Riwayat Panggilan Awali
Kumulailah kisah perjalanan hidupku :
Tepat tanggal 04 oktober 1985 pada hari Jumat malam pukul 19.00WIB.
Lahirlah saya dari Ibu Ester Artauli br Hutapea dan Bapak Daram Sitohang yang menjadi anak laki-laki pertama setelah dua orang kaka saya.
Demikianlah perjalanan masa kecil yang penuh saya lalui dengan banyak hal. Saya dikenal sangat pendiam dan pemalu. Sejak kecil hal rohani telah tumbuh dan sangat berkembang dalam diri saya dan keluarga. Bapak dulu mantan seminaris dan dari itu mungkin kami sangat didukung berkembang dalam hal menggereja. Banyak saya alami dan ikuti mulai dari asmika, natal bersama, rekoleksi dan retret ke Sinaksat, areka dan mesdinar. Sejak kecil hal devosi sudah ada dalam perjalanan rohani saya. Doa pribadi di ruang doa kecil (kamar yang saya buat tempat doa kecil), berosario dijalan kalau mau les. Dan banyak hal terjadi. Saya benar-benar hidup didalamnya sampai-sampai sejak saya SD, dalam hati saya tumbuh niat untuk tidak menikah dan mau menjadi persembahan murni kepada Allah. Demikianlah keinginan itu sangat kuat. Saat remaja menjadi masa keinginan itu semakin pesat berkembang. Saya menjadi mesdinar sekalian koster di gereja paroki. Saya masih ingat dalam diri saya ada rasa ingin selalu di gereja untuk mengabdi. Semua yang menjadi urusan gereja pasti saya utamakan. Semuanya berjalan dan berkembang sampai kepada saya masuk ke Seminari. Banyak hal yang terjadi dan banyak hal semakin menguatkan dan mematangkan hidup rohani saya. Rutinitas dan kegiatan di seminari semakin mematangkan hidup rohani saya. Devosi, meditasi pribadi, mempersembahkan bunga ke arca Bunda Maria setiap hari, doa silih di hadapan salip ( dikanan kapel), mendaraskan doa – doa mohon pengampunan untuk jiwa-jiwa di api penyucian (sampai – sampai saya mengalami pengalaman rohani yang mendalam), memandang salib utama di kapel (saat – saat itu menjadi pengalaman rohani yang sangat mendalam, sampai mengalami kekedalaman doa saya) . Dan banyak hal lainnya terjadi. Semua terjadi dengan amat misteri. Panggilan dan hidup rohani yang dalamnya saya di bentuk menimbulkan keinginan untuk menjadi rahib / pendoa di salah satu biara kontemplatif. Sejak probatorium sampai poesis semester 1 saya memiliki keinginan masuk ke biara OCSO Rawaseneng. Namun karena bapak meninggal dan ibu meminta agar saya tidak terlalu jauh, saya memilih menjadi seorang kapusin medan. Dalam perjalan waktu semuanya berjalan dan banyak hal yang terjadi. Saya sering diam – diam doa malam sendiri di kapel Postulat. Puasa, pantang dan matirag saya jalani terus sejak gramatika. Doa silih dan doa untuk jiwa – jiwa di api penyucian dan anak- anak yang di aborsi menjadi persembahan utama dalam doa dan hidupku. Semua sangat baik bagi hidup rohaniku namun mungkin tidak baik dalam hidup persaudaraan. Sering dan banyak sekali saya di anggap aneh dan terlalu rohani. Namun saya tidak pernah mau menghiraukannya karena hubunganku dengan Allah haruslah kujalani karena aku berjanji bahwa aku mau menjadi persembahan dan korban untuk jiwa – jiwa yang aku doakan. Selama di novisiat semuanya kujalani. Namun masa itu adalah masa paling berat dan tangtangan yang membutuhkan pengorbanan. Masa dimana doa, samadi dan matiragaku semakin teramat dalam. Banyak hal yang terjadi di luar jangkauan pemikiran dan daya manusiawiku. Namun aku tetap kembalikan semua saat ekaristi dan adorasi Sakramen Mahakudus. Dalam misteri panggilan hidup rohaniku aku harus di hadapkan pada pencurigaan dan pertanyaan –pertannyaan yang menyudutkan dan tidak yakin akan doa dan hidup rohaniku. Namun aku tetap teguh dan serahkan kepada belas kasih Bunda Maria dan pertolongan Malaikat Mikael. Sering aku menangis dan terharu di hadapan Sakaramen Mahakudus. ” Tuhan jika memang ini bukan bagianku dan membuat orang salah menilaiku, ambillah semua ini dan biarlah aku menjadi seorang manua biasa”. Dalam pergulatan batin dan permenungan rohani hanya ada satu kekuatanku yakni “ Dari salib-Mu, Kau panggil aku untuk menjadi persembahan dan korban untuk jiwa – jiwa malang ini, kepada salibMu, kusandarkan hidupku ya Tuhanku dan Allahku”. Inilah yang menguatkan diriku dalam menapaki hidupku. Sebelum mengundur diri dari novisiat, kecurigaan dan pertanyaan – pertanyaan yang tidak beralasan menjadi cambuk pembelajaranku. Namun darinya aku di teguhkan karena aku semakin sadar akan hidup yang kumasuki bukan banyak orang mengerti. Hidup dalam Allah dan menjalani kesatuan dengan Aallah adalah keanehan untuk manusia yang tidak pernah mengecap dan menyentuh hidup dalamnya. Namun saya tidak tinggal dalamnya. Saya mencoba setia walaupun penuh tangtangan sampai pada keputusan yang paling berat dan paling menguras air mata dalam doaku. “ Tuhan aku tidak berkehendak meninggalkanMu. Namun hidup ini bukan bagianku. Tunjukkanlah jalanMu kepadaku. “ Malam saat adorasi setelah berbicara dengan pimpinan, di hadapan Sakramen Mahakudus, dibangku kedua dari belakang di sebelah kanan gereja tempat aku biasa duduk, dalam berlutut dan mataku terarah penuh pada Sakramen Mahakudus, aku menangis dan benar – benar bergulat dalam batinku.” Tuhan inikah jalanmu yang harus kulalui? “ dalam doa aku meneguhkan batin ku akan pilihan mengundur diri dari persaudaraan. Setahun kujalani di dunia luar untuk merenung akan panggilan hidup rohaniku. Aku mencoba mencari biara kontemplatif dan hendak mencoba kembali ke persaudaraan namun telah tertutup pintu atas diriku. Biara OCSO Rawaseneng sempat menjadi tujuanku. Namun saat merenung selama 3 bulan lebih di salah satu rumah di Marelan Medan aku memutuskan untuk menhadap bapak uskup untuk meminta ijin menjadi seorang rahip eremit. Dengan kenyakinan yang teguh namun tetap ada keraguan dari beberapa pihak saya memulai cara hidup rahip eremit di Parapat. Pilihan hidup ini berat dan penuh pergulatan roh. Namun atas bimbingan Roh Kudus saya berani melangkah dan penuh kenyakinan menyatakan inilah cara hidup yang dikehendaki Allah atas diriku untuk menjadi persembahan dan korban yang murni kepada Allah untuk jiwa – jiwa di api penyucian dan anak – anak yang di aborsi. Ku memulai dari nol. Kujalani hidupku dalam kesendirian mulai dari Gua ke pondok kecil 3x3m dengan melakukan ibadat harian gereja dan melakukan semadi dan mati raga untuk doa – doa ku. Kujalani pantang daging sebagai seorang rahib dan kutambahkan dengan tidak memakan ikan dan telur sebagai pantangku untuk itensi doaku bagi jiwa – jiwa di api penyucian dan anak – anak yang diaborsi.
Demikianlah semua berjalan dan terus berjalan tampa menentukan sampai kapan semua ini. Yang ada dalam hati ku hanyalah ”Aku ingin menjadi persembahan dan korban secara total kepada Allah“ dan tak ada yang lain.Demikianlah panggilan hidup rohani ini hadir dan tumbuh sampai saat ini .Biarlah dia tumbuh seperti pohon yang tidak harus dipaksa atau dibonsai, ia akan menjadi besar dan lebih besar dan kemudian ia menjadi Rahmat untuk semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar