penggunaannya setelah menganalisa arti kata, ungkapan atau kaliamat serta bentuk tata bahasa setelah dicermati secara sitematik, menyeluruh dan akurat.
Dalam pengalamannya di Oxford, Austin sangat sering dan menyukai sistim diskusi untuk kelompok yang mana pesertanya saling mengoreksi dan mendiskusikan tentang fungsi ataupun makna kata, ungkapan dan kalimat. Setiap orang memberi ide pemikiran masing-masing akan analisa bahasa tersebut.
Namun pada dasarnya dalam diskusi tersebut mereka mencoba membedakan antara peristilahan refleksif dan kata-kata dalam bahasa sehari-hari.
 
5.      Inti Pemikiran Filsafat John Langshaw Austin dalam Bahasa Biasa
Sebelum Austin, kebanyakan filsuf hanya menaruh perhatian terhadap ungkapan yang bermakna dan tidak bermakna dan hanya ditentukan atas dasar fomulasi tertentu; misalnya menurut atomisme logis atau filsafat biasa Wittgenstein. Setelah sampai di tangan Austin perhatian tersebut mengalami pengfokusan mengenai pembedaan tentang jenis-jenis ucapan dan tentang tindakan-tindakan bahasa. Adapun penjelasan tentang kedua pembedaan itu sebagai berikut:

1.       Jenis Ucapan (Utterances)
Austin membedakan jenis ucapan yang acapkali kita jumpai dalam bahasa pergaulan sehari-hari menjadi dua. Yaitu, Ucapan Konstatif (Constative Utterance) dan ucapan Performatif (Performative Utterance).

a.      Ucapan Konstatif (Constative Utterance)
Adalah ucapan atau tuturan yang digunakan manakala kita menggambarkan suatu keadaan yang faktual, yang menyatakan sesuatu atau terdapat sesuatu yang dikonstatir dalam ucapan tersebut. Dalam pengertian ini ucapan konstatif memang memiliki konsekuensi untuk ditentukan benar atau salahnya, dan alam batas ini pandangan Austin masih sejalan dengan faham atomisme logik dan positivisme logik. Jadi dalam setiap ucapan konstatif ini terkandung suatu pernyataan yang memungkinkan situasi pendengar untuk menguji kebenarannya secara empiris atau berdasarkan pengalaman; baik secara langsug maupun tidak langsung. Istilah “konstatif” ini dipergunakan Austin untuk menggambarkan semua pernyataan yang dapat dinilai benar atau salahnya.[11] Untuk menjelaskan hal di atas  dapat kita ajukan beberapa contoh seperti yang tertera di bawah ini:
1) Banyak pedagang mainan anak-anak  di pasar Horas.
2)Saya melihat banyak pengendara sepeda motor tertangkap raziah di simpang Karang Sari jalan Medan tadi pagi.
3) Saya melihat seekor burung Elang peliharaan di sekitar lingkungan STSP.
Pernyataan di atas merupakan ucapan konstatif, sebab menggambarkan keadaan faktual atau peristiwa yang dapat diperiksa benar atau salahnya. Kita dapat membuktikan kebenaran ucapan seperti itu dengan melihat, menyelidiki, ataupun mengalami sendiri hal-hal yang telah diucapkan si penutur kepada kita. Oleh karena itu Austin menandaskan bahwa pada hakekatnya ucapan konstatif itu berarti membuat pernyataan yang isinya mengandung acuan histori atau peristiwa nyata.[12]

b.      Ucapan Performatif (Perfortative utterance)
Berbeda dengan ucapan yang dapat diperiksa benar atau salahnya, oleh karena itu pula dapat ditentukan kandungan makna dari ucapan tersebut maka ucapan performatif tidak dapat diperlakukan seperti itu. Karena itulah Austin menegaskan ucapan performatif tidak dapat dikatakan benar atau salah seperti halnya ucapan konstatif melainkan baik atau tidak (happy or anhappy) untuk diucapkan seseorang. Di dalam ucapan performatif ini peranan si penutur  dengan berbagai konsekuensi yang terkandung dalam isi ucapannya sangat diutamakan.[13] Untuk memperoleh penjelasan yang rinci kita dapat melihat contoh yang diajukan Austin ini:
1)“Saya bersedia menerima wanita ini sebagai istri yang sah”-ditentukan baik apabila diucapkan dalam sebuah upacara perkawinan.
2) “Saya namakan kapal ini Ratu Elisabeth”
3) “Saya memberikan dan mewariskan jam kepunyaan saya ini kepada saudara saya”.[14]

Dari contoh di atas, kita melihat bahwa peranan si penutur (saya) bertautan erat dengan apa yang diucapkannya. Ini berarti, masalah utama yang terkandung dalam ucapan performatif adalah apakah si penutur mempunyai wewenang (kewajaran atau kelaikan) untuk melontarkan ucapan seperti itu. Menurut pendapat Austin, kita dapat mengetahui bentuk ucapan performatif ini melalui ciri-ciri berikut:
1)      Diucapkan oleh orang pertama (persona pertama).
2)      Orang yang mengucapkannya hadir dalam situasi tertentu.
3)      Bersifat indikatif (mengandung pernyataan tertentu).
4)      Orang yang mengucapkannya terlibat secara aktif dengan isi pernyataan tersebut.[15]
Keempat ciri bisa saja dikenakan pada ucapan konstatif, namun penekanan utama dalam ucapan konstatif tidak terletak pada si penutur (subjek), melainkan pada objek tuturan-dalam hal ini peristiwa faktual. Sedangkan dalam ucapan performatif, penekanan utama tetap diletakkan pada si penutur dengan kelaikan pengucapannya. Akan tetapi keempat ciri tersebut belumlah menjamin kelaikan ucapan performatif.
Ada beberapa persyarat yang dibutuhkan agar ucapan performatif baik untuk diucapkan yakni:
1)      Harus mengikuti prosedur yang lazim berlaku dalam suatu lingkungan tertentu yang menimbulkan akibat tertentu pula. Ini meliputi pengucapan kata yang pasti oleh orang-orang tertentu dalam keadaan yang pasti.
2)      Mereka yang terlibat dalam situasi yang melingkupinya (seperti: janji, sumpah, penganugerahan, dll) Memang sudah sebaiknya atau penting untuk mengucapkannya  sesuai dengan prosedur yang ditempuhnya.
3)      Prosedur itu harus dilaksanakan oleh semua pihak yang terlibat secara tepat (menuntut kejujuran dalam isi ucapan, Pen.).
4) Harus dilaksanakan dengan sempurna (menuntut pertanggungjawaban dalam pelaksanaan isi ucapan, Pen. )[16]
Apabila salah satu dari prasyarat tersebut di atas tidak dipatuhi, maka Austin tidak mengatakan ucapan performatif itu salah,melainkan tidak laik (anhappy). Ucapan performatif yang tidak laik itu oleh Austin dianggap sia-sia (void).

2.       Tindakan Bahasa (Speech Acts)
Dalam usahanya mempelajari speech acts,[17] Austin membedakan tiga macam Acts atau perbuatan yang dapat memainkan peranan jika kita mengucapakan satu kalimat, yakni:

a.       Tindakan Lokusi (Lukusionari Acts)
Menurut pandangan Austin, tindakan lokusi lebih umum sifatnya dibandingkan jenis bahasa yang lain. Dalam tindakan lokusi, si penutur melakukan tindakan bahasa dengan sesuatu yang pasti. Artinya, gaya bahasa si penutur dihubungkan dengan sesuatu yang diutarakan dalam isi tuturnya.  Jadi yang diutamakan isi tuturan yang diungkapkan itu dimaksukan untuk memperjelas tindakan bahasa yang dilakukan itu sendiri. Contoh “Ia mengatakan kepada saya: “Tembaklah dia!” berarti melalui ucapan “tembaklah” mengarah dan mengacu pada orang ketiga. Di sini tidak ada keharusan bagi “saya” (si penutur) untuk melaksanakan isi ucapan itu. Artinya,  tindakan lokusi tidak mencerminkan tanggungjawab si penutur untuk melaksanakan isi tuturannya. Bagi Austin tindakan lokusi itu merupakn dasar untuk melaksanakan tindakan bahasa lainnya, terutama tindakan lokusi.[18]
Austin menggolongkan “locutionary act” menjadi 3 macam tindakan bahasa yakni:
·         Phonetic act, berdasar pada unsure empiris bahasa yakni yang berupa bunyi bahasa.
·         Phatic act, berdasarkan pengucapan kosa kata tertentu. (Dia berkata, “Saya akan tidur di kamar”.)
·         Rhetic act, mengunakan kosa kata yang ada pada ‘phatic act’ dengan acuan dan pengertian yang sudah pasti. (Dia berkata bahwa dia akan tidur di kamar.)[19]

b.      Tindakan Illokusi (Illokusionary Acts)
Dalam pembahasan tindakan illokusi ini, Austin lebih menitikberatkan pada “tindakan dalam pengetahuan sesuatu” sebab di situ terkandung sesuatu daya atau kekuatan (force) yang mengharuskan si penutur untuk melaksanakan isi tuturannya.Contoh:
1)      Saya berjanji akan menghadiri acara perkaulanmu.
2)      Saya menyarankan kepadammu untuk tidak merokok lagi.
3)      Saya menduga obat ini dimakan olehnya sebelum makan.

Contoh di atas merupakan tindakan illokusi sebab dalam berjanji, menyarankan, menduga terkandung suatu daya yang menuntut tanggungjawab si penutur untuk melaksanakan isi tuturannya. Namun tindakan illokusi itu terlebih dahulu harus dilihat apakah situasi dan kondisi yang melingkupi memang sesuai dengan ini tuturannya. Misalnya kita ambil contoh: “Saya berjanji akan menghadiri pesta perkawinannya”. Padahal tidak ada pesta perkawinan yang akan dilaksanakan atau sudah selesai acaranya. Ini berarti tindakan illokusi itu tidak akan mencerminkan tanggungjwab si penutur terhadap isi tuturannya. Akibatnya timbul kejanggalan-tidak semestinya-dalam pengungkapan isi tuturan itu.
Perlu diketahui juga bahwa “Situasi atau keadaan yang dikemukakan di atas bukanlah merupakan syarat yang mutlak bagi suatu tindakan illokusi karena mungkin saja dalam kasus tertentu si penutur tidak mengetahui berlakunya keadaan yang demikian. Misalnya saja dalam tuturan “saya berjanji akan mengadiri acara perkaulanmu”, mungkin si penutur memang benar-benar tidak mengetahui bahwa acara perkaulan yang akan dihadirinya itu telah usai. Maka kita tidak bisah menyalahkan tutur dan tindakanny. Di sini hanya diandaikan bahwa seseorang yang melakukan tindakan illokusi itu telah mengetahui terlebih dahulu situasi dan keadaan tertentu yanng berkenaan dengan isi tuturanya.
Austin membagi “ Illocutionary act” menjadi lima bagian yakni:
·         Verdictives, akibat adanya keputusan.
·         Exercitives, akibat adanya kekuasaan, hak atau pengaruh.
·         Commissives, akibat adanya perjanjian atau perbuatan.
·         Behabitives, dilaksanakan dengan sikap dan tingkahlaku sosial
·         Expositives, menyederhanakan ucapan-ucapan serta penggunaan kata-kata agar selaras dengan argumentasi atau percakapan.[20]


c.       Tindakan Perlokusi (Perlocutionary Acts)
Dalam tindakan illokusi kita melihat isi tuturan lebih mengena diri si penutur jadi tindakan perlokusi ini adalah akibat atau pengaruh yang ditimbulkan oleh isi tuturan, baik nyata maupun tidak.  Di sini terkandung unsur kesengajaan dari si penutur untuk mempengaruhi pendengarnya melalui isi tuturan yang dilontarkannya.

Menurut Austin mengatakan sesuatu sering sekali menimbulkan pengaruh yang pasti terhadap perasaan, pemikiran atau perilaku si pendengar atau si penutur itu sendiri, ataupun bagi orang lain. hal ini dapat dilakukan dengan cara merancang, mengaarahkan atau menetapkan tujuan tertentu pada perkataan yang akan kita ungkapkan. Inilah yang dinamakan tindakan perlokusi.Contoh:
1) Saya meyakinkan dia bahwa tidak ada kuasa kuasa jahat hadir padanya.
2) Saya membujuk adik agar menghentikan tangisannya.
3) Saya membuat anak itu berani untuk berbicara di depan umum.
Jenis-jenis kata kerja lainnya yang merupakan ciri khas tindakan perlokusi ini adalah: “membimbing dan mempelajari sesuatu, memperdayakan, mengajak, merangsang, mengejutkan, menggembirakan, menyebabkan dan melakukan sesuatu, membangkitkan, membingungkan, menyebabkan dan memikirkan tentang sesuatu, meredakan ketegangan, mempermalukan, menarik perhatian, mengemukakan, dan lain-lain.[21]
Dalam tindakan perlokusi, akibat yang timbul memang dirancang dan diarahkan sedemikian rupa, sehingga ada upaya untuk mempengaruhi pendengar secara maksimal. Apabila dikatakan “saya membutuhkannya agar ia mau meminjami saya uang”, maka di sini terkandung upaya si penutur (saya) untuk memperoleh pinjaman uang dari seseorang melalui cara-cara tertentu. Artinya, sesuatu tindakan perlokusi merupakan hasil yang diinginkan atau telah diperhitungkan sebelumnya oleh si penutur. Jadi, tujuan si penutur untuk mempengaruhi pendengarnya itulah yang paling menonjol dalam tindakan perlokusi ini.[22]
Untuk lebih jelas kita lihat perbandingan antara “locutionary acts”, “illocutionary acts” dan “ perlocutionary act”:
-          Locutionary          : Dia berkata bahwa…
-          Illocutionary         : Ia menerangkan bahwa…
-          Perlocutionary      : Ia meyakinkan saya bahwa…[23]



III.             Penutup
Filsafat yang mengarahkan kita kepada pemahaman yang lebih mendalam, menuntun kita pada pemahaman yang benar. Filsafat tidak dapat lepas dari bahasa. Karena bahasa adalah pengungkapan/pembahasaan pemikiran akan realita yang ada. Dari bahasa dan cara berbahasa kita semakin mengetahui arah dan tujuan pembicaraan dalam mengungkapkan banyak hal, baik itu pemikiran, perasaan ataupun hanya sekedar informasi. Namun dalam hal ini bahasa memiliki tempat dan peran yang sangat menentukan.
Demikianlah Austin mencoba melihat dari sudut pandang bahasa sehari-hari yang sering kita pakai masih memiliki kesalahan (yang mungkin telah terbiasa) atau kurang tepat dalam pemahaman dan konsep yang dibentuk atau ditangkap (salah) namun diteruskan/tetap dipakai. Austin dalam Filsafat Bahasa Biasanya lewat karyanya dari kertas kerja yang ia tinggalkan sebelum meninggal, memaparkan tentang penggunaan bahasa yang memiliki/berisi ungkapan dan bahasa yang mengakibatkan/berisi tindakan dari si pengungkap dan pendengarnya.
Hal yang paling menarik dari pemaparan Austin, yakni, ia mampu menerangkan perbedaan antara ucapan-ucapan performatif dengan ucapan-ucapan konstatif, yang diuraikan dengan jelas dalam tindakan-tindakan bahasa (speech acts)
Dalam pandangannya ia meyakinkan bahwa berbagai jenis kalimat, seperti kalimat Tanya, kalimat seru, dan kalimat perintah seolah-olah merupakan perjanjian saja. Sebab kalimat-kalimat tersebut tidak tersentuh oleh criteria benar atau salah. Austin mengajarkan agar kita mempelajari dan menguji kalimat-kalimat yang kita utarakan, walaupun kalimat-kalimat tersebut telah bersubyek dan berpredikat, apakah kalimat-kalimat tersebut sudah selayaknya mewakili idea tau gagasan yang kita maksudkan dan benar ditangkap oleh pendengar kita.

IV.             Refleksi pribadi
1.      Analisa atas filsuf yang dipilih (Filsuf lain, sumber-sumber perkuliahan)
Wittgenstein yang dianggap sebagai perintis aliran filsafat bahasa biasa sukses dalam karyanya Traktacus. Akhirnya ia menyadari bahwa bahasa logika ternyata mengandung kelemahan , yaitu tidak mampu menyentuh realitas dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu ia mengalihkan perhatiannya kepada bahasa biasa dan cara penggunaannya. Dalam ungkapan “ makna sebuah kata itu adalah penggunaannya dalam bahasa dan bahwa makna bahasa itu adalah penggunaannya dalam hidup”. Dalam hal inilah filsafat menguraikan dan menerangkan bahasa, seperti menyelidiki permainan-permainan bahasa yang berbeda-beda menunjukan aturan-aturan yang berlaku di dalamnya, menetapkan logikanya dan sebagainya. Dalam permainan bahasa “ Language game” Wittgenstein mengatakan bahwa makna kata atau kalimat itu ditentukan oleh penggunanya dalam bahasa dan bukan semata oleh “logika”. Hal inilah yang diperdalam oleh Jhon Langshaw Austin dalam Filsafat Bahasa Biasa dalam “Use” (penggunaan) menunjukan tehnik bagaimana menangkap makna suatu ungkapan bahasa dalam fungsinya sebagaimana ungkapan itu digunakan oleh sipemakai bahasa tersebut.
Ciri khas yang dapat dibandingkan dengan Wittgenstein dan Gilbert Reyle. Wittenstein mendasarkan pada makna bahasa sehari-hari dalam kaitannya dengan konteks penggunaannya dalam berbagai bidang kehidupan sehingga dikembangkannya dalam teorinya yang dikenal dengan (language game). Ryle lebih menekankan pada aspek pragmatis dalam kaitannya dengan aturan-aturan logika, sehingga Ryle sering menemukan persoalan filsafat timbul karena kekacauan dalam penggunaan bahasa yang melanggar norma logika atau tidak sesuai dengan kategori logika, yang dikenal dengan (category mistake). Ia juga membedakan dan memperjelas filsafat bahasa biasa, yaitu pembedaan istilah “penggunaan bahasa yang biasa” (the use of ordinary language), dan “pengunaan bahasa yang biasa” (the ordinary linguistic usage), demikian juga tentang “penggunaan yang biasa dari ungkapan” (the ordinary use of the epression). Namun Austin dalam pemikiran filsafat bahasa biasa ia menaruh perhatian dan menekuni tentang pembedaan jenis-jenis ucapan dan pembedaan tentang (speech acts) tindakan-tindakan bahasa. [24]
Dalam fungsinya, bahasa memiliki tiga fungsi, yakni: ekspresi, direktif dan inofatif. Ekspresi merupakan ucapan konstatif, sedangkan direktif adalah ucapan performatif dan inofatif merupakan penalaran benar-salah dari ucapan tesebut untuk layak dipakai atau tidak dalam pembahasaan. Ketiga hal ini sangat diterangkan Austin dalam pembahasannya di How To Do Things With Words. Demikian juga bahwa dalam bahasa sehari-hari kita sering menjumpai bahasa yang kesesatan dalam penggunaan bahasa tersebut. Ada beberapa pemaparan Austin mengenai ketidak sahan kalimat dalam penggunaannya untuk ucapan performatif dan konstatif menunjukan kekurang logisan dan sampai ambiqu dalam penggunaannya. Kesesatan-kesesatan inilah yang memiliki kesamaan dalam ketidaksahan dalam penggunaan ucapan-ucapan performatif dan konstatif yang menimbulkan keraguan dan perbedaan dari ucapan, orang yang mengucapkan dan pendengarnya. Demikian juga bagaimana kelogisan suatu ucapan yang harus benar-benar dipikirkan dengan baik akan apa yang dikatakan dan apa pengaruh pembicara dan lawan bicara akan akibat dari ucapan yang disampaikan.
Dalam hal ini yang perlu mendapatkan perhatian dan penekanan adalah kata “penggunaan” dan bukannyaperkataan biasa atau ungkapan. Filsafat bahasa biasa itu berkenaan dengan penggunaan yang biasa dan standart, yang baku dan benar. Hal ini berlawanan dengan penyalahguanaan dan bukannya berkaitan dengan penggunaan yang dilawankan dengan ketidakberguanaan dari ungkapan-ungkapan.[25]
Demikianlah dalam bahasa sehari-hari yang sederhana ini kita semakin dituntun kepada berbahasa yang baik dan benar. Lewat pengungkapan yang telah dipikirkan dan dipertimbangkan akan efek dari ucapan yang disampaikan baik bagi pendengar terlebih bagi yang menyampaikannya. Dalamnya kita menyadari bahwa kita telah benar-benar berbahasa dengan baik dan benar. Dalam bahasa yang baik dan benar akan nampak pola pikir dari orang uang mengucapkan bahasa tersebut.

2.      Relevansi bagi penggunaan bahasa pada zaman ini
Masa sekarang ini sering didefnisikan dengan “zaman NOW”. Dalamnya harus kita kritis untuk melihat pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan manusia dan kehidupannya. Demikianlah pola pemikiran dan bahasa yang merupakan dari kehidupan itu juga berdampak. Manusia sangat bebas mengungkapkan apapun lewat sosial media dalam ungkapan-ungkapan yang sering merupakan ungkapan spontan (tanpa pertimbangan dan pemikiran). Ungkapan ini diungkapkan hanya sebatas keinginan mengungkapkan tanpa pertimbangan matang apakah yang saya sampaikan?, apakah bahasa saya tepat?,  apakah efek dari ungkapan yang saya sampaikan?. Hal ini sangat menjamur saat ini. Sangat nampak jelas di dunia Sosial Media Komusikasi Elektronik. Orang semau gue menyampaikan ungkapannya. Orang kurang dan bahkan tidak sama sekali mempertimbangkan  ucapan yang ia sampaikan. Padahal ucapan tersebut akan diamati oleh banyak orang, yang pastinya berdampak pada orang lain, dirinya dan tanpa disadari nilai ucapan/ungkapan yang dilontarkan ternyata sangat tidak baik. Kebebasan berkomunikasi semakin membuat manusia lupa dan lepas kontrol dalam mengungkapkan hal apapun. Sehingga beberapa pengaruh yang sangat tampak yakni: orang yang mengucapkan ungkapan tersebut tidak mempertimbangkan apa yang ia sampaikan, bahasa pasaran sangat menjamur yang mengakibatkan ungkapan tersebut sebenarnya jika dikritisi apakah logis dan tepat pembahasaannya. Hal inilah yang berlanjut kepada tidak sama pemahaman si pengungkap dan pendengar sehingga ide yang disampaikan menjadi tidak sama dan memunculkan kesesatan dan ambiqu yang menuntun pada kesalah pahaman antara keduabelah pihak yang berujung pada pertengkaran. Ungkapan-ungkapan yang disampaikan kurang tepat dan logis, yang mana orang sering mencoba mengungkapkan penyindiran dengan bahasa perumpamaan sehingga orang terlalu bebas dan liar dalam menanggapinya.
Pada masa ini sangat perlulah setiap orang kembali kepada tujuan bahasa tersebut yakni menuntun kita kepada pemahaman yang benar dan menjadi alat komunikasi antara dua atau lebih orang karena didalamnya orang mengalami ikatan karena pengungkapan yang baik dan benar itu menjadi ikatan dan tujuan dari bahasa tersebut menyatukan pemahaman yang dapat diterima dengan baik oleh semua orang. Berbahasa yang baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari akan membuat  kita sampai kepada pemikiran yang benar, komunikasi yang timbalbalik dan tersampaikannya ide dan gagasan di antara kedua belah pihak serta yang paling penting bahwa kita telah menjadi manusia yang seutuhnya karena telah mengungkapkan kemanusiaan kita yang baik dan benar pula lewat bahasa kita. Karena dari bahasa kita menunjukan kedirian dan kemanusiaan kita yang utuh.

3.      Relevansi bagi dirimu sendiri sebagai calon imam/religious
Dalam kehidupan sehari-hari terlebih dalam panggilan sebagai seorang religius saya telah memilih cara hidup yang menuntun saya sebagai pribadi yang utuh. Dalam panggilan ini saya selalu harus mengolah diri saya untuk benar-benar menjadi manusia yang seutuhnya. Dalam pengolahan diri ini saya mencoba untuk merenungkan merefleksikan dan terlebih menyadiri kemanusiaan dan kehidupan saya dalam terang hidup lebih baik. Pengolah diri yang lebih baik akan menuntun pola kehidupan saya ke arah yang lebih baik pula. Dalam kesadaran akan panggilan religius ini saya bukan lagi pribagi “ego” namun menjadi “sosial” yang dalamnya ada orang lain yang mengisyaratkan kemanusiaan saya untuk mengetahui dan mempunyai afektivitas.[26] Kemanusiawian saya dan kehidupan saya adalah perjalanan yang akan terus bersama. Dalam inilah saya mengungkapkan siapa kemanusiaan saya yang bukan lagi sama seperti orang pada umumnya,, namun saya adalah pribadi religius yang memiliki lebih banyak tanggung jawab pemberi kebaikan entah dalam tutur kata dan tingakan. Karena sebagai religius saya menunjukan realitas yang lebih tinggi. Bukan hanya sebagai individu  kemanusiaan[27] semata namun sebagai “individu dalam kemanusiaan ilahi”. Dalam kemanusiaan ilahi inilah saya harus sadar bahwa saya harus menunjukan hal yang lebih baik. Kemanusiaan saya yang seutuhnya dan ilahi itu nampak dalam tutur kata dan tindakan. Maka dari itu semakin saya menyadari realitas tertinggi dalam panggilan hidup religius ini semakin saya harus menampakkan kebaikan dan kebenaran dalam kehidupan saya, terlebih dalam perkataan saya dalam hal ini. Dalam kata-kata saya akan tampak sampai dimana kesadaran realitas tertinggi panggilan hidup sebagai religius itu saya maknai dan hidupi. Karena lewat kata-katalah para religius lebih banyak menarik dan menuntun orang lain pada kebaikan dan kebenaran hidup. Seperti dikatakan dari perkataan seseoranglah nampak kedalam hidup rohani/religiusnya.
Maka dari itu peran bahasa yang baik dan benar dalam penyampaiaan dan menggunaannya.  Saya harus menyadari bahwa saya punya peran bukan hanya sebagai manusia pada umumnya, nanmun saya adalah individu yang ‘menghidupi’ kemanusiaan ilahi. Dengan demikian saya hidup dalam kehidupan saya yang baik dan benar pula dalam tutur kata dan tindakan.




Daftar Pustaka
1.      Kaelan. Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta: Paradigma, 2017.
2.      Leahy, Louis. Siapakah Manusia?. Yogyakarta: Kanisius, 2001
3.      Mustansyir, Rizal. Filsafat Analitik. Sejarah, perkembangan, dan Peranan Para Tokoh. Jakarta: Rajawali Pers, 1987.
4.      Sudarminta, J.. Epistemologi Dasar Pengantar Filsafat Pengetahuan. Yogyakara: Kanisius, 2002.
5.      Suriasumantri, Jujun S.. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.



[1]  Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:Pusta Sinar Harapan, 2017), hlm. 171, 173. Bdk, J. Sudarminta Epistemolegi Dasar Pengantar Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 42.
[2]  Mario Pei, Kisah dari pada Bahasa, (Djakarta:Bhratara, 1971), hlm. 385.
[3]  Louis Leahy, Siapakah Manusia?, (Yogyakarta:Kanisius, 2001), hlm. 37.
[4]  A. Joko Wicoyo, Filsafat Bahasa Biasa dan Tokohnya, (Yogyakarta:Liberty, 1997), hlm. 22.
[5] A. Joko Wicoyo, Filsafat Bahasa…, hlm. 19.
[6] A. Joko Wicoyo, Filsafat Bahasa…, hlm. 20-21.
[7] A. Joko Wicoyo, Filsafat Bahasa…, hlm. 22.
[8] A. Joko Wicoyo, Filsafat Bahasa…, hlm. 22-23.
[9] A. Joko Wicoyo, Filsafat Bahasa…, hlm. 25.
[10] A. Joko Wicoyo, Filsafat Bahasa…, hlm. 27.
[11] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya, (Jakarta: Rajawali Pers 1987), hlm. 104. Bdk. Kaelan, M.S. Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika, (Yogyakarta: Paradigma, 2017),hlm. 141-142.
[12] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik…, hlm. 105.
[13] Kaelan, M.S. Filsafat Bahasa…,hlm. 143.
[14] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik…, hlm. 105-106.
[15] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik…, hlm. 106-107.
[16] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik…, hlm. 107-108. Bdk. Kaelan, M.S. Filsafat Bahasa…,hlm. 143-144.
[17] A. Joko Wicoyo, Filsafat Bahasa…, hlm. 23. Bdk. Kaellan, M.S., Filsafat Bahasa…, hlm. 145.
[18] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik…, hlm. 112.
[19] Kaelan, M.S. Filsafat Bahasa…,hlm. 146-147.
[20] A. Joko Wicoyo, Filsafat Bahasa…, hlm. 43-45, bdk. Kaellan, M.S., Filsafat Bahasa…, hlm. 148-150.
[21] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik…, hlm. 114.
[22] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik…, hlm. 119. Bdk. Kaellan, M.S., Filsafat Bahasa…, hlm. 152.
[23] A. Joko Wicoyo, Filsafat Bahasa…, hlm. 46.
[24] Kaellan, M.S., Filsafat Bahasa…, hlm. 140.
[25] Kaellan, M.S., Filsafat Bahasa…, hlm. 138.
[26] Louis Leahy, Siapakah…, hlm. 56.
[27] Louis Leahy, Siapakah…, hlm. 52-53.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar